Tuesday, July 28, 2009

Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....



Kemunculannya ketika sedang gelisah "Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug...."
Itulah suara hatinya, ketika malam benar-benar datang dia tidak muncul lagi, tidak ada lagi Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug.....


“Kenapa kamu diam saja?” Alimin menunduk lesu melihat kekasihnya yang terdiam membisu pula.
“Entahlah, hatiku selalu Selalu Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....jika aku di dekatmu," sahutnya sesaat kemudian.
“Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug.... gimana maksudnya?” lanjut Alimin sembari menatapnya penuh kasih.
“Ya Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug..... Kalau Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug.... ya tetep Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug...." sahutnya manja, malu-malu tai ayam.

Malam semakin manjalar, ada yang aneh dengan obrolan itu. Tidak seperti biasanya, yang penuh dengan canda dan tawa. Sepasang kekasih itu memilih untuk tetap diam, pada sudut taman kota Malioboro. Hanya detak Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug...yang terasa di hati mereka masing-masing.

“Gimana kalau kita putus saja,” ucap gadis dengan pelan.
“Apa? Putus? Tidak! Tidak!” Alimin berdiri.
“Kenapa? Apa jantungmu juga Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....?" gadis itu membetulkan kepang rambutnya.Alimin terdiam.
Pengamen kecil menyodorkan tangan lusuhnya dengan melas, setelah menyanyikan lagunya Mbah Surip. Alimin merogoh kantongnya, menyodorkan selembar uang 500 perak, “kita kemana malam ini?” lanjut Alimin.
“Makan gudeg saja, menghilangkan Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....ini!" gadis itu berdiri.
Alimin menggandeng tangannya dengan mesra. Mereka berjalan pelan, lalu melambaikan tangan kearah sebuah taksi.
Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....
Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....
Masih nada yang sama, nada-nada gelisah.
“Kita jadi putus?” kata Alimin sesaat kemudian setelah meletakkan gudeg cekernya.
“Baiklah, kita putus!” sahut gadis itu dengan tersenyum.
Berakhirlah hubungan kedua manusia itu. Entah karena apa, tidak ada keributan, tidak ada isak tangis. Biasa-biasa saja.
***

Sebulan setelah Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....itu, Alimin makan gudeg di tempat yang sama, depan Shapir. Gudeg batas kota. Kini yang di sampingnya bukan lagi gadis yang suka mengepang rambutnya, tapi sorang gadis super seksi yang memakai baju minim, seperti kebanyakan remaja jaman sekarang. Angin bebas membelai hampir semua tubuhnya. Baju tanpa lengan, rok super mini. Dan itu sebenarnya tidak layak untuk di lihat public, alih-alih tukang parkir itu juga melotot ketika gadis seksi duduk lesehan.

Mata-mata menatap tajam, Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug..., jantung Alimin dengan kencang terbakar cemburu.
“Say! Kita putus saja!” ucap Alimin yang sering kali marah ketika kekasih barunya selalu memakai baju minim di tempat umum.
“Apa? Putus? Tidak! Tidak!” Gadis seksi itu berdiri.
“Ya, aku tidak tahan! Semua mata melotot kepadamu!! Ingin menjamahmu!! Kita putus saja, aku mau jadi homo!! Biar tidak cemburu terus!!?”
“Apa? Putus? Tidak! Tidak!” Gadis itu mengambil piring, memukul kepala Alimin sekeras-kerasnya, belum puas, gelas berisi es jeruk juga di hantamkan ke kepala Alimin.
“Aduh! Aduh! Aduh!” Alimin hanya bisa mengaduh dengan memegangi kepalanya yang bocor dan mencoba menghindar.
Tidak cukup puas dengan itu semua, gadis seksi yang cantik namun berpakaian tidak layak pandang itu semakin kesurupan saja. Piring orang yang sedang makan di sebelahnya direbut dengan paksa dan di pukulkan kearah kepala Alimin yang sudah bocor sejak pukulan pertama. Pengunjung bubar, gaduh tak terkendali.
Yang tadinya enak-enak makan menjadi gelisah Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....bingung mau ngapain. Hanya jantung mereka yang Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....
Alimin juga terus menghindar, hingga sebuah piring penuh nasi sekali lagi menghantam kepalanya. “Brak!!!”
Alimin terjengkang, tidak bergerak. Dia terjatuh dan kepalanya yang pusing berdarah itu menghantam trotoar jalan.
Gadis itu diam, puas sudah rasanya.
Tukang parkir, masih dengan sesekali melirik gadis seksi itu mendekati Alimin yang diam terbujur lemas.
“Mati Kang?” tanya seorang ibu yang kini berani mendekat.
“Masih ada!! Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....Jantungnya masih Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....” sahut tukang parkir.
Gadis itu pun berlalu, berjalan entah kemana. Mungkin menjual diri. Dalam amarahnya yang memuncak, jantungnya berdetak Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....

***

Sebulan setelah peristiwa itu
Di perempatan dekat Gudeg batas Kota.
"Koran! Koran! KR! KR! Seorang gadis seksi tewas mengenaskan! Di perkosa 4 orang kakek-kakek! Koran-Koran! KR! KR! 4 Orang kakek perkosa gadis cantik! Koran-koran!" dadanya Dag Dig dug... leleh berjalan hilir mudik....Bolak-balik...

Saturday, July 25, 2009

Cerita Cinta Nyata Genta

Ketika Putri mendadak memutuskan cintanya, Genta berubah jadi pemurung. Dan ketika gadis pujaannya itu menikah diam-diam di Surabaya, Genta betul-betul frustrasi. Dia tak mau makan-minum sehingga akhirnya terkena tifus Betapa ironis, ketika mantan kekasihnya tengah menikmati bulan madu di Bali, dia justru terbaring di rumah sakit Lalu.. apakah yang dapat dilakukan seorang ayah untuk menghibur anak lelakinya yang patah hati? Untuk membangkitkan kembali semangat juangnya yang hampir mati? Genta adalah anak yang cemerlang. Sejak kecil dia selalu jadi bintang kelas. Namun, anak itu pendiam dan perasa.
“Kamu betul-betul menuruni darah Ayah. Selalu serius, mendalam, dan penuh ketulusan kalau mencintai perempuan. Sehingga, kalau putus cinta betul-betul terpuruk. Padahal, seperti kata peribahasa, dunia ini tidak sedaun kelor. Di dunia ini begitu banyak wanita, Nak,” ujarku saat berbicara dari hati ke hati sepulangnya ia dari rumah sakit.
“Tapi tidak ada yang secantik dan sebaik Putri, Yah. Dia yang dulunya tak pakai kerudung, kini mulai belajar pakai kerudung. Tapi kenapa ketika keislamannya semakin sempurna, kok dia tega meninggalkan saya dan menikah dengan manajer perusahaan elektronik itu?”
“Sudahlah, Nak. Sesuatu yang lepas dari tangan kita memang selalu kelihatan indah. Begitu pula kalau kita kehilangan perempuan yang kita cintai. Mata kita tertutup bahwa di sekeliling kita masih banyak perempuan lain yang mungkin lebih baik dari dia.”
“Aku baru sekali ini jatuh cinta, Yah. Selama SMU dan kuliah, waktuku lebih banyak aku habiskan untuk belajar, dan organisasi ilmiah di kampus.”
“Ayah paham, Nak. Ayah mau buka rahasia. Sewaktu SMU dulu Ayah mengalami nasib yang mirip kamu. Cinta tak kesampaian, padahal Ayah dan Rini, nama perempuan itu, sama-sama saling mencintai. Bertahun-tahun Ayah nyaris frustrasi dan tak pernah mampu menghilangkan bayang wajahnya. Sampai kemudian, lima tahun setelah itu, Tuhan mempertemukan Ayah dengan ibumu. Dia wanita tercantik di Cianjur ketika itu. Baru lulus SMU. Banyak sekali pemuda yang mengincar ibumu. Entahlah, kenapa dia mau menikah dengan Ayah yang ketika itu masih berstatus mahasiswa dan belum punya pekerjaan, kecuali menjadi penulis free lance di koran. Kami menikah hanya dua minggu sejak pertama kali bertemu.” Genta termenung. Mungkin ia merenungkan kalimat demi kalimat yang tadi aku ucapkan.
“Nak, laki-laki itu ibarat buah kelapa. Makin tua, makin bersantan. Biarpun jelek, botak dan gendut, kalau punya kedudukan, berharta, dan terkenal, maka gadis-gadis muda antri untuk mendapatkannya. Untuk sekadar jadi teman kencan maupun istri sungguhan.”
“Benarkah?”
“Ya. Dengan modal hanya sebagai wartawan senior dan novelis top saja, Ayahmu ini seringkali digilai oleh perempuan-perempuan muda. Mereka berusaha mencuri perhatian Ayah dengan berbagai cara. Kalau Ayah tidak kuat iman, Ayah mungkin sering kencan dengan banyak perempuan. Kalau Ayah kurang sabar, Ayah mungkin beristri dua, tiga, atau bahkan empat.”
“Apa yang membuat Ayah bertahan dengan Ibu?”
“Dia perempuan yang hebat. Kesabaran, ketulusan, kehangatan dan kasih sayangnya luar biasa. Hal itu telah ditunjukkannya saat Ayah masih belum punya apa-apa, belum diperhitungkan orang, bahkan dilirik sebelah mata pun tidak. Kami menikah dalam keadaan miskin. Bahkan cincin kawin untuk ibumu baru Ayah belikan lima tahun setelah pernikahan.Tahun-tahun pertama pernikahan, kami sering makan hanya nasi dan garam saja. Namun tak pernah sekalipun Ayah mendengar ibumu mengeluh atau menunjukkan air muka masam. Sebaliknya, Beliau selalu berusaha membesarkan hati Ayah. Bahwa Ayah punya potensi. Bahwa Ayah suatu hari nanti akan jadi orang hebat di bidang sastra maupun jurnalistik. Dua puluh delapan tahun perkawinan dengan ibumu sungguh merupakan perjalanan hidup yang amat berarti bagi Ayah. Itulah yang membuat Ayah tak pernah mau berpaling kepada perempuan lain. Rasanya sungguh tak adil, setelah menjadi orang yang terkenal dan punya uang, Ayah lalu mencari perempuan lain untuk membagi cinta ataupun sekadar bersenang-senang.”
“Ayah beruntung mendapatkan perempuan sebaik ibu. Tapi aku? Satu-satunya perempuan yang aku cintai kini telah pergi.”
“Jangan menyerah dulu, Nak. Cuti doktermu ‘kan masih tiga hari lagi. Bagaimana kalau besok Ayah ajak kau jalan-jalan keliling Jakarta? Kita santai dan cari makan yang enak. Siapa tahu kamu bisa melupakan Putri-mu dan mendapatkan pengganti yang lebih baik.”Genta tidak langsung menjawab.
“Ayolah, Nak. Ayah yang akan jadi sopirmu. Kau tinggal duduk di jok depan. Oke?” Lama baru Genta mengangguk.
“Baiklah, Ibu ikut?”
“Tidak. Ini urusan laki-laki, Nak,” sahutku seraya tertawa. Hari pertama aku mengajak Genta berkeliling Mal Pondok Indah.
Mal yang terletak di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan itu selalu ramai dikunjungi orang-orang berduit. Hanya dalam hitungan jam kita bisa menyaksikan puluhan bahkan ratusan perempuan muda, cantik dan seksi, keluar masuk mal. Umumnya mereka mengenakan pakaian yang menonjolkan lekuk-lekuk fisiknya, seperti dada, udel, pantat, paha, ketiak dan punggungnya.
Seusai Maghrib aku mengajak Genta nonton film di Kartika Chandra 21 yang terletak kawasan Segi Tiga Emas Jakarta, tepatnya Jalan Gatot Subroto. Di sini banyak sekali pasangan yang datang menonton. Umumnya perempuan-perempuannya mengenakan gaun malam yang seksi dan terbuka.
Banyak juga yang memakai rok mini ataupun celana blue jean ketat di bawah pinggang sehingga sering kali memperlihatkan celana dalam pemakainya. Hari kedua aku mengajak Genta pergi ke kantor sebuah bank syariah.
“Ayah mau setor tabungan dulu sekaligus mau buka rekening khusus zakat. Mau ikut masuk?” Genta mulanya enggan.
“Ayolah.” Akhirnya ia mau juga ikut. Kami menemui salah seorang customer service officer. Laili namanya.
“Assalaamu’alaikum, Pak Irwan. Ada yang bisa saya bantu?” suaranya bening dan terkesan manja, namun tidak dibuat-buat. Balutan jilbab coklat itu tak mampu menyembunyikan posturnya yang semampai dan wajah selembut kabut.
“Wa’alaikumsalaam, Mbak Laili. Saya ingin membuka rekening khusus untuk zakat. Oh, ya, kenalkan ini anak sulung saya. Genta. Genta, ini Mbak Laili.”
“Assalaamu’alaikum, Mas Genta.”
“Wa’alaikumsalaam, Mbak Laili.”
“Genta kerja di gedung ini juga, Mbak Laili. Lantai 12.”
“Oh, ya?” Laili agak terkejut.
“Kalian pasti enggak pernah bertemu ‘kan? Inilah penyakit zaman modern, orang-orang berkantor di satu gedung tapi bisa bertahun-tahun tak pernah berjumpa,” kataku sambil tertawa. Bibir tipis Laili mengukir segurat senyum.
“Soalnya Mas Genta enggak pernah buka tabungan di bank syariah. Duitnya disimpan di bank konvensional semua ya?”
Laili punya selera humor yang bagus. Kulihat Genta tersenyum kecil.
“Insya Allah saya akan buka rekening di bank syariah, Mbak.” Keluar dari bank syariah itu, aku mengajak Genta menghadiri pameran buku Islam di Istora Senayan Jakarta. Pameran yang menampilkan puluhan penerbit Islam itu setiap hari dihadiri oleh puluhan ribu orang. Berbeda dengan pemandangan di Mal Pondok Indah dan KC-21, di sini kebanyakan perempuan muda yang datang mengenakan jilbab. Wajah mereka kelihatan bersih dan matanya lebih suka menunduk ketimbang jelalatan mencari perhatian lelaki.
Seusai menonton pameran buku, aku mengajak Genta mampir di Hotel Gran Melia, yang terletak di Jl HR Rasuna Said. Kami memesan es lemon tea dan pisang goreng keju.
“Oke. Mari kita bahas perjalanan dua hari kita. Kamu masih ingat perempuan-perempuan muda di Mal Pondok Indah dan KC-21 kemarin?” Dia cuma mengangguk.
“Wanita-wanita seperti itu menyenangkan untuk dilihat dan dibawa ke pesta-pesta, tapi belum tentu membuatmu bahagia. Sebaliknya perempuan-perempuan muda berjilbab yang kita saksikan di pameran buku Islam dan bank syariah tadi, mereka lebih mungkin membuatmu menjadi seorang lelaki yang dihargai dan meraih kebahagiaan sejati. Ayah yakin, di antara mereka itu pasti ada perempuan impian.”
“Seperti apakah perempuan impian itu, Yah?” Aku menyeruput es lemon tea yang tinggal separoh.
Kemudian mencomot sepotong pisang goreng keju. Genta menunggu dengan tidak sabar.
“Seperti apa, Yah?”
“Kalau kamu bertemu dengan seorang perempuan yang berpadu pada dirinya kehangatan seorang Siti Khadijah, serta kemanjaan dan kecerdasan seorang Siti Aisyah dua di antara istri-istri Rasulullah itulah perempuan impian.”
“Seandainya aku menjumpai perempuan yang seperti itu, apa yang harus aku lakukan?”
“Jangan tunggu esok atau lusa. Telepon Ayah saat itu juga. Ayah akan segera melamarkannya untukmu, dan kau harus menikah dengannya paling lambat seminggu setelah itu. Jika kamu mendapatkan perempuan seperti itu dalam hidupmu, dunia ini kecil dan nyaris tak berarti. Rasul pernah berkata, bahwa seorang perempuan yang salehah lebih berharga dari dunia ini beserta isinya.”
Seminggu kemudian. Aku tengah menulis sebuah ficer tentang pengoperasian bus way di Jakarta ketika HP-ku berdering.
Dari Genta:
“Ayah, aku sudah dapatkan calon istri. Seorang wanita salehah yang bisa membuatku hidup bahagia.” Suaranya terdengar bersemangat.
“Oh, ya, siapa namanya?”
“Nantilah Ayah akan aku kenalkan.”
Berselang lima menit kemudian, Yanti, staf humas bank syariah menelepon. “Assalaamu’alaikum, Pak Irwan. Tadi Genta buka rekening di bank syariah. Dia mengobrol cukup lama dengan salah seorang customer service officer kami. Bapak pasti tahu yang saya maksudkan.”
Aku menutup Nokia 9500 itu. Lalu memandang ke luar jendela kantor.
“Alhamdulillah. Akhirnya kau temukan perempuan impianmu, Nak.”

Friday, July 24, 2009

When I dream about you

“Arya! Kamu lama!” seru Selena sambil melambai-lambaikan tangan padaku. Ia tertawa di bawah sinar matahari yang menyinari tubuhnya yang putih. Memintaku untuk cepat mengejarnya yang sudah jauh dari pandanganku. Sebenarnya ia curang karena tidak membawa barang apapun di tangannya, tapi aku memilih untuk diam saja.
“Aryaaa!!!” Selena lagi-lagi memanggilku yang sudah kepayahan karena membawa beban berat.Aku berusaha untuk mengejarnya. Aku tidak mau kalau ia sampai lenyap dari pandanganku. Aku ingin selalu melihatnya, terus mengawasi sosoknya yang sangat mempesona.
Akhirnya aku bisa melihat Selena yang menunggu kedatanganku. Ia tersenyum senang saat melihatku. Ah, lagi-lagi ia berhasil menggodaku untuk terus menatapnya. Itu memang bukan salahnya karena terlahir secantik dewi matahari, tapi di dalam hati aku terus saja menyalahkannya karena dengan mudahnya ia telah mencuri hatiku.
“Selena…”
Selena berjalan mendekatiku. “Apa tasku aku bawa sendiri aja?” tanyanya polos.
“Jangan!” tolakku. Mana mungkin aku tega membiarkan gadis berperawakan kecil sepertinya membawa barang yang berat? Lebih baik aku hancur saja karena semua beban yang kubawa dari pada membiarkannya membawa itu semua.
“Mau istirahat aja?”
“Nggak usah, sebentar lagi sampe kan?”
Selena mengangguk. “Iya, sebentar lagi kok. Sabar ya…” ia mengambil saputangan putih dari saku bajunya dan mengelap keningku yang basah karena keringat.
Aku kembali berjalan. Kali ini Selena berjalan di sampingku. Ia terus menatapku dengan pandangan khawatir. Aku benar-benar menyukai matanya yang besar dan bulat itu. Seperti bulan purnama, selalu bersinar dalam kegelapan. Terus menyinari hatiku.
“Arya, berat ya?”
“Nggak,” ucapku. “Asalkan kamu di sisiku, semuanya terasa sangat ringan.”
Wajah Selena merona merah saat mendengar ucapanku. Ia benar-benar manis. Aku jadi teringat saat aku pertama kali bertemu dengannya, saat itu aku berada di rumah sakit karena terjatuh dari motor dan terluka parah. Aku hampir mati karena kecelakaan itu, tapi untung saja aku selamat. Walaupun aku tidak bisa menggunakan kakiku untuk berlari lagi…
***
Aku melihatnya dari jendela kamar rumah sakit. Namanya Selena, aku tahu itu dari sorang suster. Ia selalu membaca buku di bawah pohon, sepertinya ia juga seorang pasien.Aku juga tidak tahu kenapa, gadis berambut hitam panjang itu benar-benar menarik perhatianku. Bukan karena wajahnya yang sangat cantik, tapi karena bahasa tubuhnya yang terlihat sangat menarik. Saat membaca, ia terkadang tersenyum, tapi juga terkadang menangis. Aku ingin tahu apa yang di bacanya sampai-sampai ia bisa seperti itu.
Akhirnya sehari sebelum aku keluar dari rumah sakit, aku memberanikan diri untuk menyapanya. Selena berkata bahwa ia juga tahu kalau aku selalu memperhatikannya dari kejauhan. Aku sangat senang, tapi aku juga ingin ia tahu bahwa aku telah jatuh cinta padanya.
Baru kali ini aku merasa seperti ini, ia seperti gadis yang memang sudah ditakdirkan untukku. Saat melihatnya, aku tidak pernah merasakan perasaan cinta yang menurutku serumit benang kusut. Ia begitu mempesona dan aku mencintainya secara tiba-tiba. Sesederhana itu.
Saat melihat sampul buku yang selalu di bacanya, aku sangat terkejut karena buku itu adalah buku yang ditulis saudara sepupuku, Marcell. Aku juga pernah membacanya, novel itu menceritakan seorang gadis yang hanya bisa bermimpi, tak pernah melihat kenyataan yang ada. Selena tersenyum saat aku membicarakan buku itu. Ia berkata, “Hiduplah dengan impian, karena mimpi bisa menciptakan keajaiban.”
Aku terdiam saat mendengar kata-katanya. Jujur, aku tak menyukai sifat tokoh utama dalam cerita itu yang selalu bermimpi. Mimpi yang tak akan pernah terkabul karena 7 hari lagi ia akan meninggalkan dunia.
Saat keluar dari rumah sakit, aku berjanji pada Selena akan sering menjenguknya. Aku tidak pernah berani bertanya apa penyakit yang di deritanya, tapi katanya sejak kecil ia sudah dirawat di rumah sakit.
Seiring waktu berlalu, menjenguknya sudah seperti sebuah kebiasaan. Setiap hari kulewati dengannya di rumah sakit. Mungkin aku dan dia memang tidak seperti pasangan yang selalu melewatkan malam minggu untuk berkencan, tapi aku cukup bahagia. Aku bahagia karena ada dirinya.
Kusadari ia telah menjadi bagian dari jiwaku. Setengah dari jiwaku yang telah lama hilang dan akhirnya kutemukan.
***
Tiba-tiba Selena menghentikan langkahnya. “Arya, makasih ya…”
“Untuk apa?” tanyaku bingung. Aku juga ikut berhenti berjalan. Saat Selena menghentikan langkahnya, entah kenapa aku merasa takut. Aku takut setiap langkahnya yang selalu mewarnai hariku itu akan hilang.
“Untuk semuanya,”
Aku tersenyum padanya. “Harusnya aku yang berterima kasih, Selena…” ucapku. “Karena kamu aku bisa terus melanjutkan hidupku.”
Selena, semua yang kukatakan itu tulus dari lubuk hatiku. Tak pernah sekalipun aku berbohong tentang bagaimana perasaanku padamu. Andai kau tahu bahwa hidupku seakan berakhir saat aku tak bisa berlari lagi. Impianku untuk menjadi pemain basket telah hancur berkeping-keping. Sejak itu aku tak ingin bermimpi lagi karena bila tak terkabul akan sangat menyakitkan.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku mengecup lembut keningnya. “kamu membuatku ingin bermimpi lagi, mimpi kita akan selalu bersama selamanya. Kamu akan menjadi pengantinku yang tercantik di dunia, dan kita akan punya banyak anak. Setelah itu aku tak butuh apa-apa lagi…” dan kalaupun hal itu hanya sebuah mimpi yang tak akan terkabul, tolong jangan bangunkan aku.
Tiba-tiba Selena memelukku. Aku membalas pelukannya dengan hati-hati. Aku selalu takut bila memeluknya, aku takut tubuhnya yang kecil akan hancur di pelukanku.
“Arya, aku mencintaimu…” kata Selena pelan.
“Jangan menangis,” aku tahu ia sedang menangis di pelukanku. Sakit sekali rasanya saat mengetahu hal itu. “Kamu tahu bagaimana perasaanku.”
“Cinta itu aneh ya?”
Benar, sangat aneh… aku menjawab di dalam hati.
“Bahkan walaupun aku sudah mati, cintaku padamu tak pernah berubah.” Selena melepas pelukannya. Tiba-tiba aku merasa tubuhku sangat berat. Barang yang ku bawa seakan-akan bertambah dan membuatku tak bisa menggerakkan tubuhku. Aku melihat sekelilingku, semuanya serba putih. Padahal Kenapa aku baru menyadari bahwa tidak ada apa-apa di sini?
“Sudah sampai, Arya...” ucapnya.
“Se..lena…”
Selena menatapku. Tatapannya sedih. “Arya, kamu tahu tentang novel yang kubaca saat aku pertama kali bertemu denganmu?” tanyanya.
Aku terdiam. Berusaha menggerakkan tubuhku yang seperti batu.“Sebenarnya impianku sama dengan mimpi gadis di cerita itu,” ia tersenyum. “Aku ingin hidup. Selamanya hidup denganmu…” lanjutnya.
Setetes air mata mulai jatuh di pipiku karena Selena makin menjauh. Aku mulai menangis. Tanganku tidak bisa lagi untuk menjangkaunya. Ia jauh sekali…
Kalau begitu bagaimana dengan mimpiku untuk bersama denganmu? Apa benar bila aku terus bermimpi akan ada keajaiban seperti yang kau katakan padaku dulu?
“Arya, udah pagi!”
Sinar matahari masuk melalui cela-cela jendela kamarku dan menyinari tubuhku yang tertidur. Perlahan-lahan mataku terbuka. Ah, lagi-lagi aku bermimpi. Mimpi tentang seorang gadis yang sangat kucintai...


Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini...

PECUNDANG

Akhirnya aku kembali ke tempat ini. Aku tidak bisa menahan perasaanku untuk tidak menemuinya lagi. Aku hanya ingin melihatnya dari jarak yang agak jauh, dari tempat yang agak terlindung. Dari balik malam, dengan leluasa aku bisa melihatnya tertawa dan tersenyum --tawa dan senyum yang dibuat-buat-- di hadapan para tamu.

Tempat dia duduk menunggu tamu cukup terang bagi mataku, meski tempat itu hanya ditaburi cahaya merah yang redup. Aku masih bisa merasakan pancaran matanya yang pedih. Aku merasa dia sedang memperhatikan aku. Aku berusaha bersembunyi di balik kerumunan para pengunjung yang berseliweran di luar ruangan. Tapi sejenak aku ragu, apakah benar dia melihatku? Ah, jangan-jangan itu hanya perasaanku saja. Aku yakin dia kecewa dengan aku. Dia kecewa karena aku gagal membawanya pergi dari tempat ini.

Hampir setiap malam aku mengunjungi tempat ini hanya untuk melihatnya dari kegelapan dan memastikan dia baik-baik saja. Aku seperti mata-mata yang sedang mengintai mangsanya. Atau mungkin aku seorang pengecut yang tidak berani menunjukkan batang hidung setelah kegagalan yang menyakitkan hatiku. Atau bisa jadi aku telah menjadi pecundang dari kenyataan pahit ini.

Biasanya aku akan datang sekitar jam delapan malam. Aku memarkir motor di kegelapan dan berjalan perlahan menuju tempat dia biasa menunggu tamu. Jelas aku tidak akan berani masuk ke dalam ruangan yang pengab dengan asap rokok dan bau minuman itu. Aku terlanjur malu dengan dia. Makanya, aku hanya berani berdiri di luar, di dalam kegelapan, dengan tatapan mata yang sangat awas yang tertuju pada ruangan di mana dia duduk santai sambil mengepulkan asap rokoknya.

Seringkali aku dibakar api cemburu ketika ada lelaki yang menghampirinya dan merayunya. Api cemburu itu semakin menjadi-jadi ketika dia juga meladeni lelaki yang merayunya dengan senyum dan tawa. Dan hatiku benar-benar hangus ketika kulihat dia masuk ke dalam biliknya ditemani lelaki itu. Saat itu juga batok kepalaku dipenuhi berbagai pikiran-pikiran buruk. Ya, sudah jelas, di dalam bilik sederhana itu mereka akan bergulat, bergumul, dan saling terkam dalam dengus napas birahi.

Ah, sebenarnya tidak begitu. Itu hanya pikiran-pikiran burukku saja. Aku tahu dia perempuan lugu yang terjebak dalam situasi seperti itu. Semacam anak kijang yang masuk perangkap pemburu.

Aku merasa aku telah jatuh hati padanya. Kamu tahu, bagaimana proses jatuh hati itu kualami? Baiklah, akan kuceritakan untukmu. Saat itu aku diajak oleh kawan karibku datang ke tempat ini. Kawanku itu menemui langganannya. Sedang aku hanya bengong-bengong di ruangan sambil minum kopi. Seorang ibu paruh baya menghampiriku. Dengan mata genit ibu itu mengatakan padaku kenapa aku tidak masuk kamar? Aku bilang bahwa aku lagi ingin sendiri, lagi ingin menikmati suasana saja. Ibu itu mengatakan ada yang baru, masih belia, baru datang dari kampung. Ibu itu bilang usianya baru 15 tahun. Dalam hati aku tertarik juga dengan perkataan ibu itu. Wah, masih belia sekali? Aku jadi ingin tahu kayak apa perempuan yang dibilang belia itu? Ibu tua itu kemudian memanggil dia.

Sehabis mandi, ibu tua itu mengantar perempuan itu kepadaku. Dengan malu-malu perempuan ingusan itu duduk di sebelahku. Dia hanya diam dan tidak berkata-kata. Wajahnya manis dan memang masih bau kencur. Entah anak siapa yang disesatkan ke tempat seperti ini. Ibu tua itu menyuruhku segera mengajaknya masuk kamar, tentu dengan tarif khusus, lebih mahal dari biasanya.

Di dalam kamar, perempuan itu masih diam, tak banyak bicara. Dari wajah kekanak-kanakannya terpancar perasaan cemas dan keragu-raguan. Aku jadi iba melihat tingkahnya yang memelas itu. Aku segera mencegah saat dia hendak melucuti busananya. Dia bingung dengan tingkahku.

"Saya harus melayani tamu saya," jelasnya.

"Aku tak perlu dilayani. Aku hanya ingin ngobrol denganmu. Dan aku akan tetap membayar sesuai tarif yang telah disepakati," ujarku.

Aku menatap wajah yang lugu itu. Entah kenapa aku jadi tidak tega dan merasa simpati dengan dia. Mungkin aku terjebak pada pancaran matanya yang begitu diliputi kepolosan sekaligus kecemasan. Aku telah mengenal sejumlah perempuan yang bekerja seperti ini. Tapi dengan perempuan satu ini, aku merasakan dalam diriku bangkit suatu keinginan menjadi hero, ingin menyelamatkannya.

Aku mendekapkan kepalanya ke dadaku. Aku membelai-belai rambutnya yang sebahu. Tiba-tiba saja aku merasa menjadi seorang kakak yang ingin melindungi adiknya dari segala marabahaya.

"Mengapa kamu bisa berada di tempat seperti ini?" tanyaku lirih. "Seharusnya kamu menikmati masa-masa sekolahmu, seperti teman-temanmu yang lain.."

Perempuan itu diam dan menatapku lembut.

"Saya tidak tahu, Mas. Saya diajak oleh tante saya ke sini. Saya dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan. Tapi ternyata saya dijebak di sini oleh tante saya sendiri."

Aku kaget mendengar pengakuannya yang memilukan itu. Diam-diam dalam hatiku, rasa kasihan perlahan menjelma rasa simpati dan keinginnan untuk mengasihinya.

"Kamu ingin pergi dari tempat ini?"

"Ya, jelas, Mas. Tapi bagaimana caranya saya bisa pergi dari sini?"

"Aku akan ngomong sama bosmu."

"Mustahil, Mas!"

"Mengapa mustahil?"

"Mas tidak paham situasi di sini. Sekali perempuan terjebak dalam tempat ini, maka seumur hidup akan berkubang di sini."

"Tidak. Aku akan menyelamatkanmu. Kamu harus melanjutkan sekolahmu. Dan kamu mesti cari kerja yang lebih bagus dari kerja begini."

Perempuan bau kencur itu menundukkan kepalanya. Matanya memancarkan harapan, harapan bagi sebuah kebebasan.

Aku cium keningnya. Aku bisikkan beberapa patah kata agar dia bersabar dan tabah. Aku ke luar dari bilik dengan perasaan gundah.

"Gimana, Mas? Bagus, kan?" Ibu paruh baya itu berdiri di depan pintu dan mengerlingkan mata genit ke arah mataku.

Tiba-tiba saja aku ingin muntah melihat tampang ibu genit itu.

"Aku ingin ngomong sama bosmu," ujarku dengan nada agak geram.

"Ada apa, Mas? Apa servisnya tidak memuaskan ya...? Wah, kalo gitu saya akan lapor ke bos."

"Jangan. Bukan masalah itu. Ada yang aku ingin bicarakan sama bosmu. Tolong panggil dia."

Perempuan paruh baya kepercayaan bos itu tergopoh-gopoh menemui bosnya. Tak berapa lama, dia muncul kembali mengiringi perempuan agak gembrot dengan wajah menyiratkan kelicikan.

"Ada apa, Mas? Apa dia tidak melayani Mas dengan baik?"

"Bukan masalah itu, Bu. Kira-kira kalau aku ingin mengajak dia keluar dari sini, gimana?"

Wajah perempuan gembrot yang licik itu seketika berubah curiga.

"Maksud Mas gimana?"

"Aku ingin mengajak dia pergi dari sini."

"Kalau begitu Mas harus menebusnya Rp 5 juta, gimana?"

Aku terkesiap. Gila benar si gembrot ini. Mengapa aku mesti menebusnya sebanyak itu? Bukankah setiap orang berhak memilih kebebasannya?

"Kenapa aku mesti menebus sebanyak itu? Dia bukan barang mati. Dia manusia yang memiliki kebebasannya," ujarku geram.

Si gembrot tersenyum sinis.

"Mas ini kayak tidak mengerti aja. Dia berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab saya. Tantenya telah menitipkan dia pada saya."

"Kalau begitu, kamu tidak berhak menjual dia dengan mempekerjakan dia sebagai pelacur," ujarku semakin geram melihat tingkah si gembrot.

"Hidup makin sulit Mas. Semua orang perlu uang dan sekarang ini segala sesuatu diukur dengan uang. Begini saja Mas. Kalau Mas mau membawa dia, maka Mas sediakan uang Rp 5 juta. Itu saja."

Si gembrot sambil menggerutu pergi meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong. Sejenak aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku pun pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan luka. Sepintas kulihat mata perempuan yang ingin kuselamatkan itu berkilat basah menatap kepergianku.

Beberapa hari kemudian aku berusaha mendapatkan uang sebanyak itu untuk menebus dia. Aku berusaha meminjam kepada kawan-kawanku. Namun usaha kerasku hanya berbuah kesia-siaan. Aku hanya bisa mengumpulkan Rp 2 juta. Aku kembali ke tempat itu dan mencoba tawar-menawar dengan si germo gembrot, tapi sia-sia belaka. Si gembrot tetap pada pendapatnya semula.

Aku merasa kecewa dengan diriku sediri. Aku tidak berdaya menyelamatkan dia. Aku tidak habis-habisnya mengutuki diriku sendiri, mengapa aku tidak berkesempatan jadi orang kaya.

Maka seperti saat ini, setiap malam aku hanya bisa menatap dia dari kegelapan malam. Sambil menahan hatiku yang hampir hangus dibakar cemburu, aku melihat dia bercengkerama dengan para tamu. Sepertinya dia bahagia dengan pekerjaan yang dijalaninya. Setiap melihat senyum dan tawanya, aku merasa bersalah sekaligus kecewa dengan diriku sendiri. Pada akhirnya aku hanya jadi pecundang.***

Wednesday, July 22, 2009

AKU INGIN MENJADI OMBAK



Aku Ingin Menjadi Ombak
Yang Selalu Membasahi Pantai
Dengan Setia Menghantarkan Makanan
Bagi Udang, Kepiting dan Tiram-tiram
Yang Menghiasi Pantai

Aku Ingin Menjadi Ombak
Yang Selalu Membersihkan Pantai
Buihku Selalu Memberi Keindahan
Gemuruhku Membuat Suasana Romantis
Yang Mengesankan Pantai

Dengan Setia Aku Selalu Hadir
Walau Tanpa Permintaan Dari Pantai

Dengan Setia Aku Selalu Memeluk
Memberi Kesejukan dan Kedamaian Bagi Pantai

Aku Ingin Menjadi Ombak
Yang Selalu Membasahi Pantaimu

.,.,.,.,.

Loading...