"For in romance,
All true love needs is a chance.
And maybe with a chance you will find you too like I..."
(Stevie Wonder - Overjoyed)
Seorang pecundang gontai. Berjalan meninggalkan semua yang tertinggal di belakangnya. Punggungnya menjauh dengan langkah terseret - seret dan berat. Harapannya telah habis terbakar. Mimpi baru saja berakhir. Kepedihan menunggunya di ujung jalan.
Tepat dibawah sebuah pohon yang gelap, kepedihan mengangkat lampunya.
Wajah seorang pecundang yang lelah, namun belum cukup untuk membuatnya rubuh. Dia masih mampu berjalan. Cahaya masih menyala di matanya, meskipun redup dan menunggu kematiannya yang dibawa oleh angin.
Berapa lama lagi ia mampu bertahan?
Kehidupan telah membawanya ke jalan yang gelap ini. Hanya lampu minyak dengan nyala terbata - bata mencoba memberi terang. Tak cukup. Matanya menjadi buta sebentar lagi. Semua mulai terlihat pudar. Hitam semakin mendekat. Perlahan memeluk raga. Dingin. Memaku telapak kakinya pada kerikil. Menyematkan gelang yang mengungkung kaki dengan rantai dan peluru.
Dan perih itu. Duri. Melesak ke dalam tulang punggungnya. Menembus hingga tulang rusuk. Kehilangan. Kekosongan. Sementara jantung mulai kehilangan degup. Aliran darah perlahan terhenti. Kulit memucat. Malam semakin pekat.
Daun - daun berguguran. Suara gemerisik tenang mengisi telinga. Tapi ia asing. Ia asing dengan semua itu. Dahan yang rapuh. Menjatuhkan pucuk - pucuk daun. Kelopak - kelopak bunga. Dalam hidup, ada yang harus kita lepaskan agar kita dapat bertahan. Keindahan itulah yang terlepas. Terjatuh besama kelopak - kelopak bunga. Memeluk tanah sebagai akhir dari hidup.
"Malam ini dingin sekali..."
Kepedihan menyeringai kepadanya. Mengajak bicara. Pecundang diam.
"Tapi aku tidak menawarkan apa - apa. Lentera ini sebentar lagi padam. Tidak ada lagi yang bisa menghangatkan kita"
Bunyi langkah yang terseret kini semakin jelas. Mata tak lagi dapat melihat. Hanya telinga dan perasaan yang dapat menduga. Pecundang itu menoleh ke arah kepedihan. Menggigil kedinginan.
"Sudah berapa jauh kita?"
"Apa yang ingin kau ukur?"
"Kejatuhanku."
"Belum. Tunggulah sesaat."
***
“Hari ini aku kembali mengunjungimu. Kamu masih saja beku. Apa yang ada di dalam tubuhmu? Kamu seperti tubuh tanpa jiwa. Kamu bahkan tak dapat merasakan kehadiranku. Apa yang terjadi denganmu?”
Seorang perempuan menatap pecundang itu dengan gelisah. Hari menjelang sore. Cahaya matahari memantulkan siluet sang perempuan ke wajah pecundang.
***
5 hari sebelumnya.
"Aku cuma ingin tahu, apakah dia masih memikirkan aku?"
"Ya dan tidak..."
"Kok jawabannya seperti itu?"
"Memang seperti itu. Aku tidak tahu..."
Seorang perempuan dengan penuh keingintahuan terus bertanya kepada seorang lelaki yang duduk pada sebuah kursi dibawah pohon asam.
"Dia masih menanyakan aku?"
"Tidak."
"Kalau begitu dia sudah tidak memikirkan aku lagi"
"Masih."
"Kenapa masih?"
"Aku tidak tahu"
"Kalau kamu tidak tahu kenapa terus-terusan membantah argumenku?"
"Dia tidak pernah bicara..."
"Tidak pernah bicara tentang aku kan? Jelas... jadi dia tidak memikirkan aku lagi..."
"Bukan hanya tentang kamu..."
Lelaki itu berhenti sejenak. Memberi jeda.
"Lalu apa, dong?"
"Dia tidak pernah bicara lagi. Tentang apapun. Kepada siapapun."
"Maksudmu?"
Kini si perempuan mendekat untuk menyimak lebih jelas.
"Sejak hari itu, dia hanya diam. Tak pernah bicara lagi."
"Dia..."
Lelaki itu mengangguk.
"Dia itu kenapa sih?," perempuan itu kembali bertanya.
"Dia? Kenapa?."
"Iya... dia. Kenapa?"
"Dia kehilangan."
Matahari pelan - pelan menyeruak diantara daun - daun pohon asam. Menjatuhkan sinar pada rambut perempuan itu. Berkilauan. Seperti ada mahkota di kepalanya.
"Aku tidak mengerti. Aku juga sering kehilangan."
"Tapi tidak sebesar dia"
"Memangnya dia kehilangan apa? Dia kan hanya kehilangan, eeeh.. aku?"
"Ya, kamu."
"Nah, kan masih banyak perempuan lain yang lebih baik. Dia itu cukup baik. Aku yakin, kalau dia mau berusaha sedikit saja pasti ada perempuan lain yang menginginkan dia. Kenapa harus aku?"
"Dan berapa banyak diantara perempuan itu yang bisa dia cintai?"
"Banyak."
"Dia cuma punya satu"
"Itu krn dia tidak mau berusaha"
"Dia berusaha"
"Tidak."
"Untuk kamu."
"Aku tidak melihatnya"
"Karena dia ada dibelakangmu"
"Dan?"
"Dan dia mengejarmu, dan kamu tidak menoleh. Kamu tidak bisa melihatnya"
"Menoleh…"
"Untuk satu hal yang ingin dia miliki seumur hidupnya. Meskipun itu hanya sekali."
"Aku?"
Lelaki itu melemparkan pandangannya ke depan,
"Jauh lebih besar dari kamu..."
***
Pecundang itu tersenyum kepadanya. Kepedihan itu.
“Like a long lonely stream, I keep runnin' toward as a dream
Movin' on, movin' on…
Like a branch on a tree, I keep reachin' to be free
Movin' on, movin' on…
'Cause there's a place in the sun
Where there's hope for ev'ryone
Where my poor restless heart's gotta run…
There's a place in the sun
And before my life is done
Got to find me a place in the sun…”
"Jangan mencoba...," kepedihan menatap pecundang dengan getir.
"Aku suka sekali Stevie Wonder. Dia buta, tidak melihat. Tapi dia tahu yang terdalam dari yang terdalam. Dia tahu bagaimana menunjukkan perasaannya. Setiap liriknya... adalah kejujuran..."
"Tidak sepertimu?"
"Aku? Aku jujur... cukup jujur. Setidaknya tentang perasaanku..."
Pecundang mengayunkan kedua kakinya. Saat - saat beristirahat seperti ini melegakan juga. Hari bisa menjadi begitu terang. Cuaca menjadi tenang. Udara memang masih terlalu dingin. Tapi setidaknya dia bisa bernyanyi. Tak ada rantai yang menghalangi kakinya untuk mengayun. Meskipun beku dihatinya menahan setiap sendi untuk dapat lepas dari beban.
Kepedihan menatapnya dari sisi jalan yang lain. Pecundang menantangnya. Dia mengambil kerikil, lalu melemparnya ke arah kepedihan.
"Hey! Hey! Lihat. Aku bisa keluar dari sini!"
Kepedihan bergeming.
Pecundang bangkit dari duduknya. Dengan sisa tenaga, dia mencoba berlari. Awalnya begitu berat, lalu ia merasa kakinya mulai terasa ringan. Dia mulai bisa berlari. Dia berlari. Berlari. Kepedihan melipat tangannya di dada. Pecundang tertawa.
"Aku bisa berlari... Aku bisa berlari... Hahahaha... Hahaha..."
Sesaat dia berpikir untuk mengucapkan selamat tinggal. Ketika angin kembali menusuk paru - parunya. Mendesak nafas hingga ke dada. Dia terus berlari. Hingga ia tak merasakan lagi kedua kakinya, kedua pahanya, lalu beku menampar wajahnya.
Pecundang terjatuh.
Kepedihan melangkah mendekatinya. Pecundang berusaha bangkit. Namun tenaganya telah habis. Ia merasakan dingin menyelimuti setiap pori - pori di kulitnya. Menyesap ke dalam aliran darahnya. Membuat hatinya menggigil.
“Like an old dusty road, I get weary from the load.
Movin' on, movin' on...”
Suara tak dapat didengarnya lagi. Stevie Wonder tak dapat menyelamatkannya kali ini. Nyanyiannya hilang bahkan sebelum mulut bersuara. Ia terus mencoba. Namun tak ada yang mampu disuarakan. Hanya airmata menggenang di pinggir kelam kelopak matanya.
Menangis.
Kepedihan menatapnya. Meraih kerah bajunya. Lalu menariknya ke atas.
"Kita harus berjalan lagi. Lupakan tempat di mataharimu itu. Kau bahkan tak dapat berlari lebih dari 50 meter."
***
"Lebih besar dari aku?"
"Ya. Ini bukan masalah apakah kamu cantik atau tidak, kamu membuatnya jatuh cinta atau tidak. Karena semua itu adalah kenyataan tanpa perlu kamu ucapkan. Kamu cantik. Dan kamu membuatnya jatuh cinta."
"Yeah. Dia bahkan tidak pernah mengatakan aku cantik."
"Tapi kamu membuatnya jatuh cinta"
"Lalu itu salahku?"
"Tidak ada yang salah. Begitu pun dia. Tapi kamu bisa memberi sesuatu yang dapat membuat semuanya benar. Sesuatu sebagai balas dari cinta yang dia berikan kepada kamu"
"Aku harus memberi cinta aku? Begitu?"
"Seperti itukah? Kamu bahkan tak perlu memberinya cinta jika tak ingin..."
Burung - burung terbang kembali ke sarang. Senja membuat warna yang indah di langit.
***
“Ini surat ketiga yang aku titipkan untuk kamu.
Jika kamu tak ingin berbicara, baiklah. Tapi kamu dapat membaca, bukan? Aku ingin sekali kamu membaca suratku ini. Bukan hanya meletakkannya di meja. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan kepadamu. Karena aku tak mengerti.
Apa yang dapat aku lakukan untuk membuat semua ini benar?”
Perempuan itu melipat surat yang ditulisnya. Jam besuk hampir berakhir. Seorang perawat menghampirinya.
"Titip surat lagi hari ini, mbak?"
"Iya. Tolong yakinkan dia untuk membaca ya..."
"Saya tidak janji, mbak. Tapi saya coba. Kalaupun dibaca, saya ragu dia bisa mengerti..."
Perempuan itu menghampiri pecundang. Duduk dihadapannya. Sedikit gemetar. Namun memberanikan diri untuk menatap kedua matanya.
Laki - laki di depannya, seorang pecundang - memandang lurus. Entah kemana.
Didalam mata yang pernah bersinar cerah itu tak ada lagi yang tersisa. Tak ada lagi binar yang menuntun bibirnya untuk tersenyum. Hangat. Seperti yang pernah dilihat perempuan itu dulu.
“Dimanakah itu semua? Dimanakah kau simpan? Tak ada lagi yang tersisa dan semua habis untukku?
Lalu mengapa tak ada yang aku rasakan?”
Perempuan itu mengulurkan tangannya. Diraihnya tangan pecundang. Digenggamnya. Begitu dingin. Digenggamnya lagi. Berharap ada kehangatan yang dapat dirasakan oleh pecundang di hadapannya. Namun pecundang itu hanya menatap lurus ke depan dengan kosong.
Ia tak dapat merasakan apa - apa lagi. Perasaannya telah hilang jauh entah dimana.
***
“You make me smile... You make me sing...
You make me feel good everything
You bring me up when i've been down
This only happens when you're around…”
"Kamu tahu, dia suka sekali Stevie Wonder."
Lelaki itu sedikit membesarkan volume tape mobilnya. Senja telah tertutup oleh kain malam. Biru mulai pudar menuju gelap. Sisa - sisa kemerahan langit masih ada. Dalam tiap hembusan nafas mereka perlahan pergi menutup terang yang harus sirna.
"Lagu ini mengingatkan dia terhadap kamu..."
Perempuan disampingnya menatap keluar jendela mobil. Ada sesuatu melintas di benaknya. Lalu turun ke hati dan berubah menjadi penyesalan. Dia menggigit bibirnya.
“I wanna fly away with you
Until there's nothing more for us to do
I wanna be more than a friend
Until the end of an endless end…”
"Kita langsung pulang?"
Pertanyaan lelaki tadi membuyarkan lamunan perempuan itu.
"Singgah dulu. Aku mau ngopi."
"Dimana?"
"Starbucks"
***
"Aku merasakan kehangatan..."
Pecundang, dengan bibirnya yang beku dan mulai membiru - berkata ke arah kepedihan. Kepedihan berdiri sambil memasang seringai yang lebih beku dari bibir sang pecundang.
"Kau masih bisa merasakan hal - hal yang membahagiakan. Tapi setibanya kita di depan sana, kau yang memutuskan. Apakah kau akan kembali, atau terus berjalan denganku."
Kepedihan menghampiri pecundang. Merangkulnya di pundak. Lalu berkata,
"Kita bisa menjadi sahabat. Sejati dari yang paling sejati."
***
15 bulan sebelumnya.
Starbucks tidak begitu ramai malam itu. Pecundang duduk di sudut sebuah sofa. Namun wajahnya bahagia. Disampingnya ada seorang lelaki. Sahabatnya. Mereka berbincang dengan penuh tawa. Santai.
Andien ditemani oleh balawan pada gitar berduet membawakan Overjoyed...
“Over time, i've building my castle of love
Just for two, though you never knew you were my reason
I've gone much too far for you now to say
That i've got to throw my castle away..”
"Dengar itu stevie wondermu. Sepertinya dia tau betul perasaanmu kepadanya..."
"Oh, iya. Untuk apa aku menyukai Stevie. I mean, aku bisa mencari soundtrack apapun tentang dia dari lagu - lagu Stevie Wonder."
"Ya, Stevie-mu itu pintar membuat lirik yang memang galau. Jadi baik - baik saja untukmu..."
"Kamu pikir hidupku harus galau untuk menyukai Stevie?"
"Tidak juga. Tapi saat ini aku pikir kamu cukup galau untuk meresapi setiap bait yang dia tulis..."
Lelaki itu menatap keluar kaca Starbucks yang sedikit berembun sehabis gerimis. Malam telah turun sejak tadi.
"Sampai kapan?"
Pecundang itu mendengarkan pertanyaan sahabatnya. Tatapannya tak berubah.
"Sampai kapan terus menunggu?"
Pecundang menunduk. Menarik nafas berat.
"Aku tidak menunggu. Tidak menunggu. Aku mengejarnya."
"Dia tak melihatmu"
"Suatu saat... suatu saat. Aku tak akan berhenti."
"Ada banyak pilihan lain, kenapa harus dia?"
"Kenapa harus pilihan lain, jika ada dia?"
Keduanya terdiam. Malam semakin merambat. Kehangatan penuh meruap di ruangan. Namun tidak di hati sang pecundang. Sisa - sisa hujan di kaca Starbucks membentuk bayangan seorang perempuan yang selalu diimpikannya. Tersenyum manis. Namun terasa pahit di jantungnya.
"Terima kasih...," Andien menutup lagunya.
Lamat - lamat terdengar suara tepukan kecil. Lebih seperti riak air. Sebuah lagu telah usai, dan lagu yang lain akan dimainkan.
"Kamu terlalu percaya diri. Aku takut saja."
"Takut kenapa?"
"Takut bila kamu tidak siap untuk hal - hal yang tidak kamu inginkan"
"Tidak ada yang perlu ditakutkan, selama ada kesempatan..."
"Hesempatan, eh?"
"Yeah..."
"Bagaimana jika itu tidak ada?"
"Kesempatan?"
"Yeah..."
"Aku terus mengejarnya, sampai dia memberikan..."
Sahabatnya tersenyum. Menganggukkan kepala.
"Kesempatan?"
"Yeah..."
"Hanya itu?"
"Hanya itu. Dan semua selesai. Selesai. Apapun yang terjadi."
"Kamu yakin?"
"Yeah..."
"Temanku, aku percaya padamu. Tapi ijinkan aku mengatakan ini kepadamu."
"Ya?"
"Kamu gila."
***
"Gila?"
"Seperti itulah. Dia tak bicara. Keluarganya khawatir. Psikiater didatangkan. Tak ada kemajuan, lalu yah... dipindahkan."
Sang perempuan menatap frappucino dihadapannya dengan getir.
***
Senja terasa panjang. Matahari seperti enggan untuk terbenam. Waktu menyeretnya dengan perlahan sekali.
Pecundang menatap surat diatas meja.
***
(untuk Seorang Wanita Yang Tak Bisa Ku Sebut
Namanya, Atap Hotel Hilton Jakarta, 26 Mei 2009)
1 comment:
tau ga noe, ketika kita meminta sesuatu di dunia ini,percayalah bahwa dunia akan memberikan kita apa yang kita inginkan...
Post a Comment