Thursday, June 18, 2009
Chapter 14
Pucil
Selamat datang 8 Agustus!
Tidak percaya akhirnya saat ini tiba juga. Dari jam 7 pagi, kamarku sudah penuh dengan orang. Sepupu, om, tante, teman-teman ngumpul jadi satu. Kita memang mendayagunakan sepupu sendiri untuk jadi pengantar seserahan dan penerima tamu, jadi dari pagi ini mereka sudah ngantri giliran untuk dirias dan pakai kebaya. Tentu saja Tante Desi yang in charge penuh soal ini, dan aku tidak akan habis berterima kasih karena beliau benar-benar pol persiapannya. Bahkan dari tadi malam Tante Desi sibuk memasang-masangkan kebaya dan kainnya supaya hari ini semua siap. Tante Rani bersama Tia, sepupuku, sedang berkreasi mengatur barang-barang ke dalam kotak seserahan supaya terlihat cantik. Sementara di kamar mandi dua pasien sedang ‘dioperasi’ rambutnya untuk disanggul, tentunya sambil bergosip dan cekikikan. Hihihi.
Belakangan aku baru menyadari kalau hampir semuanya sudah siap, kecuali aku.
“Pengantin belakangan!”, tukas Tante Desi sambil tertawa ketika aku protes.
“Lagian rambut lo perlu dibonding dulu, tuh. Berantakan gitu, mana mempan disanggul!”, timpal Ai’ yang lagi dirias. Nyebelin! Aku jadi senewen sendiri melihat yang lain sudah cantik sementara aku masih bercelana-pendek-ria di dalam kamar.
“Puuut, kotak sepatu yang ada di dekat lemari di rumah kamu bawa enggak, sih? Kok Mama cari-cari enggak ada, ya?”, tanya Mama tiba-tiba.
“Lha, bukannya Mama yang katanya mau bawa ke Bali? Kan Putri bilang kopernya sudah kepenuhan?”, tanyaku balik. Bukan kotaknya yang penting, tapi isinya. Karena di dalamnya ada sepatu pengantinku!
“Yaaah! Kirain kamu sudah bawa. Mama enggak cek lagi!”, kata Mama, mulai panik. Lah, gimana ceritanya kalau pengantin perempuan tidak pakai sepatu? Aku dan Mama sekarang sama-sama heboh. Sampai akhirnya Tia yang menjadi juru penyelamat.
“Mbak Pucil, gue bawa sepatu hak tinggi, sih… tapi warnanya gini.”, katanya sambil memperlihatkan sepasang sepatu cantik berwarna… merah!
Aduuuh!
Ganesha
Sebetulnya aturan dari mana, sih, kalau di hari H, pengantin laki-laki dan perempuan enggak boleh ketemu? Gara-gara Nyokap nyebut-nyebut hal ini waktu acara makan malam kemarin, akhirnya gua dan Pucil dipinggit betulan. Gua pun jadi sibuk cek sana sini sendirian, karena Pucil enggak diperbolehkan keluar dari kamar. Untung ada Om Agus yang bantuin, bisa gila gua kalau ngerjainnya sendiri. Ternyata ‘kepanitian’ di keluarga Pucil berguna juga.
Baru sore-sorenya gua diamankan Om Agus ke kamar untuk bersiap. Heran, tadinya gua sama sekali enggak gugup menghadapi semua ini, tapi sejak masuk kamar tiba-tiba saja perut gua dipenuhi kupu-kupu. Dua jam menjelang pernikahan gua, nih!
Tenang, Gan, tenaaang!
Bon-bon
Bingung-bingung-bingung.
Aku sengaja bawa tiga pasang sepatu untuk dipasangkan dengan bajuku. Maksud hati supaya nanti bisa memilih mau pakai yang mana. Eh, sekarang aku malah pusing sendiri. Kadang aku iri sama Billy yang enggak harus dipusingkan dengan urusan fashion. Sepatu cuma dua pasang, memilihnya juga tinggal cap-cip-cup. Aku mana bisa begitu! Hmmm, jadi yang mana, dong?
Aaah, it’s so difficult to be a woman!
Edwina
Heran, si Bon-bon lama amat, sih! Katanya sudah siap dari setengah jam yang lalu, tapi, kok, belum muncul juga sampai sekarang. Mas Arief sampai keluar duluan bawa Andien. Ingin jalan-jalan sambil lihat venue, katanya. Dengar-dengar, sih, di luar sekarang sudah tertata cantik sekali. Makanya gue penasaran banget! Sialnya sampai saat ini gue masih terjebak di kamar nungguin Bon-bon yang enggak kunjung tiba.
Mudah-mudahan Ririn juga telat, jadi enggak lama nungguin kita berdua di venue. Bisa murka dia kalau ditelantarkan sendirian selama ini!
Ririn
Kebiasaan buruk, deh, nih, Bon-bon dan Edwina. Terutama Bon-bon. Anak satu itu pasti masih belum bisa menentukan sepatu mana yang mau dipakai. Dari tadi malam dia sudah ribut sendiri. Kenapa tidak bawa satu pasang sepatu saja, sih, dari Jakarta? Akhirnya aku harus duduk sendirian. Mana belum banyak orang pula. Garing… Rencananya, sih, kita mau foto-foto bertiga sebelum tempat ini ramai. Makanya kita ingin muncul di sini lebih awal. Huh, rencana tinggal rencana. Lagu lama, nih!
“Temannya Pucil, ya?”
Eh? Tahu-tahu cowok yang dari tadi duduk sendirian di depanku membuka percakapan.
“Iya.”
“Coba aku tebak, Bon-bon, Edwina, atau Ririn?”
“Yang terakhir.”, jawabku heran.
“Kok, bisa tahu? Pucil sering cerita, ya?”
“Enggak pernah absen dari ceritanya. Yang lain mana?”, tanya cowok itu lagi.
“Enggak tahu, nih. Paling terlambat lagi, seperti biasa kalau janjian sering begini.”Dia tertawa mendengar jawabanku.
“Iya, bagian itu juga Pucil sering cerita. Aku sendiri juga paling enggak suka kalau terlambat datang janjian. Lebih baik kepagian, kayak kamu gini. Lagipula tempat ini asyik banget, enggak rugi nongkrong duluan di sini. Ini pasti jadi pernikahan yang sempurna.”, katanya sambil melihat sekeliling.
“Oh iya, aku Toska.”, dia mengulurkan tangan sambil tersenyum.
“Ririn.”, sambungku.
“Aku mending duduk si situ aja kali, ya, biar ngobrolnya enggak usah pakai nengok ke belakang segala.”
Diam-diam aku memperhatikan cowok itu beranjak dan duduk di sampingku sambil tersenyum simpul.
Pucil rese.
Kok, kamu tidak pernah cerita kalau Toska selucu ini, sih?
Pucil
“Mbak, di luar bagus banget, deh. Langit mataharinya mulai berwarna jingga gitu.”, Ai’ yang sudah selesai dandan memberi laporan. Wah, aku juga ingin lihat!
“Masih lama, ya, Tante?”, tanyaku tidak sabaran.
“Sebentaaar. Coba buka mata kamu pelan-pelan. Mudah-mudahan bulu matanya sudah kering. Nah, sip!”
Tante Desi menatapku lamat-lamat, menganggumi hasil karyanya sendiri. Dan harus kuakui, Tanteku yang satu ini berbakat bukan main! Aku tercekat memandang bayanganku di cermin.
Gila, bisa cakep juga kamu, Cil!
“Cil, semua sudah siap, tinggal nungguin kamu.”, Tante Rani muncul dari balik pintu, membuat Tante Desi heboh karena dirinya sendiri malah belum siap. Semua keluar dari kamarku dengan celotehan ramai.
“Put,”, panggil Mama setelah tidak ada lagi orang di dalam kamar.
“Ya, Ma?”
Tanpa kata-kata Mama mendekatiku. Kemudian dengan lembut beliau menangkup pipiku dengan kedua tangannya. Matanya yang mulai berkaca-kaca menatapku jauh ke dalam dan Mama tersenyum.
“Anak Mama cantik sekali.”, katanya nyaris berbisik lalu Mama mencium keningku pelan. Aku memeluk Mama erat, dadaku sesak penuh haru dan aku hilang kata-kata. Tidak ada orang lain yang lebih aku sayang selain Mamaku sendiri. Tidak ada!
“Udah udah, kalau make-up kamu luntur, nanti Mama diomelin Tante Desi.”, canda Mama sambil mengusap pipiku.
Oh Tuhan, sore ini memang indah sekali. Semuanya diciptakan dengan begitu sempurna. Matahari tepat menggantung di katulistiwa barat, menciptakan langit jingga seperti yang Ai’ bilang. Kita tidak salah memilih hari.
Diapit oleh Papa dan Mama, satu-satu langkahku melaju menuju gazebo kecil di tengah villa. Sepatu merahku yang bersinar-sinar tertimpa matahari sore, membelah lautan tamu yang semuanya melihatku dengan penuh kekaguman. Keluarga, saudara, teman-teman, serta tentu saja Bon-bon, Ririn dan Edwina. Jadi bintang sehari kalau kata Tante Desi. Ah, tidak, sepertinya bintang film pun tidak akan bisa merasakan apa yang aku rasakan sekarang.
Semuanya…
Ini tidak akan terjadi kalau bukan karena bantuan kalian! Aku betul-betul terharu. Lalu seperti tuan putri, aku diberi tempat duduk di tengah gazebo, sementara Om Agus memberi sambutan untuk para tamu. Tidak lama setelah itu, muncul Ganesha yang kelihatan luar biasa tampan dari balik archway.
Ganesha
Gua enggak bisa berhenti tersenyum. Rasanya aneh banget berjalan pelan dengan peci dan baju ini, melewati semua orang yang enggak putus memandang gua. Tarik nafas panjang, Gan, dalam hitungan menit, semua ini akan terjadi. Sebuah sejarah penting dalam hidup seorang Ganesha akan tertulis! Dan dalam setiap langkah yang gua lakukan, berkelebatlah semua yang sudah gua jalani bersama Pucil.
Langkah satu,
Pucil melongkokkan kepala dari pintu masuk Pizza Hut. Lalu ia masuk dengan langkah-langkah yang terlihat seperti loncatan-loncatan kecil. Bajunya berwarna ungu terang, wajahnya berseri-seri, seperti biasa. Sesekali matanya melihat ke arah gua dengan penasaran.
Langkah lima,
Menunggu Pucil di ruang tamu rumahnya untuk pergi nonton pertama kali. Bahkan dengan rambut dikuncir kuda, perempuan itu terlihat cantik sekali. The Last Samurai bukan film yang romantis, tapi menontonnya dengan Pucil benar-benar mengubah nuansa.
Langkah tujuh,
Mulut kecilnya merucut ketika sore itu ia kehujanan. “Lain kali bawa payung, ya, Gan.”, katanya. Sejak saat itu, sebuah payung besar enggak pernah alpa dari mobil gua.
Langkah sepuluh,
Belajar membeli bunga untuk pertama kalinya. Sumpah, gua takjub betapa seiikat bunga bisa menciptakan reaksi yang begitu dahsyat pada seorang perempuan.
Langkah dua belas,
“Gan, aku enggak bisa masak, tapi kalau cuma bikin mie, bisa. Mau?”
Gua mengangguk. Percaya atau enggak, itu mie instan yang paling enak yang pernah gua makan.
Langkah ke sekian,
Mata besarnya menatap gua enggak percaya ketika gua berlutut dengan sepotong cincin di tangan. Kalau orang lain mungkin akan langsung menjawab iya atau enggak. Pucil malah balik bertanya: “Kamu yakin?”
Lalu sekarang, melihat perempuan yang sempurna itu duduk menunggu kedatangan gua, gua langsung tahu gua enggak akan pernah punya keraguan sedikit pun di hati. Bagi gua, dia adalah salah satu mahakarya yang pernah diciptakan Tuhan di alam semesta.
Dan gua,
…
…
..
.
…gua sungguh-sungguh beruntung bisa menjadi suaminya!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
.,.,.,.,.
Loading...
No comments:
Post a Comment