Thursday, June 18, 2009
Chapter 3
Ganesha
Akhirnya hari ini datang juga. Rasanya lebih berat dari menghadapi ujian skripsi. Weekend kemarin gua masih bisa mengelak dengan pura-pura sibuk. Padahal alasan sesungguhnya adalah gua merasa belum siap kalau harus menghadapi orangtua Pucil. Tapi akhir minggu ini gua enggak bisa berkelit lagi. Aduh, gila, mata sepet banget rasanya, tapi jantung gua enggak bisa tenang. Sudah hampir seminggu, nih, tidur gua enggak nyenyak gara-gara memikirkan kata-kata ampuh yang harus gua pakai hari ini!
Om, tante, saya ingin menikahi Pucil.
Terlalu langsung.
Om, tante, saya dan Pucil memutuskan untuk menikah.
Ah, kok, masih belum pas.
Begini, lho, Om, Tante, saya dan Pucil punya rencana untuk menikah tahun ini..
Aaah, kepanjangan. Keburu tersekat duluan di tembolok.
Izinkan saya untuk menikahi Pucil, Om, Tante.
Halah, dangdut banget.
Ganesha toloool! Otak lo, kok, jadi tumpul begini, sih!! Padahal waktu melamar Pucil semuanya lancar. Enggak pakai acara insomnia segala, semuanya mengalir. Sempat-sempatnya pakai berlutut segala pula, malu gua kalau ingat lagi. Padahal kalau dipikir lagi itu lebih dangdut dari semua kalimat di atas, ya? Uh, kacau! Kacaaau!
Gua jadi kepikiran Derry. Orang itu, kan, pacarannya enggak sampai setahun. Baru juga ketemu babenya Yani beberapa kali. Gua sudah berkali-kali nenamu di rumah Pucil. Saban mengantar pulang, gua selalu masuk ke rumah, pamit pulang. Menurut teori, seharusnya gua lebih mantep, dong! Tapi kenapa gua sekarang enggak berhenti berkeringat, sih? Kenapa leher gua jadi kaku begini pula?
Ayo Ganesh. Berani! Berani! Ini baru permulaan!
Aaah, percuma saja gua mencoba mengobarkan nyali. Begitu sampai di rumah Pucil, jantung ini rasanya menciut. Sungguh hari yang salah untuk melamar cewek gua, karena semuanya hadir di rumah. Bahkan Ai’ yang biasanya kelayapan sama teman-temannya hari ini muncul juga, anteng duduk di depan komputer. Hanya itu, sih, yang berbeda. Sisanya sama, enggak ada sikap yang berlebihan. Mirip kalau gua main ke rumah Pucil seperti biasa. Ah, bagus, agak tenang jantung gua jadinya.
Eh, tapi tunggu dulu, gua barusan ngintip ke arah meja makan. Dan apa yang gua lihat? Lauk pauk lengkap tersusun rapi di tengah meja bundar. Kok, Si Tante masak lengkap banget hari ini? Yak, fakta tadi baru saja menggagalkan teori gua bahwa hari ini enggak istimewa. Setahu gua, Mamanya Pucil jarang banget masak besar begini. Hanya sekali-sekali saja, seperti di bulan puasa. Beliau sering menyiapkan makanan buka bersama untuk mesjid di dekat rumah. Gua enggak bisa lupa karena sekali waktu gua sok ikut membantu, malah jadi petaka besar karena ikan asinnya hangus semua.
“Gan? Yuk, makan dulu, deh!” Ajakan Mamanya Pucil membuyarkan pikiran gua.
Haduh Tante, andai saja Tante tahu apa yang sedang ada di dalam kepala guaaa!
Jadi, duduklah kami semua di meja itu: Mama dan Papanya Pucil, Ai’, Pucil, Reza, dan gua. Bukan pertama kalinya gua makan bersama di meja ini, tapi ini pertama kali gua makan bersama semua keluarga Pucil dengan menu lengkap: sop buntut, sayur labu, dan balado terong. Pakai kerupuk udang pula. Jadi ingat hajatan sunat tetangga minggu kemarin. Halah!
Bagus, bercanda terus lo, Gan, sebelum betulan jadi stupa di depan mereka!
Sepanjang acara makan, gua duduk dengan sangat enggak nyaman. Jantung gua terjengkang-jengkang setiap kali Papanya Pucil menoleh ke arah gua dan mengajak bicara.
“Gan?”
“Ya, Om?”
“Mobilmu sudah di-service? Katanya kemarin olinya sudah harus diganti?”
Atau…
“Oh iya, Gan?”
“I-iya, Om?”
“Kemarin kucing tetangga ada yang kelindes di depan, lho. Jadi nanti hati-hati kalau keluarin mobil, ya?”
Bushet.
Kucing tetangga pula jadi pembicaraan! Ai’ malah dengan cueknya bercerita tentang bazar di kampusnya minggu kemarin. Ah, mungkin gua berlebihan. Mungkin enggak seharusnya gua overdosis panik begini. Hey, mungkin hari ini gua enggak harus mengucapkan kalimat sakti itu ke orangtua Pucil? Hmmm…. Aaah, ngarang aja lo, Gan! Eh, tapi… tunggu dulu, sampai semuanya selesai makan, kok, enggak ada pertanda dimulainya topik ‘itu’, ya? Apa gua yang harus mulai, nih, jangan-jangan?
“Gan, bantuin aku ngambil buah di dapur, yuk. Sekalian ngangkat ini, nih, dari meja.”, kata Pucil sambil menumpuk piring-piring kotor. Gua menyambut ajakan itu dengan sukacita. Ini adalah kesempatan emas buat nanya Pucil skenario apa yang terjadi di sini.
“Cil, aku enggak harus nanya hari ini, kan?” Tanya gua di dapur dengan penuh harap. Kali-kali saja masih tersisa sedikit keajaiban di dunia ini. Eh, Pucil malah tertawa.
“Gini, lho, Gan, nanti…”
“Put, itu melonnya belum Mama potong. Kamu bawa saja dulu mangga dan anggurnya. Sini, itu mama potong dulu.”, tahu-tahu Mamanya Pucil muncul dan menyabotase pembicaraan crutial ini.
Aduuuh, Tanteee!
Pucil akhirnya langsung beranjak ke meja makan dengan sepiring besar buah-buahan di tangannya dan senyum terkulum di bibirnya. Pasrah. Gua pasrah!
Menunggu Mamanya Pucil selesai memotong melon adalah waktu yang paling lama sedunia. Bukan karena Mamanya Pucil enggak becus menggunakan pisau, tapi karena sepanjang Dion bercerita tentang Fear Factor yang ditontonnya kemarin, Pucil terus-terusan tersenyum misterius. Semacam memberikan pertanda ke gua bahwa sesuatu, sesuatu yang besar, akan terjadi sebentar lagi. Benar-benar detik-detik yang paling menyiksa.
Mamanya Pucil kemudian kembali ke meja makan, menyuguhkan melon potong di piring kedua. Semuanya menyerbu kedua piring tersebut. Sedangkan gua, gua yang biasanya tergila-gila dengan mangga, kali ini merasa perut ini terlalu melintir untuk disogok dengan buah itu.
“Nah, Ganesh, Om dengar kamu ada yang ingin disampaikan?”, tanya Papanya Pucil dengan tenang. Semua mata tertuju pada gua.
Yak! Inilah saat yang tepat untuk jadi stupa, Ganesh.
Baru saja gua mau buka mulut untuk menjawab, tiba-tiba,…
“Permisiii…”
Perhatian teralih ke arah pintu depan, dan… oh, tidak! Siapa lagi, tuh?
Pucil
Aduh, melihat Ganesha hari ini rasanya tidak tega sekaligus juga ingin tertawa geli. Susah sekali menahan diri untuk tidak menggodanya! Sejak pertama dia muncul di depan pintu, aku sudah bisa melihat dengan jelas bahwa cowok yang aku kenal cuek seumur hidupnya hari ini terserang grogi kronis. Bahkan Ai’ sempat-sempatnya berbisik padaku dengan geli.
“Tangannya dingin banget, Mbak, waktu tadi salaman!”, adikku itu cekikikan. Yang membuatku tidak bisa menahan senyum adalah melihat betapa keras usaha Ganesha untuk tampil kalem seperti biasa. Hihihi.
Mama hari ini khusus memasak lengkap, Papa juga wanti-wanti ke Ai’ dan Dion untuk tidak keluar rumah. Minimal sampai misi hari ini tuntas. Tumben Ai’ tidak protes. Belakangan dia buat pengakuan kalau ia sangat tertarik untuk melihat ‘pertunjukkan’ hari ini. Sekalian menyontek tips buat dirinya sendiri barangkali.
Satu kesempatan untuk menenangkan Ganesh datang ketika Mama meminta aku untuk mengambil piring buah di dapur. Makanya aku langsung kasih kode ke Ganesh untuk ikutan bantu di dapur. Tapi dasar apes, Mama tiba-tiba masuk ketika aku tengah berbicara dengannya. Ma’af, ya, Gan, hihihi. Terpaksa aku harus kembali ke meja makan.
Memang betul, hari ini bukan hari keberuntungan cowokku yang malang itu. Pas betul ketika Papa mulai bertanya tentang niatan Ganesh, Om Rio dan Tante Tata datang! Tentunya Mama dan Papa langsung menjamu mereka di meja. Dan di tengah-tengah keramaian di meja makan itu, Papa kembali ke pertanyaan yang sebelumnya terpotong. Ganesha yang sudah pucat benar-benar tidak bisa berkutik.
“Jadi gini, Om Rio, Tante Tata, Ganesha ada di sini, selain main juga ingin ada yang diutarakan sepertinya. Iya, kan, Putri?”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Mataku tidak lepas dari Ganesha yang tersenyum kaku.
“Gimana, Gan? Apa yang kamu ingin sampaikan ke Om dan Tante?”, tanya Papa lagi. Wah, bisa-bisaan, nih, Papa. Tenang banget ngomongnya, padahal aku tahu Papa sedang melakonkan pertunjukan juga. Andai saja Ganesha tahu.
Semua mata sekali lagi tertuju pada Ganesh. Sedetik, dua detik Ganesha terdiam, detik berikutnya dia menarik nafas panjang.
“Gini Om, Tante…”
Aku jadi ikutan panas dingin.
“Sudah cukup lama saya pacaran dengan Pucil. Dan selama ini kami merasa cocok satu sama lain.“
Semua terdiam, perhatian penuh masih tertuju ke Ganesh.
“Nah, maksud kedatangan saya di sini adalah untuk meminta izin sama Om dan Tante, untuk menikahi Pucil. Kalau diizinkan, saya pasti akan menjaga anak Om dan Tante dan berjanji membahagiakannya.”
Akhirnya! Keluar juga kalimat itu dari mulut Ganesha. Aku cukup takjub juga dengan ketenangannya. Sejujurnya, aku sudah punya gambaran kata-kata apa yang akan diucapkan oleh Ganesha hari ini. Tapi mendengarnya langsung, membuat aku tergugu juga.
Bagus, Gan, oh I’m so proud of you!
Ganesha
Akhirnya!
Keluar juga kalimat itu!
Detik-detik paling mendebarkan berangsur menghilang. Apalagi Reza langsung memecah suasana dengan tertawa terbahak-bahak. Ngetawain gua!
“Bwahahaha! Lo tegang banget, sih, Gan!”. Gua meringis, diam-diam mengutuk si bocah tengil itu.
Sial! Tunggu sampai giliran lo tiba, man!
Tapi melihat reaksi orangtuanya Pucil, plus Om dan Tantenya, hati gua langsung mak nyosss. Mereka tersenyum! Fiuh! Badai sudah berlalu, Ganesha.
“Enggak usah tegang begitu, dong, ah, Gan!”, kata Mamanya Pucil sambil tertawa. Yang lain ikutan tertawa juga, cuma gua yang salah tingkah. Man, cowok mana pun juga pasti akan grogi menghadapi momen seperti ini. Itu manusiawi, kan? Bagaimana kalau ternyata menurut mereka gua enggak memenuhi standard suami ideal Pucil? Sekali kata ‘tidak’ keluar dari mulut mereka, habis lah gua. Mati dengan tragis sebelum bisa bertempur!
“Om dan Tante senang sekali kalian memutuskan untuk menikah. Tentunya kita percaya kamu bisa memenuhi janji kamu, Gan.”, jawab Papanya Pucil.
Adem, adem! Matahari kembali bersinar cerah.
“Lagipula sejak pacaran sama kamu, Pucil tambah gemuk, nih, kayaknya, ya?”, Om Rio nyeletuk.
“Idih, Om, apa hubungannya?”, Pucil langsung protes sambil tersipu.
“Tandanya lo bahagia, tauk!”, dibalas cepat oleh Ai’.
Hahaha, Pucil langsung mati gaya. Eh, tapi memangnya sejak pacaran sama gua dia tambah gemuk, ya? Hmmm…
“Nah, sekarang langkah selanjutnya apa, nih, Put, Gan? Kalian sudah ada rencana apa?”
Ronde kedua dimulai.
Gua dan Pucil saling melirik, saling menunggu. Okey, sepertinya gua yang juga harus bicara.
“Kita sudah bicarakan berdua Om, paling tidak garis besarnya mau seperti apa. Kita sama-sama ingin diadakannya outdoor, mungkin… di pantai?” Semuanya terlihat terkejut.
Nah, kan. Tepat dugaan gua.
“Waaah, seru banget kawinan di pantai!”, Ai’ kegirangan, si bawel ini jelas setuju. Sayangnya Mamanya Pucil malah mulai menunjukan tanda-tanda khawatir.
“Kenapa harus di pantai, sih, Cil? Di sini kan susah nyarinya. Kenapa enggak di gedung aja kayak biasa?” Sambutan Mamanya Pucil seperti yang sudah gua tebak. Pucil terlihat was-was.
“Iya Tante, enggak mungkin kita mengadakannya di Jakarta. Karenanya kita berpikir untuk mengadakannya di luar kota. Seperti di Bali, barangkali”, jawabku.
“Bali! Wah, asyik banget Gan kalau ngadainnya di Bali!”, Reza kali ini ikutan excited. Dodol! Bukannya bantuin gua!
“Sebenarnya Papa tidak mau melarang kalian, nih, Put. Tapi jelas harus direncanakan baik-baik karena pasti akan dua kali lebih sulit. Belum lagi masalah biaya. Yakin kalian maunya di Bali?”, tanya Papanya Pucil. Pandangannya serius terarah ke cewek gua. Pucil mengangguk.
“Kalau persoalan biaya, saya sudah mempersiapkannya dari jauh hari sebenarnya, Om. Mungkin tidak besar, tapi ada lah.”
Pucil menatap gua, terkejut. Memang selama ini gua enggak pernah cerita kalau diam-diam gua menabung untuk keperluan itu. Malu gua kalau diledek dia. Nanti dituduh sebagai cowok sentimental lagi, kayak begitu saja disiapin.
“Lagipula, Om, Tante, ini buat kepentingan keluarga saya juga. Mbak Amy dan suaminya sudah menetap di Singapura. Sementara Ayah, Ibu, dan Dion sekeluarga ada di San Fransisco. Sebagian kerabat dekat saya tersebar di luar Indonesia, Om. Jadi saya pikir ini bisa jadi momen bagi mereka untuk terbang jauh untuk pernikahan kami sekaligus liburan besar.”, gue menambahkan. Ini kata-kata ampuh yang sudah gua pikirkan untuk menghadapi reaksi orangtua Pucil.
“Kita ingin nikahan nanti berbeda dengan yang lain, Pa. Apa enggak bosen dating ke nikahan di gedung melulu? Dan ide yang seperti Ganesha bilang tadi bukannya enggak mungkin, kan?”, tanya Pucil.
Wah, sepertinya berhasil, nih. Papanya Pucil mengangguk-angguk.
“Om Rio dan Tante Tata, sih, senang-senang saja, Put. Di gedung oke, di pantai juga oke. Tapi kalau kalian maunya di gedung Om bisa bantu dapat diskon. Jadi sebagian duitnya, kan, bisa kalian tabung.”, kata Om Rio sambil terkekeh.
“Susah, nih, anak jaman sekarang, maunya yang aneh-aneh.”, canda Mamanya Pucil.
“Kita enggak melarang, ya, Ma? Tapi ada baiknya kalau kita bicarakan dengan yang lain.”, kata Papanya Pucil.
Hah? Yang lain?
Gua terperajat. Apa enggak cukup banyak ‘yang lain’ sudah hadir hari ini?
“Minggu depan kita coba kumpul keluarga lagi. Undang Tante Rani, Tante Desi, dan Om Agus. Rio dan Tata bisa datang juga, kan, minggu depan?”, tanya Papanya Pucil.
“Oooh, bisa. Gampang, itu!”, jawab Tante Tata, tersenyum.
“Oh, iya, Putri, kamu perlu bicara sama Tante Desi, terutama untuk soal baju dan serah-serahan. Tante Desi pasti bisa bantu. Gimana?”
Gua tahu benar ucapan Papanya Pucil tadi bukan anjuran, tapi ultimatum. Gua melirik Pucil, mencari tahu reaksinya.
“Iya Pa. Sip. Kita tunda saja dulu sampai minggu depan. Tapi kalau memungkinkan, kita boleh ngadainnya di pantai, kan?”, tanya Pucil. Aku menahan nafas. Kalau sampai Papanya Pucil menarik garis tegas, bilang ‘tidak’, Pucil pasti putus asa dan kecewa berat.
“Yah, kita lihat nanti. Papa tidak melarang. Tapi lebih baik kalian mendengar pendapat yang lain, terutama Tante Desi, supaya tahu apa saja yang kalian harus hadapi ke depannya. Ya?”
Yak, dengan begitu sebuah pintu kemungkinan sudah terbuka. Babak satu dan dua terlewati dengan penuh perjuangan. Babak berikutnya pasti lebih berat. Tapi paling enggak akan ada waktu ekstra bagi gua dan Pucil untuk mengatur strategi!
Hmmm… menyongsong badai berikutnya!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
.,.,.,.,.
Loading...
No comments:
Post a Comment