Thursday, June 18, 2009
Chapter 10
Pucil
Perjalanan kaki menyusuri Poppies Lane 1 membuahkan 2 buah kalung hasil belanja di pinggir jalan. Untung cuma dua! Aku ingat terakhir pergi ke tempat ini, Bon-bon harus menarikku keluar dari toko-toko kecil yang bertebaran di seluruh jalanan Kuta. Menyelamatkan dari miskin kronis karena aku selalu lapar mata melihat dagangan lucu murah meriah begitu. ‘Pucil selalu jadi bego tiap kali masuk toko di Bali’, begitu kata Bon-bon saking sebalnya melihat aku ringan belanja tanpa ada effort buat nawar. Teman-temanku itu memang sudah putus urat malunya kalau menawar harga. Kasihan yang jual, barang sudah murah begitu masa mau dijatuhkan lagi harganya? Aku menarik nafas panjang dengan sedih. Ah, andai saja anak-anak itu ikutan ada di sini.
Walaupun hari ini panas sekali, banyak turis asing dan domestik meramaikan jalan. Wah, hebat. Mereka sama sekali tidak takut untuk pamer kulit di sepanjang gang sempit ini. Sementara aku mencari rute jalanan di bawah bayangan sebisa mungkin. Bukannya aku anti matahari, aku tidak pernah terlalu peduli dengan efek matahari pada warna kulit. Terakhir pergi ke sini, hanya aku di antara kami berempat yang kulitnya drastis berubah. Ganti ras, itu ledekkannya Edwina yang selalu bikin Ririn terpingkal-pingkal. Tidak heran, sih, hanya aku yang gosong. Edwina dan Ririn selalu membawa kain Bali untuk menghindari terik matahari. Bon-bon yang hobi pakai tube top selalu dipersenjatai dengan SPF sampai 45! Tapi kali hubunganku dengan matahari tidak seharmonis biasanya. Sorry ya, Mister Matahari, kita jauh-jauhan dulu. Tidak lucu, kan, kalau si pengantin perempuan tampil seperti zebra di hari H-nya nanti.
Setelah beberapa kali bertanya ke orang-orang, akhirnya berhasil juga aku menemukan sarangnya Toska. Memang agak tersembunyi dari tengah hingar-bingar Poppies 1, jadi harus pasang mata benar-benar untuk bisa menangkapnya.
Suasana di dalam warnet persis seperti yang kubayangkan. Tidak terlalu besar, tapi suasananya homey. Mulai dari kombinasi cat tembok, tata ruang, sampai pencahayaan, semuanya pas. Menggoda para internet junkie untuk berlama-lama bermesraan dengan komputer di depannya. Toska dan kakaknya tahu banget cara menggaet pelanggan, nih. Aku jadi tersenyum sendiri membayangkan selama ini dari tempat ini si Toska chatting denganku.
Aku melihat sekelilingku, mencari korban yang bisa kutanyai. Ha, itu dia, ada satu di meja kasir. Seorang cowok duduk di sana, mata tidak lepas dari layar komputer di depannya. Dia pasti kenal dengan Toska.
“Mas...”
Dia mengangkat mukanya.
“Toska ada?”
“Ini siapa, ya?”, tanyanya.
“Aku Putri, temannya di Jakarta. Bilang saja gitu, dia tahu kok.”, jawabku sambil tersenyum. Cowok di depanku kelihatan terkejut.
“Hmmm... Pucil, ya? Gini.. hmmm...”, dia terdiam lagi, kali ini matanya melihat kiri kanan, seperti mencari-cari sesuatu. Belum sampai dia melanjutkan kata-katanya, seorang cowok bermuka kutu buku datang menghampiri.
“Tos, kayaknya meja 15 kena virus lagi, tuh. Browser-nya frozen, enggak mau jalan. Tolong dibersihin, dong. Gua lagi ngurus meja 17, nih.”, katanya sambil mengambil alih keyboard di depan cowok itu.
Aku ikutan frozen, berharap kuping ini salah dengar. Cowok itu juga ikutan terdiam dengan pandangan ping-pong ke aku dan si Kutu Buku.
“Tos! Toska! Oi!”, panggil si Kutu Buku dengan heran sambil menyikut pinggang cowok itu. Lalu ia melihat ke arahku dengan bingung.
“Ini...”, kata-kata si Kutu Buku menggantung.
“...Pucil.”, jawab cowok itu dengan kering, yang langsung di “Ooo” si Kutu Buku dengan ekspresi ‘Sial gua salah omong.’
Ingat tidak, jaman-jaman SMP dulu sempat beredar yang namanya permen setan? Aku ingat. Sebenarnya ‘permen setan’ itu hanya sebutan aku dan teman-teman dulu, entah merk aslinya apa, aku sudah lupa. Permen ini awalnya manis membuai dengan rasa jeruk. Tapi setelah beberapa saat, dia banting setir menjadi asam, sekecut-kecutnya umat. Membuat si empunya lidah bersumpah serapah dan meludahkan keluar. Dari situ kita menamakannya permen setan. Sering dipakai buat ngerjain orang dan aku salah satu korbannya, walau belakangan beralih jadi pelaku kejahatan juga.
Nah, detik-detik yang aneh yang berlangsung di antara aku, si Kutu Buku, dan Toska membuatku deja vu ke saat pertama kali permen setan itu mematikan syaraf lidahku. Bedanya kali ini tidak ada permen di mulutku. Yang ada hanya setannya. Iya, setan laki-laki yang selama ini mengaku sebagai seorang perempuan. Andai saja dengan satu lepehan, setan yang ini bisa kumuntahkan bulat-bulat dari dalam sel-sel otakku! Sialan kuadrat!
Aku buru-buru keluar dengan langkah lebar-lebar, tidak mempedulikan panggilan Toska di belakang. Terus berjalan sampai ada taksi kosong melintas pelan di depanku. Perasaanku seperti dihantam gempa bumi berskala 9, meluluhlantakkan semua fondasi pertemanan antara aku dan Toska.
Gila!
Gila!
Gila!!!
Kok, bisa, ya, setan satu itu menipu aku selama berbulan-bulan? Kalau saja aku bisa belajar dari sifat cautious Ririn yang bolak-balik bertanya menyelidik tentang Toska, mungkin peristiwa tolol hari ini tidak akan terjadi. Peristiwa tolol? Ah, bukan. Aku yang tolol, semuanya ini hanya sebab akibat yang menyertai ketololanku.
“Mau kemana, Mbak?”, tanya si supir taksi ramah sambil menyalakan argonya. Aku membuka notes kecilku, menelusuri daftar pilihan venue yang sudah aku catat dengan rapi.
“Seminyak, Pak, The Legian.”, jawabku cepat.
Taksi mulai melaju dan si supir mulai bercerita tentang Bali. Sayangnya hanya sepotong-sepotong ceritanya yang menyangkut di kupingku. Sebagian besar lainnya hanya menjadi suara latar di tengah pikiranku yang terpental-pental dengan liar.
Mungkin aku seharusnya tertawa keras-keras dan menganggap semua yang terjadi ini hanya sebuah kesalahan kecil. Slip of fingers-nya Toska ketika mengetik keyboard dan mengaku perempuan. Toh Toska akan tetap menjadi Toska, baik laki-laki atau perempuan. Tapia apa bisa begitu? Apa bisa sebuah benda bulat dengan tekstur, rasa, dan harum seperti apel tetap menjadi apel kalau warnanya biru?
Tasku bergetar lagi untuk kesekian kalinya. Telpon dari Ganesha lagi. Aku menghela nafas tanpa punya hasrat untuk menjawabnya. Tidak sekarang. Terutama sekarang. Sudah kuputuskan untuk melakukan ini sendiri. Haha. Padahal konsep perkawinan, kan, mestinya selalu melibatkan minimal dua individu. Dalam kasusku, mengharapkan individu yang satunya untuk bergerak, malah bisa mengagalkan perkawinan itu sendiri barangkali. Ironis.
Mataku mulai menghangat. Dan ketika supir berceloteh tentang turis Australia yang mulai jarang datang, setitik air mata jatuh di pipiku tanpa bisa dicegah.
Sabar Cil, kamu bisa melewati semuanya.
Kamu pasti bisa.
Bon-bon
“Menghilang gimana, Bon?”, tanya Ririn dengan cemas.
Aku mengendikkan bahu.
“Enggak ada yang tahu dia ada di mana. Adiknya bilang Pucil mau menginap ke rumah Edwina. Pagi-pagi sudah manggil taksi. Tapi Edwina enggak pernah kedatangan Pucil hari ini. Tiap ditelpon ke handphone-nya enggak pernah ada jawaban.”
“Ganesha sudah tahu?”
“Justru Ganesha yang pertama sadar kalau Pucil menghilang.”, jawabku lemas. Setelah kalimat itu selesai, aku langsung merasa bersalah. Gila, sahabat macam apa aku ini? Sampai enggak sadar temannya sendiri menghilang dari peredaran.
“Pucil marah sama aku barangkali, Bon.”, kata Ririn.
“Gara-gara aku bilang enggak bisa datang ke kawinannya Pucil, Bon. “, lanjutnya pelan.
“Ngawur! Enggak mungkin karena itu lah Rin. Mungkin Pucil butuh waktu sendirian saja. Lagipula nanti kamu bisa bilang ke Pucil kalau kamu bisa datang, ya, kan, Rin?”, kataku mencoba menenangkan Ririn. Padahal dalam hati aku mulai memikirkan kata-kata anak itu. Bukan hanya Ririn saja yang bilang enggak bisa hadir Agustus nanti. Tapi juga Edwina dan... dan aku!
Astaga! Benar juga! Aku juga ikut-ikutan mengancam enggak mau datang! Tapi mestinya Pucil tahu aku hanya bercanda, kan?
“Tapi kamu juga bisa datang, kan, Bon?”, tanya Ririn.
Aku mengangguk. Tuh, kan, Ririn saja menyangka aku betulan mogok datang. Aduuuh! Kenapa bisa jadi begini, sih?
“Come on, Rin, think! Kalau kita jadi Pucil apa yang kita lakukan?”, kataku mencoba mengalihkan perasaan bersalah yang pelan-pelan mulai menyusup.
“Dia pasti lagi stres berat.”
“Pasti. Ganesha sibuk, waktu yang Pucil punya semakin menipis, sementara kerjaan menumpuk.”
“Terus teman-teman terdekatnya enggak bisa datang.”, tambah Ririn dengan lemas.
“Yeah, well… Walaupun itu enggak benar, sih. Kita harus bilang itu sama Pucil nanti. Terus apa lagi?”
Aku dan Ririn sama-sama terdiam.
“Kalau kita bertiga enggak pernah diajak curhat sejak peristiwa Plaza Senayan kemarin, sama siapa lagi dia curhat, ya?”, kataku, setengah bergumam.
“Toska paling. Tapi Toska kan ada di...”, jawab Ririn selintas, lalu anak itu langsung menegakkan duduknya.
“Bon, jangan-jangan... jangan-jangan anak itu nekat ke Bali sendirian lagi...”, kata Ririn, membuatku seperti tersengat listrik.
“Eh, benar juga, Rin! Waktu itu, kan, dia cerita tentang tiket yang sudah di-booking tapi belum di-issued!” Ririn mengangguk cepat.
“Tapi gimana kita bisa yakin kalau Pucil ada di sana? Gimana kita bisa cari tahu?”, kata Ririn.
Wah, iya. Betul juga. Hmmm... kecuali...
“Rin, masih ingat nama hotel tempat kita main ke Bali dulu, enggak? Sial, namanya sudah di ujung lidah.”, tanyaku, mencoba menarik sepotong nama hotel di Kuta dari ingatanku, tapi tidak berhasil.
“Aduh! Nanya aku lagi! Mana pernah hafal soal begituan! Eh, coba tanya Edwina, dia pasti masih ingat.”, jawab Ririn.
Aku menyambar HP dan men-dial nomor Edwina dengan cepat.
Ganesha
Sejak awal Pucil enggak menjawab telpon, gua sudah curiga ada yang enggak beres. Launching di Hardrock kemarin nyaris berjalan semerawutan kalau saja Jambrong enggak nge-backup gua. Sumpah, gua enggak fokus, pikiran gua melayang kemana-mana. Lalu malamnya Edwina mengkonfirmasi kecurigaan gua, bahwa Pucil enggak pernah datang ke rumahnya, apalagi menginap.
Ayo, Ganesh. Think! Think!
Orang rumah Pucil jelas-jelas enggak bisa ditanya. Nanti malah panik, malah timbul masalah baru. Enggak perlu dulu lah membuat orang lain panik sebelum jelas kemana perginya anak itu. Gua yakin Pucil enggak bakal melakukan hal-hal bodoh. Mungkin hanya melarikan diri dari... dari calon suaminya yang cuek.
...
Ah.
Iya, kah? Gua terlalu cuek barangkali, ya? Gila, bukan maksud gua buat menelantarkan Pucil sendirian. Gua enggak sekejam itu, lah. Buktinya gua sudah berhasil bikin guestlist dari pihak gua. Setelah curi-curi waktu untuk bolak-balik telpon dan SMS ke banyak orang, akhirnya sebagian besar sudah gua dapat konfirmasinya. Sisanya tinggal menunggu, yang penting tamu-tamunya sudah gua kabari. Tapi gua memang belum sempat bilang ke Pucil soal itu. Launching sialan ini menguras habis tenaga dan waktu gua, akhirnya urusan kawinan terlewat begitu saja.Waktu 24 jam dalam sehari terasa kurang banget!
Gua yakin Pucil pasti dapat bantuan dari teman-temannya. Cewek kan biasa saling bantu membantu begitu. Apalagi Edwina sudah menikah, pasti bisa ngasih pencerahan buat Pucil. Lagipula gua sudah janji sama Pucil selesai launching, gua pasti langsung mencurahkan sebagian waktu gua buat acara kawinan. Gua juga sudah bilang sama Pak Robert soal recana nikahan gua. Sayangnya launching ini memang enggak bisa dikesampingkan. Akhirnya kita bikin perjanjian, setelah launching ini, gua boleh fokus sama urusan gua.
Sementara untuk masalah cari venue, gua... gua...
...
...
...
Hhh.
Ngapain, sih, gua, nih? Sibuk nyari alasan buat pembelaan diri melulu. Siapa yang nanya? Sudah jelas kalau memang ada yang harus disalahin itu gua. Kemarin saja Derry melongo waktu gua bilang tempat nikahannya masih belum jelas. Matanya langsung melotot waktu dia tanya-tanya, gua cuma bisa menjelaskan sekenanya, kebanyakan gue jawab dengan kata pamungkas: “Enggak tahu”. Belakangan dia tertawa, katanya, ‘Gila, gua salut sama calon bini lu, bisa ngerjain semuanya sendiri. Kalau Yani gua gituin, enggak jadi nikah kali gua! Bisa banget lu nyari bini, Gan!’. Gua ikutan tertawa tanpa punya nyali untuk mengakui kalau sebenarnya Pucil pun sudah tersaruk-saruk. Walau dia enggak pernah secara langsung berkeluh kesah, gua tahu banget.
Aduh, Cil, kamu ada di mana, sih? Hati gua langsung nelangsa.
Nah... ini Edwina telpon lagi. Mudah-mudahan ada kabar baik.
“Gimana, Win, sudah tanya ke Ririn dan Bon-bon?”, tanya gua cemas.
“Kebetulan Bon-bon lagi di rumah Ririn tadi Gan, terus kita bertiga ngomongin soal itu. Mungkin... mungkin, nih, Pucil ada di Bali sekarang.”
Gua langsung memarkir mobil di pinggir jalan. Rumah sebenarnya tinggal di ujung jalan, tapi daripada beresiko nabrak tiang listrik karena enggak fokus nyetir.
“Di Bali??? Gimana ceritanya?”, tanya gua kaget.
“Kemarin kan dia sudah booking dua tiket ke Bali, tuh, Gan? Nah kita pikir...” Ucapan Edwina selanjutnya buram, hanya numpang lewat di kuping.
Dua tiket ke Bali?!
“Tunggu Win. Lo bilang booking dua tiket ke Bali?”
Edwina terdiam.
“Iya. Lho, memangnya Pucil enggak cerita?”
Edwina
Aaah, ini cowok gimana, sih? Tunggu, gua salah. Mestinya gue bilang, ini pasangan gimana, sih? Aneh banget. Yang cowok sibuk ngurusin pekerjaan. Semetara yang cewek bukannya komunikasi, malah semua beban disimpan sendiri. Enggak ada, tuh, yang namanya jagoan tahan stres kalau di depan muka sudah menanti pernikahan yang harus disiapkan. Walaupun terkesan enggak pedulian, Mas Arief dulu masih ikutan repot ngurus semuanya. Gue juga enggak pernah sekalipun merasa bisa menanggung beban sendirian. Komunikasi itu harus, biarpun kesalnya sudah di ubun-ubun. Itu saja rasanya dunia mau kiamat, sejuta urusan menumpuk enggak karuan.
Lha, ini Ganesha malah enggak tahu menahu tentang tiket ke bali yang sudah di-booking Pucil. Sekarang gua merasa menjadi juru bicaranya Pucil. Menjelaskan apa-apa saja yang sudah Pucil lakukan, menceritakan ulang curhatan anak itu selama beberapa minggu ke belakang. Selama ini mereka ngapain saja, sih? Heran!
Enggak lama kemudian Ganesha menelpon gue lagi.
“Win, gua barusan telpon ke hotel di Kuta yang lo bilang.”, katanya.
“Terus?”
“Iya, mereka punya tamu atas nama Pucil.”
Fuuuh. Gue langsung merasa lega. Paling enggak sekarang status Pucil bukan lagi missing in action.
“Gua mau telpon tapi ... sudah kemalaman enggak, sih, Win? Menurut lo gimana enaknya?” Ganesha terdengar ragu-ragu. Enggak biasanya banget Ganesha kehilangan percaya diri. Menurut cerita Pucil, klien seganas apapun selalu bisa diyakinkan untuk mempercayakan uangnya ke EO cowok itu. Ternyata memang cuma Pucil yang bisa bikin dia begini. Gue menarik nafas panjang.
“Iya, sudah kemalaman, Gan.”
“Besok saja kalau gitu telponnya, ya, Win? Besok pagi-pagi sekali.”
Iya, terus mau ngomong apa, Gan?
Kalau situasinya enggak seperti ini, gue mungkin sudah melontarkan kalimat itu. Mau ngomong apa lagi? Salah-salah malah tambah ribut, di telpon pula. Apa enggak jadi gawat, tuh, nantinya? Apa ada waktu buat jengkel-jengkelan lagi? Mana tahu, kan, misinya Pucil di sana berhasil atau enggak? Tapi tentu saja gue enggak bisa seenaknya jadi wasit, ini bukan lapangan gue.
“Gan, kalau menurut pendapat gue, sih, mendingan kalian ngomongnya nanti saja kalau dia sudah pulang. Biar semuanya tuntas. Besok sore juga Pucil pulang, Senin dia harus masuk kantor, kan? Menurut gue, lo SMS saja, pasti dibaca sama Pucil.”
Enggak ada jawaban dari Ganesha.
“Gan?”
“Gua benar-benar payah, ya, Win?”, ujar cowok itu pelan.
Gue tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
“Enggak, kok. Kesalahan lo cuma satu.”
“Apa?”
“Lo cowok.”, jawab gue sambil tertawa lagi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
.,.,.,.,.
Loading...
No comments:
Post a Comment