Thursday, June 18, 2009
Chapter 6
Pucil
Okey! Ini adalah pembagian tugas untuk aku dan Ganesh:
----------------------------------------------
PUCIL’s
Kartu undangan
Souvenir
Baju pengantin
Foto (wedding and prewedding) cetak dan frame. Kalau jadi di Bali, mending sekalian saja foto di sana.
GANESHA’s
Band – menyusul, tunggu konfirmasi tempat.
Guest List
Seserahan ^_^
VENUE – tugas berdua, URGENT!!!
----------------------------------------------
Nah, coba, deh, dilihat dengan seksama. Betapa mudahnya tugas Ganesha dibanding tugas Pucil. Oke lah, soal baju pengantin aku memang harus yang pegang karena berhubungan dengan Tante Desi. Tapi yang lain?
Awalnya pembagiannya seperti ini:
----------------------------------------------
PUCIL’s
Kartu undangan
Guest list
Baju pengantin
GANESHA’s
Band – menyusul
Seserahan
Souvenir
VENUE – tugas berdua, URGENT!!!
----------------------------------------------
Memang sekilas terlihat tidak berubah banyak kalau hanya guest list dan souvenir yang ditukar. Tapi itu sudah merupakan perubahan besar. Membuat guest list hanya pekerjaan semalam-dua malam. Duduk di depan komputer sambil berpikir, dan akhirnya keluarkan saja nama-nama yang muncul di otak kita, bukan? Bandingkan itu dengan mencari souvenir. Aku harus tanya sana sini, telpon sana sini, mampir sana sini, lihat lagi produknya apa, memilih, bikin jadwal ketemuan, bla bla bla, bli bli bli. Jelas bukan tugas yang habis dikerjakan satu-dua malam.
Tapi Ganesha bilang biasanya souvenir dibuat juga oleh orang yang bikin kartu undangan, jadi bisa satu paket dengan pekerjaan membuat kartu undangan. Akhirnya ditukarlah tugas souvenir dengan guest list. Sebenarnya aku gatal ingin menyerahkan tugas kartu undangan dan souvenir ke Ganesha namun aku ragu. Ganesha belakangan ini sibuk sekali sama kerjaannya. Bukannya aku lowong juga, lho, tapi merelakan tugas ini dikerjakan Ganesh sama saja dengan menyuruh Ai’ untuk membatasi gosipannya di telpon selama 5 menit saja. Pekerjaan sia-sia.
Si Ganesh susah banget dimintain tolong maupun pendapat belakangan ini. Padahal yang nikah, kan, bukan aku saja. Uh! Terakhir aku minta dia nanya soal referensi venue di Bali sama temannya yang kerja di wedding organizer, eeeh, itu saja kelupaan melulu. Padahal apa susahnya, sih, tinggal angkat telpon? Minimal SMS lah, tidak sulit kan? Sementara aku sudah beberapa kali telat datang ke kantor gara-gara sebelumnya harus mampir dulu ke tempat buat kartu undangan.
Itu satu.
Belum lagi kalau ngomongin soal ngukur baju. Sulitnya minta ampun minta dia nyisihkan waktu buat singgah ke tempat Tante Desi. Bon-bon sampai nakut-nakutin aku, jangan-jangan Ganesha nanti nikahannya pakai kemeja dan jeans seperti seragamnya sehari-hari. Semua tertawa, kecuali aku. Karena bagi aku hal itu bukannya tidak mungkin dilakukan oleh Ganesh. Mengingat cowok itu selalu punya jawaban untuk mengundur hal yang satu ini.
“Aduh, urusan baju nanti, deh, Ciiil!”
…atau,
“Yah, Cil, aku belum bisa ke tempat Tante Desi. Harus nyiapin presentasi buat besok.”
…dan yang paling parah,
“Apa enggak bisa kamu bilang saja ke Tante Desi ukuranku? Kamu tahu ukuran celana dan kemejaku, kan?”
Ngarang banget! Dia pikir ngukur baju sama seperti minta tolong beli kemeja di mall, kali, ya? Bisa titip-titip, gitu. Ih, gemeees!
Belum lagi kalau aku ajak dia ngomong soal undangan. Biar bagaimana pernikahan itu melibatkan dua orang, dua pikiran, dua selera, bukan? Dan di atas semua itu, semua perlu didiskusikan karena satu kepala saja tidak akan sanggup menanggung beban semua perintilan persiapan pernikahan. Tapi Ganesh selalu ogah-ogahan menanggapinya. Aku sampai hafal jawaban dia, seperti diskusi dua minggu yang lalu:
“Gan, bagusnya undangan kita berwarna aja, kali, ya?”
“Iya.”
“Warnanya apa? Biru putih aja, gitu?”
“Iya.”
“Aku rasa pakai pita bagus, deh.”
“He-eh”
...atau,
“Gan, mau hard cover atau soft cover?”
“Terserah kamu, deh.”
...dan ini,
“Gan, mendingan foto kita enggak usah ikut dicetak di undangan kali, ya? Aku enggak rela ngebayangin setelah nikahan, undangan-undangan yang ada fotonya kita itu berakhir di tempat sampah. Apalagi sampai diinjak-injak orang.”
“Hmmm... oke.”
...juga ini,
“Menurut kamu bagusan undangan buatan Domini atau Antiquez, Gan?”
“Terserah kamu lah Cil. Aku ngikut aja.”
Get what i mean???
Tidak pernah menyumbangkan ide, semuanya terserah aku. Kalaupun di-iya-kan, kayak robot saja, terkesan tidak dipikir dulu jawabannya otomatis keluar. Ah! Gimana, sih! Kalau ada yang tidak beres dengan undangannya, aku juga, dong, yang disalahin?
Kemarin aku menghabiskan bermenit-menit untuk curhat dengan Edwina. Si Madam Medusa itu cuma tertawa geli, karena dulu ternyata dia mengalami hal yang sama. Katanya,
“Begitulah cowok, Cil. Mereka berubah menjadi manusia ‘up-to-you’ begitu ditanya pendapatnya soal pernak-pernik persiapan.” Aku jadi berpikir, jangan-jangan jawaban model begitu sudah terprogram sempurna di dalam gen setiap cowok dan hanya keluar menjelang hari pernikahan mereka, ya?
Sekarang aku baru mengerti mengapa Edwina sensitif banget menjelang nikahannya. Ketowel sedikit, marahnya tiga hari. Becanda sedikit, mukanya dilipat-lipat sampai lecek. Belum lagi masa-masanya dia menangis karena urusan yang terlihat sepele banget. Ternyata memang semua ini sungguh bikin frustasi.
“Tunggu bulan-bulan ke depan Cil. Lo harus kuat, ya. Cause i think it will get more and more complicated.”, begitu kata Edwina sebelum kita dadah-dadahan. Idih, nakutin aja, deh, itu anak. Kalau Ririn ikut mendengar pembicaraan kami, aku yakin sudah habis Edwina disayat-sayat tatapan tajam Ririn. Kalau Edwina ngomong begitu dua bulan lalu, aku mungkin menganggapnya sambil lalu, tapi sekarang aku tidak bisa membendung kekhawatiran itu. Edwina rese!
Dan, ya, seperti dugaanku, akhirnya urusan mencari venue pun jadi aku yang bertanggung jawab. Aku yang mencari lewat internet, aku yang menelpon ke Bali untuk cari informasi, aku yang tanya-tanya ke orang-orang, aku yang repot. Sementara aku cuma satu orang yang juga punya pekerjaan sehari-hari. Sekarang sudah satu bulan lebih sejak perjanjian dengan Om Rio. Dan aku belum berhasil mendapat tempat.
Ya, aku belum mendapatkan tempat yang pas!
Ganesha
Pusing gua. Belakangan Pucil kayak kena sindrom PMS setiap hari, maunya marah-marah terus. Kenapa, sih? Padahal gua kan juga ikut repot mengurusi nikahan. Ini tugas gua:
GANESHA’s
Band – menyusul, nunggu keputusan venue dulu.
Guest List
Seserahan
Coba lihat. Gua harus mencari band. Memang Pucil bilang gua harus menunggu kepastian venue dulu, baru follow-up band-nya. Tapi bukan berarti gue enggak tanya-tanya ke orang-orang, kan? Kebetulan gua lagi megang acara launching minuman di Hard Rock Cafe, gua akhirnya jadi sering ngobrol sama panitianya soal ini. Pulang juga jadi lebih malam dari anak-anak yang lain. Sampai rumah, masih ditanyain lagi sama Pucil.
Terus gua harus bikin guest list. Memang kayaknya mudah, tapi guest list di sini berarti orang-orang yang pasti bisa datang, berhubung tamu-tamu nanti makannya sambil duduk. Setiap tempat duduk pasti sudah ada nama tamunya, dong? Sementara keluarga gua kebanyakan ada di luar negeri. Ada time different, biaya telpon mahal, SMS juga kadang entah nyasar kemana walau di-report-nya dinyatakan delivered. Belum lagi menunggu jawabannya. Mereka, kan, enggak bisa seenaknya langsung lompat ke pesawat dan terbang ke Bali. Harus ngatur waktu, ngatur biaya, aaah, repot lah. Gua cuma bisa nunggu, kalau gua tanyain terus bisa disangka calon pengantin rese, lagi. Bisa miskin mendadak juga di akhir bulan karena tagihan telpon grafiknya menjulang.
Yang ketiga, soal seserahan. Sebelumnya gua ingin nanya ke kalian, seserahan itu gunanya apaan, sih? Sama saja kayak belanja biasa, kan? Gua tanya Pucil maunya apaan, Pucil malah melotot dan nyuruh gua kreatif. Lha! Kreatif gimana? Kalau datang ke kawinan teman kan gua enggak pernah usil melirik ke barang-barang seserahannya orang lain. Bingung banget gua jadinya. Kalau salah beli nanti kena pelototan lagi, deh.
Akhirnya kemarin gua tanya sama Derry. Dia bilang seserahan itu bentuknya bisa macam-macam, sesuka kita saja. Tapi umumnya berupa perlengkapan mandi, baju, sepatu, sampai perkakas perempuan seperti baju dalam. Hah! Beli’in Pucil baju sendirian saja gua malas. Lebih baik dianya ikutan juga, nyari yang paling dia suka. Ini beli BH pula! Aduh, gua paling malas nemenin Pucil belanja ke area BH dan celana dalam. Biasanya gue kabur ke tempat lain sementara dia mencari yang dia mau. Gua suka heran sama cowok-cowok yang mau saja ikut pacarnya belanja baju dalam, pakai ikutan milih lagi! Kayak sapi dicocok hidungnya. Untungnya Pucil enggak pernah marah kalau gua menolak untuk ikutan dia belanja baju dalam. Tapi sekarang gua jadi enggak tahu ukuran dia. Si Derry malah ketawa keras-keras waktu gua cerita soal ini, dibilangnya gua terlalu naif. Sial. Ukuran macam apa itu, enggak suka belanja BH sama dengan naif!
Satu lagi, seharusnya orang-orang harus mulai memikirkan cara praktis mengundang orang lain untuk datang ke kawinan. Misalnya dengan SMS. Praktis, hemat waktu, hemat biaya. Gua benar-benar bingung kalau disuruh milih undangannya kayak apa. Eh, ini lagi harus mikirin tempatnya harus gimana, makanannya apaan saja, segala macam urusan model begitu. Bagi gua semuanya sama saja, lah, enggak terlalu penting detil-detil seperti itu. Makanya gua ngikut aja sama apa yang Pucil bilang. Toh dia sudah punya gambaran di kepala tentang semuanya. Derry ternyata juga punya masalah yang sama. Istrinya dulu sempat ngambek, dikira Derry enggak pedulian. Padahal kalau diteliti lagi, sepertinya cewek lebih tahu apa yang mereka mau dalam menyiapkan semuanya. Jadi, kenapa harus tanya ke kita, sih? Toh kita juga bakal setuju-setuju saja.
Eh, Pucil telpon, nih. Aduh, bakal marah lagi, deh, dia, gua kelupaan nanyain Irene soal venue di Bali. Gawaaat!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
.,.,.,.,.
Loading...
No comments:
Post a Comment