Dia…
Aku suka keheningan. Begitu hening, sampai detak jantungku sendiri tidak terdengar. Begitu sunyi sampai dunia seolah hanya berisi aku sendirian. Keheningan yang menulikan dan membutakan. Yang membuat telingaku terasa disumpal erat oleh sesuatu yang tidak bisa aku lihat. Yang membuat dadaku sesak dan begitu berat. Keheningan yang memabukkan.
Seperti sekarang. Aku baru saja memindahkan ruanganku ke basement. Aku bekerja di sebuah gedung serbaguna terbesar di kota Metropolis. Tadinya ruanganku ada di sebelah lift karyawan. Orang lalu lalang, troli mondar mandir, gelak tawa. Tidak ada keheningan.
Dua hari yang lalu, aku memutuskan untuk turun ke basement dan melihat-lihat sejenak. Sejak aku terperangkap di lift karyawan, yang entah kenapa mendadak mati dan mengurungku selama satu jam, dua tahun yang lalu, aku tidak pernah lagi turun ke bawah. Walaupun dengan tangga sekalipun. Aku trauma. Aku selalu takut ruangan tertutup dan kecil, seperti lift dan koridor tangga, bahkan sebelum kejadian itu, dan kejadian itu makin memperburuk keadaan.
Dan dua hari lalu aku mengatakan pada diriku sendiri bahwa rasa takut adalah untuk dihadapi, bukan dihindari. Maka perlahan aku menapaki tangga satu persatu, berpegangan erat pada selasarnya seolah tangga setinggi enam meter itu akan menelanku. Dan aku berhasil. Aku sampai di lantai bawah dengan keringat bercucuran, padahal AC sentral menyorot dingin.
Ruang bawah tanah itu sangat luas. Tiga lantai ke atas adalah sebuah ruang konser yang mampu menampung lima ribu orang sekaligus, ditambah ruangan-ruangan kecil lainnya yang minimal menampung lima ratus orang, dan luas ruang bawah tanah ini sama dengan ruang atasnya. Sebagian besar ruangan ini kosong dan gelap, irit listrik. Hanya ada beberapa yang digunakan sebagai gudang atau ruang training karyawan.
Aku berjalan pelan berkeliling. Kesunyian membuat suara sepatuku terdengar nyaring menggema. Aku membuka dan menutup pintu-pintu yang ada. Dan kemudian aku menemukannya. Sebuah ruangan yang cukup besar. Dua kali lebih besar dibandingkan ruanganku yang sekarang ini. Hanya ada beberapa kursi, dua buah meja, dan satu white board terletak di sudut ruangan. Sempurna.
Aku segera menaiki tangga, melupakan rasa takutku. Aku telah menemukan surgaku. Aku langsung masuk ke ruangan HRD, menemui kepala HRD kantorku.
“Ibu Sasha, saya mau pindah ruangan.” Dia diam, matanya terus menatap komputer sambil tangannya sibuk mengetik.
“Saya mau pakai salah satu ruangan di Basement Dua, bisa?” Dia masih diam. Aneh, sejak aku terjebak di lift dan pingsan dulu itu, semua orang jadi terlihat acuh tak acuh terhadapku, malah kadang mereka tidak menegurku sama sekali. Mungkin mereka marah, karena aku telah merepotkan mereka, entahlah. Tapi aku tidak merasa terganggu. Aku tetap bekerja seperti biasa. Karena aku menyukai keheningan, dan pekerjaanku lebih sempurna bila kukerjakan dalam sunyi.
Barang bawaanku tidak banyak. Kursi dan meja di bawah bisa kujadikan meja kerja, tidak masalah. Teman-temanku bahkan tidak menoleh ketika aku menutup pintu kantor lamaku sambil membawa kardus berisi berkas kerjaku. Aku sama tidak pedulinya dengan mereka. Yang penting sekarang aku bisa makin tenang bekerja.
Mereka…
“Ruangan sebelah lift itu kapan mau dibereskan, Bu?” Anto, kepala sekuriti bertanya padaku suatu pagi.
“Sudah dua tahun, tidak baik dibiarkan begitu saja.” Aku mengangguk. Sudah dua tahun, cepat sekali waktu berlalu.
“Sekarang sudah sedikit hening, Bu. Mungkin dia sudah tidak di sana.” Anto melanjutkan. “Hanya saja sekarang di Basement Dua sering terdengar langkah sepatu perempuan, siang atau malam.”
Aku terdiam. Nina, masih adakah kamu di sini?
“Apakah sudah dilihat ada orang atau tidak?” tanyaku. Anto menggeleng.
“Kami sudah periksa ke seluruh ruangan, tidak ada. Hanya….“ Anto terdiam. Dahiku mengernyit.
“Hanya apa?” tanyaku.
“Hanya ada satu ruangan yang terlihat selalu rapi dan bersih, tidak seperti ruangan lain. Lampu juga kadang terlihat menyala, padahal sudah kami matikan.”
Aku mengusap wajahku. Aku seorang sarjana Psikologi lulusan luar negeri dengan jabatan HRD Director di sebuah gedung serbaguna terbesar di kota Metropolis, bahkan bisa dibilang seluruh negeri, tapi justru dihadapkan dengan hal-hal gaib seperti ini. Sejak dua tahun yang lalu.
Dua tahun lalu…
“Bu Sasha, Lift Dua mati.” Siska, sekretarisku melaporkan. Aku mengernyitkan dahi, tumben sekali. Selama lima tahun aku bekerja di sini, belum pernah ada kejadian lift mati.
“Ada orang di dalamnya?”
“Ada, Bu. Nina.” Aku terlonjak seketika. Nina, Purchasing Supervisor kami, dia mengidap klaustrophobia akut dan asma. Jangankan terkurung di lift seperti itu, untuk naik turun lift saja dia selalu menunggu sampai ada orang lain yang bisa menemaninya. Berbahaya sekali. Aku keluar dengan langkah lebar dan cepat, Siska pontang-panting mengikutiku dari belakang.
Kulihat di depan Lift Dua, bagian Maintenance sedang membuka paksa pintunya. Kudekati Anto, kepala sekuriti kami.
“Sudah berapa lama?” tanyaku was-was.
“Hanpir satu jam, Bu” jawabnya. Dia juga terlihat cemas bukan main. Kami terdiam menunggu pintu lift yang sedikit-sedikit mulai membuka. Nina tergeletak di lantai, matanya melotot nyalang dengan ekspresi ketakutan yang luar biasa. Jantungku serasa berhenti berdetak.
“Angkat dia! Cepat!” Sebelum aku selesai bicara, Anto sudah dengan sigap memanjat lantai lift yang menggantung di antara dua lantai, dan menarik tubuh Nina keluar. Dia meletakkan Nina di lantai, dan memegang nadi leher dan tangannya. Dia menggeleng gemas, kemudian meniupkan udara ke mulut Nina. CPR. Aku membantu dengan menghentakkan dada gadis itu, memancing jantungnya untuk bekerja. Semenit. Tiga menit. Lima menit. Kosong. Gagal. Kami terduduk kelelahan, sementara yang lain berkerumun di sekeliling kami. Perlahan terdengar isak tangis dari para karyawan wanita. Nina tidak tertolong
Dia..
Phuhhh…akhirnya selesai. Aku melap keringatku, dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dengan puas. Meja dan kursi kuletakkan menghadap pintu masuk, agar siapapun yang datang bisa kulihat. Aku benci bila orang mengendap-endap di belakangku. Dulu rekan-rekan kerjaku paling suka mengagetkanku. Padahal aku mengidap asma. Napasku bisa mendadak sangat sesak bila aku kaget. Sama seperti dua tahun yang lalu. Waktu itu aku mau turun ke kantorku setelah selesai mengurus sebuah pesta perkawinan di salah satu aula. Aku menoleh kiri kanan. Sial, kelihatannya aku harus masuk ke ruangan sempit itu sendirian kali ini. Aku melangkah masuk dengan jantung berdebar keras. Pintu menutup. Baru beberapa detik lift beranjak turun, tiba-tiba ia berhenti bergerak. Lampu padam. Gelap gulita.
Aku merasa ruangan itu menyempit, walaupun hanya khayalanku, dan makin lama makin menekanku. Kegelapan membuatku berhalusinasi bahwa ada sesuatu yang berkelebatan di dalam lift. Kemudian napasku sesak. Aku menggapai-gapai, tapi hanya ada kegelapan. Sampai akhirnya aku tidak bisa membedakan mana yang gelap karena lampu mati, atau karena aku pingsan. Aku tidak tahu kapan aku tersadar, karena kemudian tiba-tiba aku sudah ada diruanganku.
Tapi sekarang aku sangat senang. Keheningan yang ada di bawah sini sangat memabukkan. Aku bisa mondar-mandir ke manapun tanpa bertemu siapapun, paling-paling sekuriti, yang anehnya mereka malah menjauh bila kudekati. Aku tidak perlu bersusah payah menegur siapapun. Aku mendapatkan surgaku. Kutata papan namaku di pintu masuk, sebagai tanda bahwa inilah kerajaan baruku. Pejalan Sunyi.
No comments:
Post a Comment