Thursday, June 18, 2009
PROLOG
Hai!
Halo!
Apa kabar?
Hahaha, ya, aku melambai padamu.
Jangan khawatir, aku tidak salah orang dan kamu memang belum kenal aku. Tapi tidak ada salahnya, kan, mengenalkan diri? Lagipula aku punya sebuah cerita yang bisa kubagi denganmu. Tapi sebelum aku memulainya, perkenankan aku mengenalkan diri dahulu.
Hmmm, bagaimana cara mendeskripsikan diriku, ya? Yang jelas tidak ada yang istimewa dari aku. Aku adalah perempuan yang menyebrang jalan, yang kau lihat dari dalam mobilmu. Atau ketika tengah berjalan bersama teman-teman di mall, aku adalah orang melintas dari sampingmu, terburu-buru dengan tas besarku menggantung di bahu. Atau juga ketika kau tengah duduk di sebuah kedai kopi, aku ada di meja sebelahmu, mengganggumu dengan kegaduhan bersama tiga teman baikku. Yap, aku mungkin ada di situ, berpapasan denganmu tanpa kau sadari.
Tenang, aku tidak menyalahkanmu, kok, kalau kamu benar-benar tidak bisa mengingatku. Aku sadar, sesadar-sadarnya, bahwa aku adalah perempuan biasa yang bekerja keras seperti ribuan pekerja lain di Jakarta. Jadi bukannya merendahkan diri kalau aku bilang tidak ada yang istimewa dariku.
Tinggi badanku seadanya, hahaha, tapi untungnya dengan teknologi hak tinggi, masalah yang satu ini bisa diatasi. Tapi tunggu dulu, ini bukan berarti aku pecinta sepatu hak, lho. Sepatu datar dan sandal adalah favoritku. Dan kalau boleh jujur, aku tidak pernah habis pikir kenapa ada banyak sekali perempuan yang hobi bersepatu hak tinggi. Mungkin kaki mereka sudah bermutasi menjadi balok kayu sehingga sakitnya tidak menggigit lagi. Ups, mudah-mudahan kamu tidak termasuk di dalamnya. Kalaupun iya, sungguh, bukan maksudku untuk menyinggungmu. Jadi jangan marah, ya?
Rambutku ikal berponi dan seringnya acak-acakan. Nah ini, nih, yang sering dikomentari teman-teman kantor. Kata mereka, “Bagaimana bisa ketemu klien kalau muka lo kayak bangun tidur gitu?!” Kalau sudah begitu, seringnya aku balas dengan candaan. Habisnya mau diapain lagi, rambut ikalku ini seperti punya kemauan sendiri, tidak pernah betah diatur-atur. Untungnya taman-temanku tidak pernah protes lebih dari itu, karena mereka tahu aku handal dalam pekerjaanku. Kalau bicara soal meyakinkan klien, aku pantang menyerah. Bagiku, seni meyakinkan orang selalu menarik untuk ditelusuri. Pas banget, kan, aku kerja di bagian iklan untuk sebuah majalah?
Hmmm... apa lagi, ya? Oh, kulitku. Tidak, kok, aku tidak punya penyakit kulit. Hihihi. Justru kalau ada, kalian mungkin akan lebih mudah mengingatku. Sebaliknya, kulitku justru putih bersih dan terawat. Okey.. okey, sebenarnya lebih ke arah kuning. Tapi ini bukan karena aku tidak suka bermain dengan matahari. Hanya saja kulitku ini punya kemampuan luar biasa untuk mengembalikan warna aslinya, walaupun setelah berlama-lama tersengat matahari. Namun siapa, sih, yang bisa mengingat kulit putih di antara ribuan supermodel mal yang melenggang elok setiap harinya? Aku saja tidak. Aku tidak pernah berharap kalian bisa.
Tidak sekali dua kali teman-temanku menceritakan pertemuan mereka dengan orang yang mirip denganku. Yang versi tinggi lah, versi keren lah, versi gaul lah, yang jelas, aku selalu ada di urutan paling bawah. Hihihi, iya, aku yang selalu jadi perbandingan jeleknya. Seperti iklan shampoo sebelum dan sesudah itu, lho. Tapi aku tidak pernah terganggu dengan keusilan mereka. Kayaknya itu juga yang bikin mereka senang berteman denganku. Aku dengan lihainya bisa mengembalikan keusilan mereka dengan ledekkan yang tidak kalah maut!
Oh iya, aku juga pendengar yang ulung, dan katanya, sih, itu salah satu resep mujarab ‘menjerat’ teman. Paling tidak itu yang dikatakan keempat sahabatku: Edwina, Ririn, dan Bon-bon. Oh, satu lagi: Toska, cewek bawel yang tidak pernah absen chatting di internet denganku. Lucunya kelima sahabatku ini punya karakter yang sangat berbeda satu sama lainnya. Hmmm… contoh mudahnya begini, coba ambil salah satu topik pembicaraan untuk dilempar ke mereka. Misalnya saja, belanja tas mahal. Sudah terbayang olehku jawaban model apa yang akan mereka berikan. Bon-bon akan bicara tentang model-model terbarunya, Ririn akan memberikan tips tentang tempat membeli tas bermerk dengan harga miring, Edwina akan membeberkan cara menjaga tas tersebut supaya awet, sementara Toska… Toska sepertinya hanya akan mendengarkan dengan baik tanpa berkomentar banyak. Karenanya, selalu terjadi hal-hal yang menarik jika kami semua berkumpul. Sayangnya Toska ada di Bali, dan aku sendiri belum pernah bertemu dengannya. Namun aku yakin dia akan bisa berbaur dengan cepat dengan ketiga sahabatku.
Apalagi? Soal cinta-cintaan? Hahaha, ini menarik.
Dalam departemen percintaan, aku pernah mengalami stagnasi panjang. Masa kegelapan, kalau aku bilang. Itu terjadi sekitar 4 tahun lalu, menjelang kelulusan dan selama penggangguran. Bayangkan, merana dua kali: penggangguran dalam pekerjaan dan percintaan! Awalnya aku optimis, berusaha menjadi jomblo bahagia. Peduli setan sama yang pacaran. Tapi lama-lama usaha itu berubah menjadi pura-pura. Bohong kalau aku diam-diam tidak meringis melihat kedua adikku terus gonti-ganti pacar. Lama-lama semuanya terkondensasi menjadi sebentuk senyum masam tiap kali membuka pintu untuk pacar (-pacar) mereka. Apa iya aku memang terlahir untuk jadi doorman untuk para pacar kedua adikku?
Yah, itulah jaman-jaman kegelapan. Jaman sebelum aku wara-wiri di periklanan sebuah majalah. Dan yang paling penting jaman sebelum ada... Ganesha.
Hmmm... bagaimana aku mendeskripsikan Ganesh, ya? Mungkin kamu juga tidak akan menoleh dua kali jika berpapasan dengannya. Ganesh bukan laki-laki yang mudah diingat di satu kali jumpa. Bukan yang langsung memberi kesan istimewa ketika pertama kenal. Berapa banyak laki-laki di Jakarta yang berkulit sawo matang, tinggi sedang, berkacamata, dan punya perawakan cenderung kurus? Buat yang hanya punya 3 nama untuk laki-laki dengan ciri-ciri seperti itu, ha, kamu pasti berbohong! Kemeja dan jeans yang sering dipakainya juga tidak akan banyak membantumu untuk mengingatnya. Tapi bagiku, dia itu laki-laki luar biasa. Sungguh luar biasa. Aku rasa kamu pun akan berkata hal yang sama setelah mengenalnya. Karena dia punya kemampuan tersembunyi untuk membuat orang lain merasa nyaman berada di dekatnya.
Nah, sesungguhnya, waktu SMP dulu Ganesh punya kesempatan untuk menggandeng perempuan lain yang lebih cantik, lebih pintar, lebih makmur, lebih lebih lebih, lebih semuanya.... setelah putus denganku. Apa alasannya waktu itu, ya? Ah, dia bilang mau konsentrasi EBTANAS. Alasan klise jaman ABG lah, pokoknya! Hahaha. Waktu itu aku percaya saja, walaupun hati ini sedih bukan main. Eeeh, sepuluh tahun kemudian, dia malah nekat kembali pacaran denganku. Tidak kapok juga, katanya Edwina suatu kali.
Itu semua gara-gara reuni SMP di Kemang tiga tahun silam yang kemudian berujung pada pengakuan noraknya tepat sebelum film “The Last Samurai” dimulai di bioskop, kisah kami dibuka kembali. Kalau dipikir-pikir, mungkin efek lampu padam dari bioskop itu yang dia cari. Ganesha adalah salah satu cowok pemalu yang pernah aku kenal. Itu kesan awalnya! Makin ke sini, makin terbuka kamuflasenya. Apalagi kalau sudah kumpul-kumpul bareng teman-temannya. Ganesh seperti disulap, jadi orang yang sama sekali berbeda dari yang selama ini kamu kenal. Jadi ngerti, kan, kenapa aku bilang gelapnya bioskop itu yang dia cari?
Ya ya, mungkin kalian akan berpikir aku benar-benar menyedihkan, menjadikan kehadiran seorang laki-laki sebagai tonggak hidupnya kehidupan. Tapi siapa, sih, yang kira-kira tertarik untuk pacaran dengan perempuan superbiasa seperti aku? Aku mungkin benar-benar akan menjadi manusia paling menyedihkan, berenang-renang dalam rasa iri dan frustasi yang menjadi-jadi setelah berkali-kali mengalami nasib buruk.
Oh iya, satu lagi alasan kenapa dia menjadi titik terang dalam hidupku. Salah satu yang paling penting sebenarnya: beberapa hari yang lalu, dia melamarku.
Yup, aku!
Si perempuan biasa!
Dilamar!
Dan inilah alasannya mengapa aku ingin mengisahkan ceritaku pada kalian. Karena menurutku ruas perjalanan hidupku sejak lamaran itu menjadi penuh kehidupan yang penuh dengan pelajaran. Malah nyaris membuatku menjadi seorang perempuan diluar superbiasa. Hahaha. Semoga kalian menikmati kisahku ini, apalagi kalau sampai bisa mendapat ‘pencerahan’.
Oh iya, ngomong-ngomong namaku Putri. Teman-temanku biasa memanggilku Pucil. Lagi-lagi bukan nama spektakuler yang mudah diingat. But that’s me! Mudah-mudahan setelah aku selesai bercerita, kalian akan lebih bisa mengingatku.
Salam kenal, ya!
Chapter 1
Ririn
Wah! Capek! Barusan habis ketemuan sama anak-anak. Sebenarnya, aku agak heran, ada apa ini tiba-tiba ‘diultimatum’ harus datang ke KeKun... lagi! Padahal baru juga ngobrol sama mereka 4 hari yang lalu di sana. Kerajinan banget. Pasti ada apa-apanya, nih! Daaaan... benar! Begitu pantat menyentuh kursi, Pucil dengan semangat langsung memamerkan cincin barunya di jari manis. Kita semua langsung heboh, sementara yang punya cincin hanya tersenyum malu. Belum habis kita bertanya-tanya, Pucil membeberkan rahasianya kalau dia merencanakan untuk nikah di Bali. Hah! Jauh amat! Kita bertiga sama-sama melotot, tidak percaya. Habisnya dari pengalaman nikahannya Edwina tahun lalu, kita semua tahu banget betapa repotnya mengurus pernikahan. Itu saja masih hitungan di dalam kota sendiri. Apalagi harus mengadakannya di luar kota… sejauh Bali! Tapi Pucil benar-benar serius dengan rencananya, walaupun Edwina sudah ribut mengingatkan kendalanya.
Melihat wajahnya Pucil yang begitu bahagia, aku jadi ikutan happy. Apa iya ini efek cinta sejati? Tidak pernah-pernahnya aku melihat Pucil berseri-seri kayak tadi. Padahal kalau dipikir, hari ini rambut anak satu itu lebih berantakan sekali. Lebih dari biasanya, lho. Habis naik ojek kali, ya? Hihihi. Tapi sungguh, deh, dia kelihatan lebih cantik hari ini.
Satu-satunya momen yang bikin Pucil kelihatan suram adalah waktu Edwina terbahak-bahak sambil nakut-nakutin tidak enaknya kehidupan perkawinan. Dasar medusa, bisa-bisanya bikin lawakan yang tidak lucu di saat seperti itu. Untungnya Pucil selalu bisa cheer up dengan cepat. Kalau aku yang digituin, mungkin sudah merucut ini mulut sambil menggerutu tanpa habis!
Anyway, betulan, nih! Pucil akan menikah! Berarti akan jadi 2 orang yang sudah menikah di antara kami berempat.
…
..
.
Sebel.
Semua orang sepertinya berjalan jauh di depanku. Bon-bon sering bikin iri dengan Billy-nya. Edwina malah sudah punya buntut satu. Selama ini aku cukup anteng karena ada Pucil. Soalnya hanya Pucil satu-satunya yang berstatus punya pacar tapi sama sekali tidak kelihatan pacaran. Heran juga, sih, sebenarnya. Kok, bisa-bisanya Ganesh cuek seperti itu, ya? Dan, bisa-bisanya mereka langgeng sampai bertahun-tahun!
Sedangkan aku? Ah. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan kalau sudah menyangkut soal cinta-cintaan. Mungkin kalau bisa dirangkum, bunyinya akan seperti ini:
Tiga Tahun Lalu…
“Halo, selamat siang.”, sapa cowok di ujung telpon yang membangunkanku pagi itu.
“Iya, selamat pagi.”. Penuh penekanan pada kata ‘pagi’, tentunya.
“Ibu ada?”
“Lagi belanja, Mas. Ini dari siapa?”, jawabku sambil menahan kantuk.
“Adik anaknya, ya?”
“Iya. Ada apa, ya, Mas?”, aku mulai mengendus tanda-tanda sales person hendak beraksi di sini.
“Ya udah, ngomongnya sama adik saja, enggak apa-apa. Saya dari PT. ABCXY mengabarkan kalau adik memenangkan voucher tiga ratus ribu untuk pembelian produk kami.”, kata suara di ujung sana dengan riang.
“PT. ABCXY?”
“Iya, dik. Perusahaan kami adalah produsen terkemuka untuk produk anak-anak. Makanan, pakaian, sampai mainan.”
He? Terkemuka?
“Nah, nanti adik bisa ambil voucher tersebut di kantor kami di Jalan Pramuka. Ajak ibu juga enggak apa-apa.”, katanya lagi tanpa mengurangi kadar keriangannya.
Aku menguap malas tanpa bisa dicegah kali ini. Lagu lama, nih, sales gaya gini. Aku tahu banget begitu sampai di sana, kita akan dijejali dengan berbagai promosi penjualan selama 3 jam dulu sebelum diberi voucher yang banyak aturan pemakaiannya. Tidak berguna, tentu saja!
“Mas, maaf, kita enggak tertarik. Vouchernya buat Mas aja lah.”, jawabku asal. Tapi rupanya si mas-mas ini belum menyerah.
“Adik sudah menikah belum?”, tanyanya yang langsung membuat kantukku hilang. Hah! Pertanyaan terlarang! Terutama di pagi-pagi seperti ini.
“Belum. Kenapa?”, jawabku galak.
“Ah, tapi nanti kan adik pasti menikah dan punya anak, tho? Jadi voucher ini pasti berguna sekali.”, katanya, ceria jaya. Aku melotot. Gileee… ini sales man atau bonek? Kok, nekatnya sama!
“Enggak, Mas. Saya enggak mau nikah. Jadi udah, ya?”, jawabku ketus sambil bersiap-siap hendak menaruh ganggang telpon.
“Eeeh, tunggu, Mbak…”
Nah, sekarang dia ganti ‘Dik’-nya dengan ‘Mbak’. Teknik apaan pula, nih?
“Iya saya ngerti, deh. Jaman sekarang, kan, orang enggak perlu nikah untuk punya anak. Kalau pacar punya, kan?”, tanyanya lagi tanpa menyerah. Dalam pikiranku terbayang-bayang sebuah image mas-mas kumis tipis dengan telpon di kupingnya, sedang nyengir dan alisnya naik turun. Jijaaay!
“Enggak!!!”
Telpon aku banting dengan geram. Aku langsung tahu kalau sales man tersebut telah berhasil membuat hari ini akan terasa seperti neraka.
Dua Tahun Lalu…
Kawinan Rita, sepupuku. Sesuatu yang aku hindari semenjak kabar itu mampir di kupingku, akhirnya tiba. Tentu saja aku tidak berkutik ketika Mama dan Papa menyeretku untuk ikut datang. Setelah masuk ke dalam gedung, aku langsung melipir sambil menyambar sepiring kambing guling, lalu makan diam-diam di pojokan. Mataku menyapu seluruh tamu dari ujung ke ujung. Aku tahu gerombolan mana yang harus dihindari: gerombolan bude dan tante! Mereka adalah yang paling parah di dalam kawinan keluarga. Paling tidak bagiku.
Dan tepat ketika aku tengah scanning dari jauh, seseorang menepuk pundakku dengan pelan. Bude Am, yang paling parah dari semua bude dalam keluarga.
“Eeeh, Ririn, kapan datang?”, tanyanya sumringah sambil mencium pipiku.
“Baru, kok, Bude.”
“Sama siapa Rin?”, Bude Am celingak-celinguk kiri kanan.
“Papa Mama. Enggak tahu dimana mereka sekarang. Lagi ngantri salaman barangkali”
“Enggak sama pacar?”, tanyanya dengan genit.
Nah, mulai.
“Enggak, Bude.” Aku meringis diplomatis.
“Ah, masa cah ayu seperti ini enggak punya pacar, sih?”, goda beliau sambil tersenyum manis sekali. Bersamaan dengan itu sebuah bom resmi sudah dijatuhkan di atas bumi seorang Ririn.
Inilah sebabnya mengapa aku benci kawinan. Cuma di acara seperti ini orang dihalalkan untuk melontarkan pujian sekaligus hinaan selangit dalam sebuah kalimat pendek.
Dan aku…
… aku adalah sasaran empuk.
Edwina
Yah, balik lagi, deh ke rumah. Baru juga buka pintu pagar, tangisan Andien sudah terdengar dari dalam. Mas Arief melihat gue dengan tatapan ‘naaah, dateng juga, lo!’. Agak merasa bersalah juga, sih, soalnya baru beberapa hari yang lalu gue keluar dengan tiga sahabat gue. Sekarang gue pulang malam lagi. Hari ini seharusnya adalah jatah Mas Arief nonton bola di TV dengan santai. Hanya saja pertemuan tadi sore cukup penting, si Pucil mau kawin. Mana bisa gue lewatkan?
Gue buru-buru ganti baju, lalu mengambil alih Andien yang langsung tertidur setelah gue gendong. Setelahnya, baru gue cerita ke Mas Arief tentang lamaran Pucil. Untuuung, enggak jadi marah dia, malah ikutan bergosip dengan gue. Habisnya siapa yang nyangka, sih, Ganesh yang cuek seperti itu ternyata menyimpan rencana besar selama ini? Seperti prajurit yang gerilya dan menyergap tiba-tiba saja.
“Kapan acaranya, Win?”, tanya Mas Arief. Gue menggeleng, “Baru mulai direncanain, Mas. Masih belum tahu persisnya kapan. Mungkin bulan Agustus nanti.”
Andien mulai merengek-rengek lagi. Marah dia kalau gendongannya enggak gue ayun-ayun. Hihihi. Anak gue ini ternyata memang lagi mau manja sama mamanya.
“Kalau jadi diadain di Bali, kita bisa dateng, kan, ya, Mas?”, tanya gue sambil pura-pura sibuk menenangkan Andien.
Tahu banget, deh, gue. Mas Arief ini paling malas datang ke kawinannya orang, terutama teman-teman gue. Mungkin dia malas ‘berdandannya’, mungkin juga malas basa-basinya. Tapi ini kan krusiaaal. Ini kawinannya Pucil! Masa gue ngalah lagi?
“Yaaa, kita lihat saja. Mudah-mudahan bisa. Belum tentu juga di Bali, kan?” Yak! Jawaban diplomatis ala Mas Arief.
Tenang, Edwina, masih ada waktu menghasut suamimu.
“Ya sudah, aku nyusui Andien dulu, deh, Mas. Kacian anak mama laper, ya?”
Uh gemeeez banget sama si pipi gembil!
“Iya, dia laper kayanya tuh. Kamunya, sih, lupa waktu. Kalau aku bisa nyusuin, udah dari tadi, deh”, kata Mas Arief asal sambil memijit-mijit remote TV.
Hihihi. Bukan salah gue, kok, Mas. Salahin Pucil yang tiba-tiba ngasih berita besar, enggak ada angin enggak ada hujan. Sejujurnya gue selalu berpikir bahwa Bon-bon duluan yang akan melangkah ke pelaminan. Tapi ternyata prediksi gue meleset.
Gue jadi teringat reaksi anak-anak tadi. Ririn melebarkan matanya, enggak percaya. Bon-bon teriak-teriak kegirangan. Gue sendiri cuma senyam-senyum. Oh iya, gue juga ngasih beberapa tips tentang pernikahan supaya Pucil tahu apa yang harus dihadapi nanti. Eh, gue malah dikasih pelototan sama Bon-bon dan Ririn. Memangnya salah gue apa? Sebagai salah satu teman baik Pucil, gue merasa harus memberikan rambu-rambu pernikahan ke dia, dong! Terutama rambu-rambu bahayanya. Misalnya, siap-siap berkenalan lagi dengan suami. Tinggal satu atap selama 24 jam tiap hari enggak mungkin asyik-asyikannya saja, kan? Beresin berantakannya dia, tambahan tumpukan baju untuk disetrika, belum lagi kalau Ganesha suka menggeletakkan sepatu di dalam rumah, seperti yang sering dilakukan Mas Arief. Awal-awal mungkin kita bisa bersabar, tapi lama-lama pasti ada saat jengkelnya keluar juga.
Jangan salah, ya. Gue bicara seperti ini bukan bermaksud mengatakan Mas Arief adalah suami yang payah. Hohoho, si ganteng itu adalah superman gue. Tapi gue saja yang sudah pacaran 7 tahun masih tetap harus adaptasi lagi ketika sudah menikah. Jadi jelas kalau usia pacaran bukan jaminan kelanggengan perkawinan. Get the point?
“Wiiin!”
Eh, kenapa lagi, nih, Mas Arief manggil?
“Kamu sudah makan belum?”, tanya suami gue sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu kamar. Gue menggeleng. Satu porsi tuna salad yang dikeroyok berempat jelas bukan makan malam yang memadai. Sehat memang, tapi amat sangat tidak memadai. Apalagi si Bon-bon cukup sadis kalau sudah meraup bagiannya.
“Pas kalau gitu.”, Mas Arief tersenyum lebar, “Aku tadi bikinin kamu nasi goreng kornet. Kalau Andien sudah selesai mimiknya, kamu makan dulu, deh, ya?”
Hah? Horeee!
Duh enggak rugi, deh, nikah sama laki-laki yang hobi masak!
Bon-bon
Selepas ketemuan dengan tiga kurcaci tadi sore, aku melanglang buana ke Plaza Senayan. Iyaaa, sendirian lagi. Payah, tuh, anak-anak susah banget diajakin jalan. Padahal lagi musim sale sekarang, paling cocok untuk hunting barang bagus harga miring. Memang waktunya saja barangkali yang enggak pas. Edwina harus pulang ke suaminya, Pucil dijemput Ganesh, katanya mau lanjut makan malam sambil membicarakan rencana nikahan. Sementara Ririn, Ririn yang kelihatan agak mellow tadi, punya kombinasi maut antara capek dan bokek. Hihihi. Can’t blame her for not coming, then.
Sebenarnya aku bisa saja minta temenin Billy. Tapi pasti nanti malah belanja buat kepentingan dia sendiri dan waktuku habis buat bantuin dia nyari sepatu, nyari kemeja, atau sekedar lihat-lihat dasi. Jadi lebih baik aku jalan sendirian, cuma singgah sebentar saja, kok, sekalian menunggu macet reda.
By the way, pembicaraan di KeKun tadi sore seru juga. Sudah aku duga, pasti Pucil mau ngasih pengumuman. Beberapa hari belakangan ini anak itu kelihatan happy banget. Pantas saja, a down-on-knee proposal from Ganesh! Woooo! Just like in movies! Bikin sirik saja dia. Apalagi pakai mau diadain di Bali segala. Nikahan impian banget!
Pembicaraan terus berkembang kemana-mana. Soal rencana kasar yang ada di kepala Pucil, soal liburan, soal cuti, soal dress code. Edwina, sebagai ibu-ibu satu-satunya di kelompok kecil kami, langsung giat memberikan tips. Herannya kenapa tipsnya enggak ada yang ceria, ya? Kesannya sulit banget jadi istri pacar sendiri. Hmmh, kalau sudah begini, kelihatan banget ibu-ibunya dia. Padahal bocah rese itu enggak pernah rela dipanggil ibu-ibu sama kita semua. Hahaha.
Salah satu yang enggak pernah aku duga adalah: Pucil diam-diam sudah membayangkan pernikahannya sejak lama. Memang dia enggak pernah blak-blakan bikin pengakuan seperti itu. Tapi dari caranya dia menuturkan semua itu, lho! Mulai dari tempatnya seperti apa, suasananya, dekorasi, bahkan ke makanannya sudah ada dalam bayangan dia. Mungkin aku enggak akan setakjub ini jika itu semua datang dari Ririn. Anak itu kan selalu meleleh kalau sudah bicara masalah cinta, pernikahan, relationship, yadda yadda, blab la bla. Sooo easy to predict. Seperti buku, dia mudah dibaca. Tadi saja, walaupun dia berusaha ceria, aku bisa melihat ada sindrom mellow di wajahnya. Menurutku Ririn hanya kurang percaya diri di depan cowok. Padahal kalau dia mau genjot PD-nya sedikit, aku yakin malah cowok-cowok itu yang hilang PD di depannya.
Balik ke Pucil, aku enggak heran satu-satunya hal yang luput dari perencanaan dia adalah... tentang dirinya sendiri! Hihihi. Mau pakai baju apa, warna apa, modelnya gimana, sama sekali enggak disebut. Waktu ditanya, mukanya juga blank begitu. I guess something will never change, huh? Terlalu banyak memikirkan orang lain, malah dirinya sendiri kelupaan. Contoh gampangnya adalah tentang rambutnya. Uuuh, gemes ingin masukin dia ke salon supaya rapi-an sedikit!
Ah, perut kok tiba-tiba menjerit-jerit begini? Aneh, tiba-tiba jadi lapar. Hmmm... telpon Billy saja, deh. Dia lagi ada dimana, ya? Enggak enak kalau makan sendirian.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
.,.,.,.,.
Loading...
No comments:
Post a Comment