Thursday, June 18, 2009
Chapter 9
Edwina
Gue benar-benar prihatin dengan Pucil, karena satu setengah tahun yang lalu, gue juga berada di posisinya. Ketika gue stres dikejar-kejar persiapan yang enggak ada akhirnya, curhat adalah sebuah katarsis yang sempurna. Apalagi Bon-bon, Ririn, dan Pucil enggak pernah capek untuk ikut turun tangan mengurusi printilan yang sudah enggak sanggup gue tangani lagi. Jadi gue tahu benar apa arti keberadaan mereka ketika gue dan Mas Arief duduk di hadapan penghulu.
Kalau saja gue belum nikah, masalah finansial begini bisa gue atasi dengan sejentik jari. Gue enggak perlu memikirkan orang lain, seperti sekarang. Tentu saja setelah menikah, semuanya berbeda. Sebelum nikah, Mama memberi gue segudang nasihat. Salah satunya adalah untuk selalu menurut apa kata suami. Waktu itu gue berpikir nasehat itu kuno banget, salah-salah bisa jadi bumerang buat para istri. Namun Mas Arief enggak pernah memperlakukan gue dengan enggak adil. Justru gue yang dulu seringnya bikin ulah. Malas beres-beres lah, pulang kemalaman lah, pokoknya banyak hal yang kalau Mama sampai tahu bisa habis gue dimarahin.
Intinya, di awal-awal kita menikah, gue tahu banget Mas Arief lebih banyak bersabar menghadapi mood gue yang mudah berubah. Sekarang, ketika banyak teman-teman gue diultimatum oleh suami supaya langsung pulang setelah kerja dan mengurus anak, gue sangat bersyukur punya suami yang masih mengizinkan gue hangout dengan para sahabat gue.
Itu yang gue suka dari Mas Arief. Suami gue yang cuek itu hebat banget, bisa membuat gue menjadi lebih sabar tanpa pakai kata-kata, apalagi pakai tarik urat. Bisa membuat gue tambah dewasa dengan memberi contoh yang nyata. Dan setelah sekian lama kita bonding hidup berumah tangga, apalagi setelah Andien lahir, gue belajar bahwa kita sama-sama harus bisa bertoleran dengan masing-masing. Termasuk ketika dana enggak mencukupi untuk pergi ke kawinannya Pucil di Bali.
“Win, kok lama banget cuci piringnya?” Mas Arief tahu-tahu muncul di belakang gue. Waduh, ketahuan melamun, nih!
“Bentar lagi selesai, kok. Kenapa, Mas?”
“Enggak apa-apa. Kirain kamu ikut kecemplung ke saluran air.”, jawab Mas Arief kalem. Gue tertawa.
“Win?” Gue menoleh, melihat ke arah Mas Arief yang masih berdiri di belakangku.
“Sudah bilang ke Pucil kalau kita enggak bisa datang?”, lanjut Mas Arief. Gue mengangguk.
“Terus?”
Ya, terus Pucil nangis dan Edwina ikutan sedih, Mas.
“Terus, ya, udah. Pucil berhenti nanya lagi.”
“Kamu gimana?”
Gue menoleh ke arah Mas Arief lagi dengan heran.
“Aku gimana, gimana maksud Mas?”
Mas Arief menggaruk-garuk kepalanya yang enggak gatal.
“Yaaa, kamu gimana? Enggak apa-apa, kan?” kata Mas Arief.
“Hahaha, enggak apa-apa lah Mas. Emangnya kenapa, sih?”, jawab gue mencoba riang.
Belum dijawab oleh Mas Arief, handphone gue berbunyi. Mas Arief menghilang dan muncul lagi dengan handphone di tangannya.
Ganesha calling...
Gue buru-buru mengeringkan tangan dan menjawab telpon.
“Win, maaf telpon malam-malam, nih. Gue dari tadi nyoba telponin Pucil tapi enggak diangkat terus.”
Hmmmh, dasar cowok! Harus dicuekin dulu sama calon istrinya, baru, deh, perhatian!
“Sudah tidur kali, Gan.”, kata gue sambil tertawa kecil.
“Yah, sudah tidur, ya? Baru tidur apa sudah lama, Win? Kalau baru, bisa minta tolong bangunin, enggak?” Gue mengerutkan dahi. Minta tolong gue bangunin Pucil? Yakin, nih, Ganesha enggak salah telpon?
“Gimana caranya gue bangunin dia, mabuk lo, ya? Hehehe. Lo telpon aja ke rumahnya, Gan.”, kata gue antara bingung dan mencoba bercanda. Sejenak enggak terdengar suara di ujung sana, hanya bunyi sayup-sayup kendaraan melintas.
“Win, lo bercanda, kan? Kata Ai’, Pucil menginap di rumah lo?”, kata Ganesha dengan serius.
“Hah? Enggak, tuh, Gan. Pucil enggak ada di sini. Enggak pernah bilang juga kalau mau menginap di sini.”, kata gue heran. Telpon hening lagi.
“Win, gue minta tolong, coba tanyain ke Bon-bon dan Ririn. Gue coba telpon Pucil lagi. HP-nya aktif, tapi enggak pernah dijawab” “Iya, gue telpon mereka sekarang, deh ya.”, jawab gue cepat sambil memutar otak. Kira-kira siapa yang bisa tahu Pucil ada di mana?
Ririn
Aku ingat, Bon-bon pernah cerita tentang pengalamannya mendapat tawaran kerja di kantor yang sekarang. Waktu itu dia bingung setengah mati. Aku heran, apa yang perlu dipusingkan, sih? Jelas-jelas gajinya semakin baik, tantangan kerjanya juga lebih menarik. Kalau aku jadi Bon-bon, aku jelas sudah berpindah kantor tanpa ragu.
Tapi menurut Bon-bon bukan hanya gaji dan tantangan saja yang menjadi pertimbangan, tapi juga masalah kenyamanan kerja. Waktu itu sudah 3 tahun Bon-bon kerja di kantor yang lama, sudah kenal banget dengan ritme kerja dan teman-teman kantornya. Meninggalkan itu semua untuk kerja di kantor yang baru, membuat temanku itu tidak langsung mengambil keputusan untuk pindah ke kantor yang baru. Adaptasi di minggu-minggu pertama itu tidak mudah, apalagi ketika kita harus meninggalkan comfort zone. Waktu itu aku mengangguk-angguk basi tanpa benar-benar mengerti apa maksud omongan Bon-bon.
Sekarang aku baru mengerti. Meninggalkan comfort zone itu mungkin seperti ketika harus keluar dari bawah selimut yang hangat di hari yang dingin untuk mandi, terguyur air dingin. Dalam kasusku, rumah dan aturan Mama adalah comfort zone-ku. Ketika aturan mainnya berubah, malah aku yang bingung dan cemas. Bon-bon benar, memang tidak mudah.
Pikiran itu yang sekarang terus menghantuiku, terutama sejak peristiwa di Plaza Senayan kemarin. Ditambah lagi ekspresi Pucil yang begitu sedih sebelum kita bubar jalan.
Apa, sih, yang sebenarnya kamu takutkan, Rin?
Aku benar-benar tidak habis pikir. Lamunanku terganggu bunyi handphone. Bon-bon telpon? Malam-malam begini?
“Sibuk Rin?”, sapanya langsung.
“Iya, nih. Masih ngitungin berapa sarang laba-laba di langit-langit kamar.”, jawabku malas-malasan. Anak ini pasti mau ngajakin belanja bareng lagi.
“Ya udah, kalau gitu buka pagar rumah kamu, dong. Di luar gerimis, nih. Cepetan, yah, bisa basah kuyub aku.”
Aku langsung terlonjak dan terduduk di tempat tidur.
“Bon, kamu ada di depan rumah?”
“Iya. Buruan, ah!”
Plep. Telpon diputus.
Aku buru-buru keluar kamar. Dan benar saja, Bon-bon berdiri di luar, melipir ke pagar mencoba berlindung di bawah tepi atap garasi dari gerimis yang sudah bermetamorfosis menjadi hujan. Aku membukakan pagar, masih dengan ekspresi terkaget-kaget.
“Kamu ngapain?”, tanyaku bego.
Bon-bon terbahak.
“Main.”, jawabnya ngasal. Orang gila mana yang mendadak ‘main’ ke rumah orang jam 9 malam? Koreksi, sekarang nyaris jam 10 malam!
“Rin, boleh masuk, enggak? Dingin, nih.”, kata Bon-bon lagi. Halah, aku kok jadi bengong begini. Buru-buru aku buka pintu dan membuat teh panas untuk Bon-bon.
“Rin, cerita, deh. Sebenarnya kenapa, sih, kamu enggak mau datang ke kawinannya Pucil?”, tanya Bon-bon setelah kicauannya tentang deadline selesai. Nah, aku sudah duga, pasti ada hubungannya dengan peristiwa di Plaza Senayan kemarin!
“Bukannya enggak mau, tapi enggak bisa. Nyokap enggak kasih izin, Bon.” Bon-bon malah tersenyum mendengar jawabanku.
“Masa, sih? Tadi sore aku sempat ngobrol di telpon sama nyokap kamu, lho.”
Aku melotot. Waduh!
“Enggak usah khawatir, baru aku saja, kok, yang tahu kalau nyokap kamu sebenarnya ngasih izin. Dan aku ke sini bukannya ingin interogasi, cuma penasaran sama alasan yang sebenarnya.”, kata Bon-bon seperti membaca pikiranku.
Aku langsung lemas. Pasrah, deh, bohongnya ketahuan.
Aku menghela nafas, setengah lega Bon-bon tahu, setengahnya lagi malu sendiri karena sandiwara mahakaryaku gagal total.
“Kamu pasti ketawa kalau tahu alasannya.”, kataku pelan.
Bon-bon menggeleng.
“Aku bukan Edwina, kok, Rin.”, candanya.
Aku menatap Bon-bon, mencoba membaca ekspresinya. Tapi anak itu masih tersenyum, menunggu jawabanku dengan sabar.
“Aku enggak bisa... eh... enggak mau pergi karena... karena aku... jomblo.”, jawabku, menunggu Bon-bon terpingkal-pingkal mendengar alasan konyolku. Sedetik-dua detik, Bon-bon tidak meledakkan tawanya. Malah mendengarkan dengan perhatian.
“Karena kamu jomblo dan... yang lain tidak?”, tanya Bon-bon lagi. Aku mengangguk.
“Aku enggak berharap kamu bisa mengerti, sih, Bon. Tapi, ya, itu alasanku sebenarnya. Agak aneh, ya, kedengarannya? Tapi buat aku sudah cukuplah berpura-pura tidak bermasalah dengan kejombloanku, Bon. Capek aku. Gila, sudah berapa umurku, Bon? Sudah berapa kali juga aku memegang undangan kawinan di tangan tanpa punya harapan bisa melangsungkan pernikahanku sendiri? Sudah berapa kali aku menelan pahit berada di tengah-tengah teman-temanku yang berbahagia dengan pasangannya?”
“Bukannya aku menyalahkan kamu dan yang lain, Bon. Tapi yang namanya perasaan susah diatur, dia keluarnya begitu saja. Aku enggak bisa mengungkapkan alasan ini ke Edwina, apalagi Pucil, kamu mengerti, kan? Karena alasan ini memang konyol, tapi jujur, itu yang sebenarnya.”, kataku lagi. Sesaat Bon-bon terdiam, tapi pandangannya terus tertuju padaku dengan penuh simpati.
“Rin...”
Bon-bon kembali terdiam. Sejenak aku pikir dia marah.
“... kamu tahu gimana aku ketemu pertama kali dengan Billy?”, lanjutnya. Aku berpikir, menelusuri slot memori di otakku waktu pertama kali aku mengenal Bon-bon.
“ Iya tau. Dikenalin teman, kan?”
“Hehehe, bukan. Aku selalu bilang begitu karena kejadian sebenarnya agak panjang kalau diceritakan.”
Wah, aku tidak percaya pendengaranku. Selama ini aku selalu berpikir Bon-bon dan Billy adalah kasus klasik: perjumpaan tidak disengaja yang disponsori oleh seorang teman. Aku jadi penasaran.
“Tahu enggak, beberapa tahun yang lalu, aku persis mengalami apa yang sedang kamu alami sekarang. Aku muak, kalau bisa dibilang begitu, muak sama statusku yang enggak berubah. Muak sama peruntungan percintaanku yang buruk terus. SMP jomblo, SMA jomblo, bahkan semasa kuliah hanya satu dua orang yang nyaris jadi pacar. Nyaris, enggak pernah sukses. Enggak tahu masalahnya ada di mana. Sudah ribuan malam aku habiskan dengan mengkritik diri sendiri, berusaha membuka mata lebar-lebar mencari apa yang salah dengan diriku.” Sampai di situ Bon-bon terdiam lagi, namun bibirnya tidak pernah berhenti tersenyum. Sulit dipercaya! Bon-bon yang begitu hidup dan menarik, pernah berada di jalan ini juga?
“Sampai suatu kali, aku nekat daftar diri di situs dating online.” Kali ini tawa Bon-bon meledak, aku melotot.
“Jadi kamu ketemu Billy lewat kontak jodoh gitu?”, tanyaku tidak percaya.
“Hush! Jangan potong dulu, ceritanya belum selesai!”, potong Bon-bon tanpa menjawab pertanyaanku.
“Aku ingat banget saat itu aku hampir lulus. Lalu mulailah kau blind date dengan orang-orang yang menyahut profile-ku di internet. Awalnya menyenangkan, Rin. Akhirnya aku ikut merasakan excitement-nya dating. Punya harapan untuk bisa jadi normal seperti teman-temanku yang lain. But guess what? Lama-lama aku mati rasa. Karena setelah sekian lama, semua itu akhirnya jadi rutinitas yang membosankan. Kalau pun ada yang membuatku tertarik, semuanya berakhir tragis di tong sampah. Sudah kebaca, deh, bagaimana akhir dari kencan-kencan itu. Belum lagi SMS-SMS yang norak dan ganggu dari cowok-cowok itu. Lalu terakhir, aku blind date sama...”
“...Billy?”, potongku tidak sabar.
“Bukaaan! Hahaha. Dengar dulu, dong! Terakhir aku dating sama orang yang enggak banget. Cakep, sih, tapi ngomongnya tinggi banget, pamer ini itu. Ditambah lagi isi ceritanya enggak lain dan enggak bukan tentang dirinya sendiri, sampai sakit kuping dengarnya. Dalam hati aku berteriak-teriak minta stop, benar-benar enggak sabar menunggu kencannya berakhir supaya aku bisa kabur dari penyiksaan lahir batin itu.”
Aku membayangkan adegan kencan bencana itu dengan geli. Hihihi.
“Lalu Billy-nya mana?”, tanyaku semakin penasaran.
“Nah, pulang dari situ, aku berjanji enggak mau lagi kopdar sama orang-orang dari situs itu. Ogah! Kapok! Capek! Mendingan jomblo, deh. Biar pahit, tapi aku bebas, enggak harus pura-pura tertarik mendengarkan cerita dari para kandidat internet yang seringnya membosankan itu. Enggak harus kecewa mendapati fakta bahwa cowok-cowok yang aku suka enggak pernah membalas SMS-ku”
“Terus?”
“Nah, kira-kira setahun kemudian aku enggak sengaja melewati coffee shop tempat nge-date dengan cowok ajaib yang terakhir itu. Iya, aku masih jomblo tapi sudah masa bodoh lah dengan statusku. Karena waktu itu jalanan macet banget, mampirlah aku ke coffe shop itu. Lumayan, kan, ngerjain PR dari kantor sambil ngopi dan nunggu macetnya reda.”
“Billy-nya manaaa?” Aku tidak sabar.
“Sabar!” protes Bon-bon sambil tertawa.
“Ternyata tempat itu penuh, tapi aku beruntung dapat duduk di pojok, di sebelah orang yang juga sendirian dan kelihatan sibuk dengan komputernya. Aku duduk, buka notebook dan menyibukkan diri dengan tugas-tugas dari kantor sambil menyalakan rokok. Tapi terus cowok yang duduk di meja sampingku bolak-balik minta api. Sampai akhirnya kita kenalan dan mengobrol. Bisa kamu tebak, kan, siapa cowok itu?”, kata Bon-bon sambil mengedipkan mata genit.
“Si Billy?”
Bon-bon mengangguk dan kita berdua tertawa geli.
“Awalnya kita ngobrol biasa. Asli Rin, aku enggak punya chemical reaction sama dia. Kita malah ledek-ledekkan karena nama kita selalu disebut kalau manggil pelayan untuk minta bon. ‘Mbak, minta Bon’” Atau, ‘Mas, bisa minta Bill?’ Hihihi. Karena enjoy ngobrol bareng, kita lantas jadi teman baik dan akhirnya pacaran... sampai sekarang, deh.”
Aku mengernyit.
“Terus moral of the story-nya apaan, dong? Aku harus ikutan dating online juga, apa? Atau aku harus nyari tempat duduk di dekat cowok yang duduk sendirian?”, kataku sebal. Malah bikin iri lagi anak satu ini. Huh!
“Bukan gitu, anak bodoooh! Jelas-jelas aku tadi bilang kalau dating online itu akhirnya bikin aku mati rasa!”, tukas Bon-bon tertawa.
“Tapi gini, kalau waktu itu aku enggak ikutan dating online, aku mungkin tidak akan mampir di Coffee Shop itu dan ketemu Billy.”
Aku masih bingung.
“Intinya, Rin, hidup itu penuh kejutan. Kadang ketika kita mencari-cari unsur kejutan tersebut, hidup malah menyembunyikannya jauh-jauh. Baru akan dilemparkan ke depan muka ketika kita enggak mengharapkannya. Persis seperti cerita aku tadi. Nah, sekarang bagaimana hidup bisa mengejutkan kita kalau kita sendiri malas menjalaninya? Kalau kita malas mengambil kesempatan yang ditawarkannya? Kesempatan apa saja, deh, Rin, sekecil apa pun. Pergi dengan teman-teman, atau bahkan... datang ke kawinannya Pucil di Bali, barangkali?” Bon-bon melirik jahil ke arahku.
“Mana tahu, kan, apa yang akan terjadi kalau kamu pergi ke sana? Lagipula kalau kamu datang, kamu sudah bikin perubahan minimal buat satu orang sahabat kita.” lanjut Bon-bon lagi, sementara aku terhenyak mendengar kata-katanya.
Gila, sejak kapan Bon-bon jago bicara seperti ini?
“Rin, enjoy what you have. Misalnya sahabat-sahabatmu ini. Jalani dengan senang. Trust me, you are blessed! Enggak semua orang, kan, punya sahabat seperti teman-temanmu yang cantik ini?”, kata Bon-bon lagi sambil mengedip-ngedipkan matanya dengan genit membuatku tertawa geli.
Sial! Anak norak ini ada benarnya juga. Banyak benarnya, malah! Kalau dipikir-pikir selama ini pikiranku yang selalu terfokus pada status jomblo telah mengambil alih emosi dan isi otakku. Mungkin sudah saatnya aku untuk lebih santai. Daripada capek memikirkan siapa, lebih baik memulai untuk memikirkan apa. Apa yang bisa aku berikan kepada orang-orang yang menyayangiku. Seperti Bon-bon, Edwina, dan tentu saja... Pucil.
Bon-bon kemudian kembali ke gaya cerewetnya seperti biasa, dan aku sudah jauh, jauuuh merasa lega. Obrolan kita terpotong oleh handphone Bon-bon yang berteriak nyaring.
“Lho, Edwina? Ngapain dia telpon malam-malam begini, ya, Rin?”, kata Bon-bon heran sambil menatap layar handphone-nya. Aku memperhatikan Bon-bon berbicara, kelihatannya serius. Adanya kata-kata “Apa?”, “Kemana dia?”, “Wah gawat!”, sudah cukup membuat aku tahu ada yang tidak beres.
“Rin, Pucil menghilang.”, katanya kemudian.
Pucil
Satu jam yang lalu udara panas di Bandara Ngurah Rai menyapu kulit wajahku, memberi salam selamat datang. Satu jam yang lalu juga aku mengangkut ransel gemuk di atas punggung seperti jagoan lalu mencari taksi yang membawaku ke hotel di daerah Kuta. Sekarang aku sudah ada di kamar, sendirian, berbaring di tempat tidur dengan pikiran melayang-layang. Beberapa kali handphone bergetar, tapi aku malas meladeni. Ganesha lagi. Paling-paling dia hanya ingin laporan tentang acara kantornya. Mungkin baru besok dia menyadari ada yang sesuatu yang tidak beres. Aku menggeliat malas.
Uh, gila! Aku sudah gila, barangkali.
Pagi-pagi mengendap-endap keluar rumah, nyaris melompat terkejut waktu Ai’ tiba-tiba muncul di belakang dan memergokiku melempar ransel ke dalam bagasi taksi. Aku buru-buru putar otak, dan alasan yang keluar adalah aku mau menginap di rumah Edwina, untuk bantu-bantu babysit bayinya. Ai’ menatapku dengan curiga sesaat, tapi akhirnya cuma mengendikkan bahu dan masuk lagi ke dalam rumah.
Dan aku berhasil ada di sini, di tempat yang harusnya jadi saksi pernikahanku 2 bulan ke depan. Hmmm... Bali tidak pernah gagal membuatku ceria. Benar-benar sihir yang mematikan, perpaduan antara pemandangan luar biasa dan perkawinan sempurna tradisi dan modernisasi. Siapa yang tidak bisa jatuh cinta?
Nah, sekarang apa langkah selanjutnya, Pucil?
Langsung angkat kaki menuju tempat-tempat yang mau aku survey? Atau membuat appointment terlebih dahulu? Atau apa? Hmmm...
Aku merogoh-rogoh ransel, mengeluarkan notes kecil, membuka halamannya, dan mencari sederet catatan penting yang aku tulis berbulan-bulan lalu.
Toska: Warnet Bali Biru Poppies 1.
Tidak terlalu jelas memang informasi yang aku catat dari hasil chatting beberapa waktu yang lalu. Tapi cukup untuk bisa dicari. Toh aku bisa tanya orang nanti. Poppies 1 juga tidak jauh dari sini. Aku tersenyum jahil membayangkan pertemuan pertamaku dengan Toska nanti. Saatnya memberikan temanku itu kunjungan kejutan!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
.,.,.,.,.
Loading...
No comments:
Post a Comment