Wednesday, December 30, 2009

Perahu Cinta

Perahu cinta
bergelombang mengikuti arus rindu
bersama nahkoda rasa
terus bergerak dan bergerak
menuju pelabuhan Hakiki

Perahu cinta
kadang terhempas angin
kadang hampir jatuh
ketika layar iman tidak kuat
kadang jatuh terhempas dan hancur

Layar iman dan nahkoda ikhsan
akan membantu
mengantarkan perahu cinta
pada dermaga keindahan
apa pun gelombangnya
ia akan sampai dengan gembira

Perahu,nahkoda,ombak,angin
adalah cinta
menuju dermagaNYA

Tuesday, October 6, 2009

NYANYIAN JINGGA

(“ESOK TAK LAGI ADA CERITA”)

Sepertinya ku tak perlu melihat gugurnya daun daun
Atau menyaksikan debu jalanan tersapu oleh angin
Bahkan tak perlu kuhardik tanda tanda musim yang berganti
Tak perlu memang langkahku berhenti
Sedetik atau setahun apakah ada bedanya?
Sepertinya memang tak ada gunanya mendengar nyanyian musim musim
Menengadah pada bulan merah jambu
Atau berdiri tegak pada surya jingga
Masihkah debu punya arti ?
Sepertinya tak perlu aku berhenti
Adakah sebuah persimpangan?
Adakah sunyi yang mendengkur keras?
Ataukah ada keramaian dalam perarakan Pulang?
Tua tak lagi ada cerita dan muda tak lagi menyimpan kenangan
Dan diatas bumi ini
Sebatang kamboja terbisu diam.

(didedikasikan kepada Indonesia yang menangis........)

Bukan Maksud Ku...

derai-derai rasa
tersendat karena cita
cita tenggelam dalam realita
realitaku adalah hidupku
noktah-noktah putih
bersenda derai. kepongpong
mekar. sang raja muncul dari hasrat
jalinan tinta
bersulam dalam kata

aku bisu karena hitam
sehitam rasa dalam denyut
biarlah senda dan gurau mengalir
aku juga mengalir
tapi aliranku kan kututup botol merah
semerah bara

bara dalam nikmat, dilema, bara yang akan membara
bara melahap sekitarnya
tintaku, harianku keupenuhi serabutmu
bagaimana kau menari
bagaimana bersulam jari-jari asmara.
rindu kankulap masa, lepas landas
dalam cerita fiktif.
benci menganga, kau buat borok.
kau berani bermain, tapi kau takut
kalah, jatuh, tersungkur. kau sia-siakan
hidupmu dengan paruh jahatmu.

Sore Itu...

Ketika Senja Ingin Kembali Keperaduan...
Terdengar Dari Sebrang Sana Pekik Yang Memilukan...
Melengking,Seiring Suara Reruntuhan...

Jerit Dan Tangis Membaur Menjadi Satu...
Dengan Rasa Takut Dan Was-Was...
Bak Mimpi Semalam...
Hanya Sekejap Mata...
Semua Luluh Lantak Rata Dengan Tanah...

Tetes Air Mata Yang Belum Mengering...
Kembali Membasahi Pipi Nan Ranum Ibu Pertiwi...
Hati Menjerit..Nurani Merontak..Melihat Apa Yang Terjadi...

Tuhan...
Cobaan Apalagi Yang Engkau Beri Kepada Bangsa Kami...
Cobaan Apalagi Yang Engkau Beri Kepada Rakyat Kami...
Cobaan Apalagi Yang Engkau Beri Kepada Negeri Kami...

Negeri Ini Telah Rapuh Tuhan...Bangsa Ini Sudah Renta...
Dosa Apa Yang Telah Kami Perbuat Kepada Mu..
Hingga Engkau Berikan Cobaan Yang Sedemikian Berat Kepada Bumi Ini...
Kepada Nusantara Ku Tercinta...Kepada Indonesia...

Tuhan...
Ampunilah Hamba Yang Lalai...
Yang Tak Mampu Merawat...
Yang Tak Bisa Menjaga Anugrah Yang Engkau Berikan Kepada Kami...

Tuhan Sudahilah Tetes Air Mata Yang Mengalir Di Negeri Ini...
Air Mata Kami Telah Kering,Karna Tangis Yang Tiada Henti...
Tuhan Sudahilah Semua Cobaan Ini,Semua Bencana Yang Terjadi Di Negeri Kami...

Tuhan...
Engkau Maha Agung...
Engkau Maha Pengasih...
Engkau Maha Bijaksana...
Dan Engkau Maha Penyayang...

Tuhan...
Hentikan Derai Air Mata Bangsa Ini...
Hanya Engkau Yang Mampu...
Hanya Engkau Yang Bisa...
Hanya Kepada Mu Kami Berserah Diri...

Friday, September 11, 2009

" ZAM-ZAM CINTA "

ZAM-ZAM CINTA

Wow mantra itu
Membawaku mengitari melekul-melekul cinta
Bersujud pada dzat tak berwujud
Rukuk berbungkuk
dihamparan permadani-permadani kerinduan
Berseloroh, bercanda, berpesta dengan narkoba wahdat

Ekstasi itu menebarkan virus-virus
Syauq disekujur tubuh yang ringkih
Ku sakau pada-Nya

Wow laura-laura itu
Mendobrakku, menelusup dirusuk latifku
Membuat Fatimah-Fatimah baru dalam hidupku
Kuberikan senyum tasbih di altara-altara Sidroh Muntaha
Kubungkam dengan seribu mawar menghantarkan
Wewangian malam pertama di babar Rahmah

Wow musafir-musafir itu
Menggelombangkanku menuju pantai kasmaran
Mengehempaskan kalbu merengkuh rindu rabbani
Bermusafir diri bersama tongkat Musa
Membelit penyihir –penyihir angkara
Kutahajjudkan hatiku bersama Ayyub
Meraih bongkah-bongkah tawakkal di panggung kemunafikan
Kuhentakkan kakiku bersama kaki Ismail
Membuncah zam-zam cinta
Kutunggangi unta Sholeh
Bertawaf bersama burung-burung Ababil
berlayar bersama Nuh mengarungi samudara ilah
Menepi di pantai su
rgawi bersenda dengan bidadari-bidadari

Wow..wow…wow
Kenapa memgapai tahta
bernafsu cinta buta
memburu harta
melalang meneriakkan surgawi
kalau hati penuh benci
kenapa memburu harga diri
wong dermaga
Bersemayam dalam diri
Dermaga illahi

Wednesday, September 2, 2009

" EDELWIS "

Parasmu memukau ,kecantikan dan keabadian Mu tersohor.
Pertama kalinya Ku sentuh tangkai Mu Saat Umur Ku Masih Belasan Tahun,Kharisma yg terpancar Membuat Ku Gagum,Engkau Bunga Pujaan Setiap Insan.

Dulu Engkau Menghiasi Rekung Hati.Kini Engkau Hanya Kenangan Manis Dalam Hidup Ku.Dirimu Telah Pergi Dan Musnah Terbakar Asmara Yg Gundah Gulana.Lebur Bersama Abu Cinta Dalam Sanubari.Musnah Dan Menjadi Kenangan Masa Lalu Yg Hingga Kini Tak Dapat Ku Lupakan Dalam Ingatan.
Engkau Bunga Ku.

" EDELWIS "

Hanya Diri Mu Yg Ku Anggap Pantas Menjadi Hiasan Dalam Ruang Ruang Hati Ku.
Hanya Diri Mu Yg Membuat Hidup Ku Tentram Menjalani Kehidupan Fana Ini.
Engkaulah Pelipur Lara,Ketika Raga Mulai Rapuh Dan Lelah Menjalani Hidup Yg Kian Renta.

Seiring Waktu Yg Berlalu,Ku Coba Mencari Pengganti Mu Tuk Menghiasi Relung Hati Ku.
Namun Hingga Kini Tak Ku Temukan Wujud Mu.
Hanya Engkau Yg Pantas Menempati Vas Dalam Ruang Hati Dalam Taman Sanubari.
Meski Vas Yg Ku Berikan Tak Seindah Adanya,Meski Taman Yg Ku Janjikan Tak Seindah Taman Surga.

" EDELWIS "

Hanya Diri Mu Yg Masih Pantas Menempati Vas Bunga Dalam Relung Taman Hati.
Meski Tak Seindah Yg Engkau Bayangkan,Tapi Diri Mu Menerima Apa Adanya.
Engkaulah Bunga Pujaan Ku,Diri Mu Yg Pantas Ku Kenang.

" EDELWIS "

Beberapa Bulan Yg Lalu Ku Temukan Satu Sosok Yg Ku Anggap Pantas Menggantikan Wujud Mu.
Tuk Tempati Vas Dalam Relung Taman Hati Ini,Tapi Tuhan Berkehendak Lain Dan Berkata :
Mungkin Ia Pantas Menggantikan EDELWIS Mu Yg Telah Hilang,Namun Vas Itu Tak Pantas Untuknya.
Namun Bila Kau Yakin Vas Itu Pantas Kau Persembahkan Untuknya,Tetaplah Pada Pendirian Mu.
Semoga Suatu Hari Nanti Ia Akan Menempati Vas Nan Cantik Dalam Relung Taman Hati Mu Wahai Pemilik Vas.

" EDELWIS "

Aku Rindu Pada Mu..
Aku Rindu Senyum Mu..
Aku Rindu Belai Jemari Mu..
Dan Aku Rindu Hangat Peluk Mu...

Sunday, August 9, 2009

RINDU NYANYIAN ALAM








Disepinya malam dalam kesendirian pada bulan Oktober
Kerinduanku akan irama musikmu bernada
Gesekan dawai dedaunan menimbulkan melodi yang mendayu
Tiupan angin yang dingin megalunkan suara seruling gembala
Gemeriecik air sungai berirama mengalunkan kehidupan
Lengkingan tujuh oktav owa jawa menembus kalbu
Sahut bersahut suara satu, dua dan tiga burung-burung berlagu
Gagak kecil hitam berganti-ganti terbang dan berjalan
Tarian bajing-bajing kecil dicatwalk pepohonan
Tetesan embun membasahi dedaunan pancarkan kilaunya mutiara disinar mentari
Semerbak aroma tanah nan subur penuh kaya
Hamparan hijaunya lumut membentang terbagi
Dalam sorotan sinar-sinar mentari yang menembus sela-sela rimbunnya belantara
Semuanya berselimutkan balutan tipis dinginnya halimun
Menyambut datangnya pagi dalam nyanyian alam
Lagu-mu dan nyanyian-mu akan selalu ada dalam rinduku
Berharap nyanyian-mu akan sealalu dan tetap abadi mengiringi kehidupan dunia



HBS
http://www.facebook.com/harley.sastha?ref=profile
Bogor, September 2007
(Dapat juga dibaca di dalam buku Seri Pendakian Gunung-gunung di Indonesia "MOUNTAIN CLIMBING FOR VERYBODY" - seri pertama)

Saturday, August 1, 2009

DIMANA ENGKAU

DIMANA ENGKAU


saat ku menangis?
saat ku sendiri?

Ini kali kesekian mencari engkau
bukan diantara leuit kau kucari
bukan diantara padang ilalang-nya...
di sela rincik bening air sungai Parahyangan ku benamkan kaki, juga bukan...
di sudut cadas jalanan yang membekukan rasa takut, bukan pula...

Kuharap kau ada diantara juta bintang,
malam itu di langit Kanekes...

Akhirnya,
malam kelam, muram, aku sendiri, dicekik harap,
sedih penghabisan.
Kita t'lah bungkam dalam ketiadamengertian...
sampai kapan?
sampai mimpi itu berakhir-kah?
Teruslah bermimpi... aku hendak buka jendela kamarku...

Agar mentari memburatkan sinarnya
meluruhkanku dalam kelopak cinta...

Tuesday, July 28, 2009

Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....



Kemunculannya ketika sedang gelisah "Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug...."
Itulah suara hatinya, ketika malam benar-benar datang dia tidak muncul lagi, tidak ada lagi Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug.....


“Kenapa kamu diam saja?” Alimin menunduk lesu melihat kekasihnya yang terdiam membisu pula.
“Entahlah, hatiku selalu Selalu Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....jika aku di dekatmu," sahutnya sesaat kemudian.
“Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug.... gimana maksudnya?” lanjut Alimin sembari menatapnya penuh kasih.
“Ya Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug..... Kalau Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug.... ya tetep Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug...." sahutnya manja, malu-malu tai ayam.

Malam semakin manjalar, ada yang aneh dengan obrolan itu. Tidak seperti biasanya, yang penuh dengan canda dan tawa. Sepasang kekasih itu memilih untuk tetap diam, pada sudut taman kota Malioboro. Hanya detak Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug...yang terasa di hati mereka masing-masing.

“Gimana kalau kita putus saja,” ucap gadis dengan pelan.
“Apa? Putus? Tidak! Tidak!” Alimin berdiri.
“Kenapa? Apa jantungmu juga Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....?" gadis itu membetulkan kepang rambutnya.Alimin terdiam.
Pengamen kecil menyodorkan tangan lusuhnya dengan melas, setelah menyanyikan lagunya Mbah Surip. Alimin merogoh kantongnya, menyodorkan selembar uang 500 perak, “kita kemana malam ini?” lanjut Alimin.
“Makan gudeg saja, menghilangkan Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....ini!" gadis itu berdiri.
Alimin menggandeng tangannya dengan mesra. Mereka berjalan pelan, lalu melambaikan tangan kearah sebuah taksi.
Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....
Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....
Masih nada yang sama, nada-nada gelisah.
“Kita jadi putus?” kata Alimin sesaat kemudian setelah meletakkan gudeg cekernya.
“Baiklah, kita putus!” sahut gadis itu dengan tersenyum.
Berakhirlah hubungan kedua manusia itu. Entah karena apa, tidak ada keributan, tidak ada isak tangis. Biasa-biasa saja.
***

Sebulan setelah Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....itu, Alimin makan gudeg di tempat yang sama, depan Shapir. Gudeg batas kota. Kini yang di sampingnya bukan lagi gadis yang suka mengepang rambutnya, tapi sorang gadis super seksi yang memakai baju minim, seperti kebanyakan remaja jaman sekarang. Angin bebas membelai hampir semua tubuhnya. Baju tanpa lengan, rok super mini. Dan itu sebenarnya tidak layak untuk di lihat public, alih-alih tukang parkir itu juga melotot ketika gadis seksi duduk lesehan.

Mata-mata menatap tajam, Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug..., jantung Alimin dengan kencang terbakar cemburu.
“Say! Kita putus saja!” ucap Alimin yang sering kali marah ketika kekasih barunya selalu memakai baju minim di tempat umum.
“Apa? Putus? Tidak! Tidak!” Gadis seksi itu berdiri.
“Ya, aku tidak tahan! Semua mata melotot kepadamu!! Ingin menjamahmu!! Kita putus saja, aku mau jadi homo!! Biar tidak cemburu terus!!?”
“Apa? Putus? Tidak! Tidak!” Gadis itu mengambil piring, memukul kepala Alimin sekeras-kerasnya, belum puas, gelas berisi es jeruk juga di hantamkan ke kepala Alimin.
“Aduh! Aduh! Aduh!” Alimin hanya bisa mengaduh dengan memegangi kepalanya yang bocor dan mencoba menghindar.
Tidak cukup puas dengan itu semua, gadis seksi yang cantik namun berpakaian tidak layak pandang itu semakin kesurupan saja. Piring orang yang sedang makan di sebelahnya direbut dengan paksa dan di pukulkan kearah kepala Alimin yang sudah bocor sejak pukulan pertama. Pengunjung bubar, gaduh tak terkendali.
Yang tadinya enak-enak makan menjadi gelisah Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....bingung mau ngapain. Hanya jantung mereka yang Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....
Alimin juga terus menghindar, hingga sebuah piring penuh nasi sekali lagi menghantam kepalanya. “Brak!!!”
Alimin terjengkang, tidak bergerak. Dia terjatuh dan kepalanya yang pusing berdarah itu menghantam trotoar jalan.
Gadis itu diam, puas sudah rasanya.
Tukang parkir, masih dengan sesekali melirik gadis seksi itu mendekati Alimin yang diam terbujur lemas.
“Mati Kang?” tanya seorang ibu yang kini berani mendekat.
“Masih ada!! Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....Jantungnya masih Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....” sahut tukang parkir.
Gadis itu pun berlalu, berjalan entah kemana. Mungkin menjual diri. Dalam amarahnya yang memuncak, jantungnya berdetak Dag Dig Dug...Dag Dig...Dug....

***

Sebulan setelah peristiwa itu
Di perempatan dekat Gudeg batas Kota.
"Koran! Koran! KR! KR! Seorang gadis seksi tewas mengenaskan! Di perkosa 4 orang kakek-kakek! Koran-Koran! KR! KR! 4 Orang kakek perkosa gadis cantik! Koran-koran!" dadanya Dag Dig dug... leleh berjalan hilir mudik....Bolak-balik...

Saturday, July 25, 2009

Cerita Cinta Nyata Genta

Ketika Putri mendadak memutuskan cintanya, Genta berubah jadi pemurung. Dan ketika gadis pujaannya itu menikah diam-diam di Surabaya, Genta betul-betul frustrasi. Dia tak mau makan-minum sehingga akhirnya terkena tifus Betapa ironis, ketika mantan kekasihnya tengah menikmati bulan madu di Bali, dia justru terbaring di rumah sakit Lalu.. apakah yang dapat dilakukan seorang ayah untuk menghibur anak lelakinya yang patah hati? Untuk membangkitkan kembali semangat juangnya yang hampir mati? Genta adalah anak yang cemerlang. Sejak kecil dia selalu jadi bintang kelas. Namun, anak itu pendiam dan perasa.
“Kamu betul-betul menuruni darah Ayah. Selalu serius, mendalam, dan penuh ketulusan kalau mencintai perempuan. Sehingga, kalau putus cinta betul-betul terpuruk. Padahal, seperti kata peribahasa, dunia ini tidak sedaun kelor. Di dunia ini begitu banyak wanita, Nak,” ujarku saat berbicara dari hati ke hati sepulangnya ia dari rumah sakit.
“Tapi tidak ada yang secantik dan sebaik Putri, Yah. Dia yang dulunya tak pakai kerudung, kini mulai belajar pakai kerudung. Tapi kenapa ketika keislamannya semakin sempurna, kok dia tega meninggalkan saya dan menikah dengan manajer perusahaan elektronik itu?”
“Sudahlah, Nak. Sesuatu yang lepas dari tangan kita memang selalu kelihatan indah. Begitu pula kalau kita kehilangan perempuan yang kita cintai. Mata kita tertutup bahwa di sekeliling kita masih banyak perempuan lain yang mungkin lebih baik dari dia.”
“Aku baru sekali ini jatuh cinta, Yah. Selama SMU dan kuliah, waktuku lebih banyak aku habiskan untuk belajar, dan organisasi ilmiah di kampus.”
“Ayah paham, Nak. Ayah mau buka rahasia. Sewaktu SMU dulu Ayah mengalami nasib yang mirip kamu. Cinta tak kesampaian, padahal Ayah dan Rini, nama perempuan itu, sama-sama saling mencintai. Bertahun-tahun Ayah nyaris frustrasi dan tak pernah mampu menghilangkan bayang wajahnya. Sampai kemudian, lima tahun setelah itu, Tuhan mempertemukan Ayah dengan ibumu. Dia wanita tercantik di Cianjur ketika itu. Baru lulus SMU. Banyak sekali pemuda yang mengincar ibumu. Entahlah, kenapa dia mau menikah dengan Ayah yang ketika itu masih berstatus mahasiswa dan belum punya pekerjaan, kecuali menjadi penulis free lance di koran. Kami menikah hanya dua minggu sejak pertama kali bertemu.” Genta termenung. Mungkin ia merenungkan kalimat demi kalimat yang tadi aku ucapkan.
“Nak, laki-laki itu ibarat buah kelapa. Makin tua, makin bersantan. Biarpun jelek, botak dan gendut, kalau punya kedudukan, berharta, dan terkenal, maka gadis-gadis muda antri untuk mendapatkannya. Untuk sekadar jadi teman kencan maupun istri sungguhan.”
“Benarkah?”
“Ya. Dengan modal hanya sebagai wartawan senior dan novelis top saja, Ayahmu ini seringkali digilai oleh perempuan-perempuan muda. Mereka berusaha mencuri perhatian Ayah dengan berbagai cara. Kalau Ayah tidak kuat iman, Ayah mungkin sering kencan dengan banyak perempuan. Kalau Ayah kurang sabar, Ayah mungkin beristri dua, tiga, atau bahkan empat.”
“Apa yang membuat Ayah bertahan dengan Ibu?”
“Dia perempuan yang hebat. Kesabaran, ketulusan, kehangatan dan kasih sayangnya luar biasa. Hal itu telah ditunjukkannya saat Ayah masih belum punya apa-apa, belum diperhitungkan orang, bahkan dilirik sebelah mata pun tidak. Kami menikah dalam keadaan miskin. Bahkan cincin kawin untuk ibumu baru Ayah belikan lima tahun setelah pernikahan.Tahun-tahun pertama pernikahan, kami sering makan hanya nasi dan garam saja. Namun tak pernah sekalipun Ayah mendengar ibumu mengeluh atau menunjukkan air muka masam. Sebaliknya, Beliau selalu berusaha membesarkan hati Ayah. Bahwa Ayah punya potensi. Bahwa Ayah suatu hari nanti akan jadi orang hebat di bidang sastra maupun jurnalistik. Dua puluh delapan tahun perkawinan dengan ibumu sungguh merupakan perjalanan hidup yang amat berarti bagi Ayah. Itulah yang membuat Ayah tak pernah mau berpaling kepada perempuan lain. Rasanya sungguh tak adil, setelah menjadi orang yang terkenal dan punya uang, Ayah lalu mencari perempuan lain untuk membagi cinta ataupun sekadar bersenang-senang.”
“Ayah beruntung mendapatkan perempuan sebaik ibu. Tapi aku? Satu-satunya perempuan yang aku cintai kini telah pergi.”
“Jangan menyerah dulu, Nak. Cuti doktermu ‘kan masih tiga hari lagi. Bagaimana kalau besok Ayah ajak kau jalan-jalan keliling Jakarta? Kita santai dan cari makan yang enak. Siapa tahu kamu bisa melupakan Putri-mu dan mendapatkan pengganti yang lebih baik.”Genta tidak langsung menjawab.
“Ayolah, Nak. Ayah yang akan jadi sopirmu. Kau tinggal duduk di jok depan. Oke?” Lama baru Genta mengangguk.
“Baiklah, Ibu ikut?”
“Tidak. Ini urusan laki-laki, Nak,” sahutku seraya tertawa. Hari pertama aku mengajak Genta berkeliling Mal Pondok Indah.
Mal yang terletak di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan itu selalu ramai dikunjungi orang-orang berduit. Hanya dalam hitungan jam kita bisa menyaksikan puluhan bahkan ratusan perempuan muda, cantik dan seksi, keluar masuk mal. Umumnya mereka mengenakan pakaian yang menonjolkan lekuk-lekuk fisiknya, seperti dada, udel, pantat, paha, ketiak dan punggungnya.
Seusai Maghrib aku mengajak Genta nonton film di Kartika Chandra 21 yang terletak kawasan Segi Tiga Emas Jakarta, tepatnya Jalan Gatot Subroto. Di sini banyak sekali pasangan yang datang menonton. Umumnya perempuan-perempuannya mengenakan gaun malam yang seksi dan terbuka.
Banyak juga yang memakai rok mini ataupun celana blue jean ketat di bawah pinggang sehingga sering kali memperlihatkan celana dalam pemakainya. Hari kedua aku mengajak Genta pergi ke kantor sebuah bank syariah.
“Ayah mau setor tabungan dulu sekaligus mau buka rekening khusus zakat. Mau ikut masuk?” Genta mulanya enggan.
“Ayolah.” Akhirnya ia mau juga ikut. Kami menemui salah seorang customer service officer. Laili namanya.
“Assalaamu’alaikum, Pak Irwan. Ada yang bisa saya bantu?” suaranya bening dan terkesan manja, namun tidak dibuat-buat. Balutan jilbab coklat itu tak mampu menyembunyikan posturnya yang semampai dan wajah selembut kabut.
“Wa’alaikumsalaam, Mbak Laili. Saya ingin membuka rekening khusus untuk zakat. Oh, ya, kenalkan ini anak sulung saya. Genta. Genta, ini Mbak Laili.”
“Assalaamu’alaikum, Mas Genta.”
“Wa’alaikumsalaam, Mbak Laili.”
“Genta kerja di gedung ini juga, Mbak Laili. Lantai 12.”
“Oh, ya?” Laili agak terkejut.
“Kalian pasti enggak pernah bertemu ‘kan? Inilah penyakit zaman modern, orang-orang berkantor di satu gedung tapi bisa bertahun-tahun tak pernah berjumpa,” kataku sambil tertawa. Bibir tipis Laili mengukir segurat senyum.
“Soalnya Mas Genta enggak pernah buka tabungan di bank syariah. Duitnya disimpan di bank konvensional semua ya?”
Laili punya selera humor yang bagus. Kulihat Genta tersenyum kecil.
“Insya Allah saya akan buka rekening di bank syariah, Mbak.” Keluar dari bank syariah itu, aku mengajak Genta menghadiri pameran buku Islam di Istora Senayan Jakarta. Pameran yang menampilkan puluhan penerbit Islam itu setiap hari dihadiri oleh puluhan ribu orang. Berbeda dengan pemandangan di Mal Pondok Indah dan KC-21, di sini kebanyakan perempuan muda yang datang mengenakan jilbab. Wajah mereka kelihatan bersih dan matanya lebih suka menunduk ketimbang jelalatan mencari perhatian lelaki.
Seusai menonton pameran buku, aku mengajak Genta mampir di Hotel Gran Melia, yang terletak di Jl HR Rasuna Said. Kami memesan es lemon tea dan pisang goreng keju.
“Oke. Mari kita bahas perjalanan dua hari kita. Kamu masih ingat perempuan-perempuan muda di Mal Pondok Indah dan KC-21 kemarin?” Dia cuma mengangguk.
“Wanita-wanita seperti itu menyenangkan untuk dilihat dan dibawa ke pesta-pesta, tapi belum tentu membuatmu bahagia. Sebaliknya perempuan-perempuan muda berjilbab yang kita saksikan di pameran buku Islam dan bank syariah tadi, mereka lebih mungkin membuatmu menjadi seorang lelaki yang dihargai dan meraih kebahagiaan sejati. Ayah yakin, di antara mereka itu pasti ada perempuan impian.”
“Seperti apakah perempuan impian itu, Yah?” Aku menyeruput es lemon tea yang tinggal separoh.
Kemudian mencomot sepotong pisang goreng keju. Genta menunggu dengan tidak sabar.
“Seperti apa, Yah?”
“Kalau kamu bertemu dengan seorang perempuan yang berpadu pada dirinya kehangatan seorang Siti Khadijah, serta kemanjaan dan kecerdasan seorang Siti Aisyah dua di antara istri-istri Rasulullah itulah perempuan impian.”
“Seandainya aku menjumpai perempuan yang seperti itu, apa yang harus aku lakukan?”
“Jangan tunggu esok atau lusa. Telepon Ayah saat itu juga. Ayah akan segera melamarkannya untukmu, dan kau harus menikah dengannya paling lambat seminggu setelah itu. Jika kamu mendapatkan perempuan seperti itu dalam hidupmu, dunia ini kecil dan nyaris tak berarti. Rasul pernah berkata, bahwa seorang perempuan yang salehah lebih berharga dari dunia ini beserta isinya.”
Seminggu kemudian. Aku tengah menulis sebuah ficer tentang pengoperasian bus way di Jakarta ketika HP-ku berdering.
Dari Genta:
“Ayah, aku sudah dapatkan calon istri. Seorang wanita salehah yang bisa membuatku hidup bahagia.” Suaranya terdengar bersemangat.
“Oh, ya, siapa namanya?”
“Nantilah Ayah akan aku kenalkan.”
Berselang lima menit kemudian, Yanti, staf humas bank syariah menelepon. “Assalaamu’alaikum, Pak Irwan. Tadi Genta buka rekening di bank syariah. Dia mengobrol cukup lama dengan salah seorang customer service officer kami. Bapak pasti tahu yang saya maksudkan.”
Aku menutup Nokia 9500 itu. Lalu memandang ke luar jendela kantor.
“Alhamdulillah. Akhirnya kau temukan perempuan impianmu, Nak.”

Friday, July 24, 2009

When I dream about you

“Arya! Kamu lama!” seru Selena sambil melambai-lambaikan tangan padaku. Ia tertawa di bawah sinar matahari yang menyinari tubuhnya yang putih. Memintaku untuk cepat mengejarnya yang sudah jauh dari pandanganku. Sebenarnya ia curang karena tidak membawa barang apapun di tangannya, tapi aku memilih untuk diam saja.
“Aryaaa!!!” Selena lagi-lagi memanggilku yang sudah kepayahan karena membawa beban berat.Aku berusaha untuk mengejarnya. Aku tidak mau kalau ia sampai lenyap dari pandanganku. Aku ingin selalu melihatnya, terus mengawasi sosoknya yang sangat mempesona.
Akhirnya aku bisa melihat Selena yang menunggu kedatanganku. Ia tersenyum senang saat melihatku. Ah, lagi-lagi ia berhasil menggodaku untuk terus menatapnya. Itu memang bukan salahnya karena terlahir secantik dewi matahari, tapi di dalam hati aku terus saja menyalahkannya karena dengan mudahnya ia telah mencuri hatiku.
“Selena…”
Selena berjalan mendekatiku. “Apa tasku aku bawa sendiri aja?” tanyanya polos.
“Jangan!” tolakku. Mana mungkin aku tega membiarkan gadis berperawakan kecil sepertinya membawa barang yang berat? Lebih baik aku hancur saja karena semua beban yang kubawa dari pada membiarkannya membawa itu semua.
“Mau istirahat aja?”
“Nggak usah, sebentar lagi sampe kan?”
Selena mengangguk. “Iya, sebentar lagi kok. Sabar ya…” ia mengambil saputangan putih dari saku bajunya dan mengelap keningku yang basah karena keringat.
Aku kembali berjalan. Kali ini Selena berjalan di sampingku. Ia terus menatapku dengan pandangan khawatir. Aku benar-benar menyukai matanya yang besar dan bulat itu. Seperti bulan purnama, selalu bersinar dalam kegelapan. Terus menyinari hatiku.
“Arya, berat ya?”
“Nggak,” ucapku. “Asalkan kamu di sisiku, semuanya terasa sangat ringan.”
Wajah Selena merona merah saat mendengar ucapanku. Ia benar-benar manis. Aku jadi teringat saat aku pertama kali bertemu dengannya, saat itu aku berada di rumah sakit karena terjatuh dari motor dan terluka parah. Aku hampir mati karena kecelakaan itu, tapi untung saja aku selamat. Walaupun aku tidak bisa menggunakan kakiku untuk berlari lagi…
***
Aku melihatnya dari jendela kamar rumah sakit. Namanya Selena, aku tahu itu dari sorang suster. Ia selalu membaca buku di bawah pohon, sepertinya ia juga seorang pasien.Aku juga tidak tahu kenapa, gadis berambut hitam panjang itu benar-benar menarik perhatianku. Bukan karena wajahnya yang sangat cantik, tapi karena bahasa tubuhnya yang terlihat sangat menarik. Saat membaca, ia terkadang tersenyum, tapi juga terkadang menangis. Aku ingin tahu apa yang di bacanya sampai-sampai ia bisa seperti itu.
Akhirnya sehari sebelum aku keluar dari rumah sakit, aku memberanikan diri untuk menyapanya. Selena berkata bahwa ia juga tahu kalau aku selalu memperhatikannya dari kejauhan. Aku sangat senang, tapi aku juga ingin ia tahu bahwa aku telah jatuh cinta padanya.
Baru kali ini aku merasa seperti ini, ia seperti gadis yang memang sudah ditakdirkan untukku. Saat melihatnya, aku tidak pernah merasakan perasaan cinta yang menurutku serumit benang kusut. Ia begitu mempesona dan aku mencintainya secara tiba-tiba. Sesederhana itu.
Saat melihat sampul buku yang selalu di bacanya, aku sangat terkejut karena buku itu adalah buku yang ditulis saudara sepupuku, Marcell. Aku juga pernah membacanya, novel itu menceritakan seorang gadis yang hanya bisa bermimpi, tak pernah melihat kenyataan yang ada. Selena tersenyum saat aku membicarakan buku itu. Ia berkata, “Hiduplah dengan impian, karena mimpi bisa menciptakan keajaiban.”
Aku terdiam saat mendengar kata-katanya. Jujur, aku tak menyukai sifat tokoh utama dalam cerita itu yang selalu bermimpi. Mimpi yang tak akan pernah terkabul karena 7 hari lagi ia akan meninggalkan dunia.
Saat keluar dari rumah sakit, aku berjanji pada Selena akan sering menjenguknya. Aku tidak pernah berani bertanya apa penyakit yang di deritanya, tapi katanya sejak kecil ia sudah dirawat di rumah sakit.
Seiring waktu berlalu, menjenguknya sudah seperti sebuah kebiasaan. Setiap hari kulewati dengannya di rumah sakit. Mungkin aku dan dia memang tidak seperti pasangan yang selalu melewatkan malam minggu untuk berkencan, tapi aku cukup bahagia. Aku bahagia karena ada dirinya.
Kusadari ia telah menjadi bagian dari jiwaku. Setengah dari jiwaku yang telah lama hilang dan akhirnya kutemukan.
***
Tiba-tiba Selena menghentikan langkahnya. “Arya, makasih ya…”
“Untuk apa?” tanyaku bingung. Aku juga ikut berhenti berjalan. Saat Selena menghentikan langkahnya, entah kenapa aku merasa takut. Aku takut setiap langkahnya yang selalu mewarnai hariku itu akan hilang.
“Untuk semuanya,”
Aku tersenyum padanya. “Harusnya aku yang berterima kasih, Selena…” ucapku. “Karena kamu aku bisa terus melanjutkan hidupku.”
Selena, semua yang kukatakan itu tulus dari lubuk hatiku. Tak pernah sekalipun aku berbohong tentang bagaimana perasaanku padamu. Andai kau tahu bahwa hidupku seakan berakhir saat aku tak bisa berlari lagi. Impianku untuk menjadi pemain basket telah hancur berkeping-keping. Sejak itu aku tak ingin bermimpi lagi karena bila tak terkabul akan sangat menyakitkan.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku mengecup lembut keningnya. “kamu membuatku ingin bermimpi lagi, mimpi kita akan selalu bersama selamanya. Kamu akan menjadi pengantinku yang tercantik di dunia, dan kita akan punya banyak anak. Setelah itu aku tak butuh apa-apa lagi…” dan kalaupun hal itu hanya sebuah mimpi yang tak akan terkabul, tolong jangan bangunkan aku.
Tiba-tiba Selena memelukku. Aku membalas pelukannya dengan hati-hati. Aku selalu takut bila memeluknya, aku takut tubuhnya yang kecil akan hancur di pelukanku.
“Arya, aku mencintaimu…” kata Selena pelan.
“Jangan menangis,” aku tahu ia sedang menangis di pelukanku. Sakit sekali rasanya saat mengetahu hal itu. “Kamu tahu bagaimana perasaanku.”
“Cinta itu aneh ya?”
Benar, sangat aneh… aku menjawab di dalam hati.
“Bahkan walaupun aku sudah mati, cintaku padamu tak pernah berubah.” Selena melepas pelukannya. Tiba-tiba aku merasa tubuhku sangat berat. Barang yang ku bawa seakan-akan bertambah dan membuatku tak bisa menggerakkan tubuhku. Aku melihat sekelilingku, semuanya serba putih. Padahal Kenapa aku baru menyadari bahwa tidak ada apa-apa di sini?
“Sudah sampai, Arya...” ucapnya.
“Se..lena…”
Selena menatapku. Tatapannya sedih. “Arya, kamu tahu tentang novel yang kubaca saat aku pertama kali bertemu denganmu?” tanyanya.
Aku terdiam. Berusaha menggerakkan tubuhku yang seperti batu.“Sebenarnya impianku sama dengan mimpi gadis di cerita itu,” ia tersenyum. “Aku ingin hidup. Selamanya hidup denganmu…” lanjutnya.
Setetes air mata mulai jatuh di pipiku karena Selena makin menjauh. Aku mulai menangis. Tanganku tidak bisa lagi untuk menjangkaunya. Ia jauh sekali…
Kalau begitu bagaimana dengan mimpiku untuk bersama denganmu? Apa benar bila aku terus bermimpi akan ada keajaiban seperti yang kau katakan padaku dulu?
“Arya, udah pagi!”
Sinar matahari masuk melalui cela-cela jendela kamarku dan menyinari tubuhku yang tertidur. Perlahan-lahan mataku terbuka. Ah, lagi-lagi aku bermimpi. Mimpi tentang seorang gadis yang sangat kucintai...


Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini...

PECUNDANG

Akhirnya aku kembali ke tempat ini. Aku tidak bisa menahan perasaanku untuk tidak menemuinya lagi. Aku hanya ingin melihatnya dari jarak yang agak jauh, dari tempat yang agak terlindung. Dari balik malam, dengan leluasa aku bisa melihatnya tertawa dan tersenyum --tawa dan senyum yang dibuat-buat-- di hadapan para tamu.

Tempat dia duduk menunggu tamu cukup terang bagi mataku, meski tempat itu hanya ditaburi cahaya merah yang redup. Aku masih bisa merasakan pancaran matanya yang pedih. Aku merasa dia sedang memperhatikan aku. Aku berusaha bersembunyi di balik kerumunan para pengunjung yang berseliweran di luar ruangan. Tapi sejenak aku ragu, apakah benar dia melihatku? Ah, jangan-jangan itu hanya perasaanku saja. Aku yakin dia kecewa dengan aku. Dia kecewa karena aku gagal membawanya pergi dari tempat ini.

Hampir setiap malam aku mengunjungi tempat ini hanya untuk melihatnya dari kegelapan dan memastikan dia baik-baik saja. Aku seperti mata-mata yang sedang mengintai mangsanya. Atau mungkin aku seorang pengecut yang tidak berani menunjukkan batang hidung setelah kegagalan yang menyakitkan hatiku. Atau bisa jadi aku telah menjadi pecundang dari kenyataan pahit ini.

Biasanya aku akan datang sekitar jam delapan malam. Aku memarkir motor di kegelapan dan berjalan perlahan menuju tempat dia biasa menunggu tamu. Jelas aku tidak akan berani masuk ke dalam ruangan yang pengab dengan asap rokok dan bau minuman itu. Aku terlanjur malu dengan dia. Makanya, aku hanya berani berdiri di luar, di dalam kegelapan, dengan tatapan mata yang sangat awas yang tertuju pada ruangan di mana dia duduk santai sambil mengepulkan asap rokoknya.

Seringkali aku dibakar api cemburu ketika ada lelaki yang menghampirinya dan merayunya. Api cemburu itu semakin menjadi-jadi ketika dia juga meladeni lelaki yang merayunya dengan senyum dan tawa. Dan hatiku benar-benar hangus ketika kulihat dia masuk ke dalam biliknya ditemani lelaki itu. Saat itu juga batok kepalaku dipenuhi berbagai pikiran-pikiran buruk. Ya, sudah jelas, di dalam bilik sederhana itu mereka akan bergulat, bergumul, dan saling terkam dalam dengus napas birahi.

Ah, sebenarnya tidak begitu. Itu hanya pikiran-pikiran burukku saja. Aku tahu dia perempuan lugu yang terjebak dalam situasi seperti itu. Semacam anak kijang yang masuk perangkap pemburu.

Aku merasa aku telah jatuh hati padanya. Kamu tahu, bagaimana proses jatuh hati itu kualami? Baiklah, akan kuceritakan untukmu. Saat itu aku diajak oleh kawan karibku datang ke tempat ini. Kawanku itu menemui langganannya. Sedang aku hanya bengong-bengong di ruangan sambil minum kopi. Seorang ibu paruh baya menghampiriku. Dengan mata genit ibu itu mengatakan padaku kenapa aku tidak masuk kamar? Aku bilang bahwa aku lagi ingin sendiri, lagi ingin menikmati suasana saja. Ibu itu mengatakan ada yang baru, masih belia, baru datang dari kampung. Ibu itu bilang usianya baru 15 tahun. Dalam hati aku tertarik juga dengan perkataan ibu itu. Wah, masih belia sekali? Aku jadi ingin tahu kayak apa perempuan yang dibilang belia itu? Ibu tua itu kemudian memanggil dia.

Sehabis mandi, ibu tua itu mengantar perempuan itu kepadaku. Dengan malu-malu perempuan ingusan itu duduk di sebelahku. Dia hanya diam dan tidak berkata-kata. Wajahnya manis dan memang masih bau kencur. Entah anak siapa yang disesatkan ke tempat seperti ini. Ibu tua itu menyuruhku segera mengajaknya masuk kamar, tentu dengan tarif khusus, lebih mahal dari biasanya.

Di dalam kamar, perempuan itu masih diam, tak banyak bicara. Dari wajah kekanak-kanakannya terpancar perasaan cemas dan keragu-raguan. Aku jadi iba melihat tingkahnya yang memelas itu. Aku segera mencegah saat dia hendak melucuti busananya. Dia bingung dengan tingkahku.

"Saya harus melayani tamu saya," jelasnya.

"Aku tak perlu dilayani. Aku hanya ingin ngobrol denganmu. Dan aku akan tetap membayar sesuai tarif yang telah disepakati," ujarku.

Aku menatap wajah yang lugu itu. Entah kenapa aku jadi tidak tega dan merasa simpati dengan dia. Mungkin aku terjebak pada pancaran matanya yang begitu diliputi kepolosan sekaligus kecemasan. Aku telah mengenal sejumlah perempuan yang bekerja seperti ini. Tapi dengan perempuan satu ini, aku merasakan dalam diriku bangkit suatu keinginan menjadi hero, ingin menyelamatkannya.

Aku mendekapkan kepalanya ke dadaku. Aku membelai-belai rambutnya yang sebahu. Tiba-tiba saja aku merasa menjadi seorang kakak yang ingin melindungi adiknya dari segala marabahaya.

"Mengapa kamu bisa berada di tempat seperti ini?" tanyaku lirih. "Seharusnya kamu menikmati masa-masa sekolahmu, seperti teman-temanmu yang lain.."

Perempuan itu diam dan menatapku lembut.

"Saya tidak tahu, Mas. Saya diajak oleh tante saya ke sini. Saya dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan. Tapi ternyata saya dijebak di sini oleh tante saya sendiri."

Aku kaget mendengar pengakuannya yang memilukan itu. Diam-diam dalam hatiku, rasa kasihan perlahan menjelma rasa simpati dan keinginnan untuk mengasihinya.

"Kamu ingin pergi dari tempat ini?"

"Ya, jelas, Mas. Tapi bagaimana caranya saya bisa pergi dari sini?"

"Aku akan ngomong sama bosmu."

"Mustahil, Mas!"

"Mengapa mustahil?"

"Mas tidak paham situasi di sini. Sekali perempuan terjebak dalam tempat ini, maka seumur hidup akan berkubang di sini."

"Tidak. Aku akan menyelamatkanmu. Kamu harus melanjutkan sekolahmu. Dan kamu mesti cari kerja yang lebih bagus dari kerja begini."

Perempuan bau kencur itu menundukkan kepalanya. Matanya memancarkan harapan, harapan bagi sebuah kebebasan.

Aku cium keningnya. Aku bisikkan beberapa patah kata agar dia bersabar dan tabah. Aku ke luar dari bilik dengan perasaan gundah.

"Gimana, Mas? Bagus, kan?" Ibu paruh baya itu berdiri di depan pintu dan mengerlingkan mata genit ke arah mataku.

Tiba-tiba saja aku ingin muntah melihat tampang ibu genit itu.

"Aku ingin ngomong sama bosmu," ujarku dengan nada agak geram.

"Ada apa, Mas? Apa servisnya tidak memuaskan ya...? Wah, kalo gitu saya akan lapor ke bos."

"Jangan. Bukan masalah itu. Ada yang aku ingin bicarakan sama bosmu. Tolong panggil dia."

Perempuan paruh baya kepercayaan bos itu tergopoh-gopoh menemui bosnya. Tak berapa lama, dia muncul kembali mengiringi perempuan agak gembrot dengan wajah menyiratkan kelicikan.

"Ada apa, Mas? Apa dia tidak melayani Mas dengan baik?"

"Bukan masalah itu, Bu. Kira-kira kalau aku ingin mengajak dia keluar dari sini, gimana?"

Wajah perempuan gembrot yang licik itu seketika berubah curiga.

"Maksud Mas gimana?"

"Aku ingin mengajak dia pergi dari sini."

"Kalau begitu Mas harus menebusnya Rp 5 juta, gimana?"

Aku terkesiap. Gila benar si gembrot ini. Mengapa aku mesti menebusnya sebanyak itu? Bukankah setiap orang berhak memilih kebebasannya?

"Kenapa aku mesti menebus sebanyak itu? Dia bukan barang mati. Dia manusia yang memiliki kebebasannya," ujarku geram.

Si gembrot tersenyum sinis.

"Mas ini kayak tidak mengerti aja. Dia berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab saya. Tantenya telah menitipkan dia pada saya."

"Kalau begitu, kamu tidak berhak menjual dia dengan mempekerjakan dia sebagai pelacur," ujarku semakin geram melihat tingkah si gembrot.

"Hidup makin sulit Mas. Semua orang perlu uang dan sekarang ini segala sesuatu diukur dengan uang. Begini saja Mas. Kalau Mas mau membawa dia, maka Mas sediakan uang Rp 5 juta. Itu saja."

Si gembrot sambil menggerutu pergi meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong. Sejenak aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku pun pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan luka. Sepintas kulihat mata perempuan yang ingin kuselamatkan itu berkilat basah menatap kepergianku.

Beberapa hari kemudian aku berusaha mendapatkan uang sebanyak itu untuk menebus dia. Aku berusaha meminjam kepada kawan-kawanku. Namun usaha kerasku hanya berbuah kesia-siaan. Aku hanya bisa mengumpulkan Rp 2 juta. Aku kembali ke tempat itu dan mencoba tawar-menawar dengan si germo gembrot, tapi sia-sia belaka. Si gembrot tetap pada pendapatnya semula.

Aku merasa kecewa dengan diriku sediri. Aku tidak berdaya menyelamatkan dia. Aku tidak habis-habisnya mengutuki diriku sendiri, mengapa aku tidak berkesempatan jadi orang kaya.

Maka seperti saat ini, setiap malam aku hanya bisa menatap dia dari kegelapan malam. Sambil menahan hatiku yang hampir hangus dibakar cemburu, aku melihat dia bercengkerama dengan para tamu. Sepertinya dia bahagia dengan pekerjaan yang dijalaninya. Setiap melihat senyum dan tawanya, aku merasa bersalah sekaligus kecewa dengan diriku sendiri. Pada akhirnya aku hanya jadi pecundang.***

Wednesday, July 22, 2009

AKU INGIN MENJADI OMBAK



Aku Ingin Menjadi Ombak
Yang Selalu Membasahi Pantai
Dengan Setia Menghantarkan Makanan
Bagi Udang, Kepiting dan Tiram-tiram
Yang Menghiasi Pantai

Aku Ingin Menjadi Ombak
Yang Selalu Membersihkan Pantai
Buihku Selalu Memberi Keindahan
Gemuruhku Membuat Suasana Romantis
Yang Mengesankan Pantai

Dengan Setia Aku Selalu Hadir
Walau Tanpa Permintaan Dari Pantai

Dengan Setia Aku Selalu Memeluk
Memberi Kesejukan dan Kedamaian Bagi Pantai

Aku Ingin Menjadi Ombak
Yang Selalu Membasahi Pantaimu

Thursday, June 18, 2009

PROLOG



Hai!
Halo!
Apa kabar?
Hahaha, ya, aku melambai padamu.
Jangan khawatir, aku tidak salah orang dan kamu memang belum kenal aku. Tapi tidak ada salahnya, kan, mengenalkan diri? Lagipula aku punya sebuah cerita yang bisa kubagi denganmu. Tapi sebelum aku memulainya, perkenankan aku mengenalkan diri dahulu.

Hmmm, bagaimana cara mendeskripsikan diriku, ya? Yang jelas tidak ada yang istimewa dari aku. Aku adalah perempuan yang menyebrang jalan, yang kau lihat dari dalam mobilmu. Atau ketika tengah berjalan bersama teman-teman di mall, aku adalah orang melintas dari sampingmu, terburu-buru dengan tas besarku menggantung di bahu. Atau juga ketika kau tengah duduk di sebuah kedai kopi, aku ada di meja sebelahmu, mengganggumu dengan kegaduhan bersama tiga teman baikku. Yap, aku mungkin ada di situ, berpapasan denganmu tanpa kau sadari.
Tenang, aku tidak menyalahkanmu, kok, kalau kamu benar-benar tidak bisa mengingatku. Aku sadar, sesadar-sadarnya, bahwa aku adalah perempuan biasa yang bekerja keras seperti ribuan pekerja lain di Jakarta. Jadi bukannya merendahkan diri kalau aku bilang tidak ada yang istimewa dariku.
Tinggi badanku seadanya, hahaha, tapi untungnya dengan teknologi hak tinggi, masalah yang satu ini bisa diatasi. Tapi tunggu dulu, ini bukan berarti aku pecinta sepatu hak, lho. Sepatu datar dan sandal adalah favoritku. Dan kalau boleh jujur, aku tidak pernah habis pikir kenapa ada banyak sekali perempuan yang hobi bersepatu hak tinggi. Mungkin kaki mereka sudah bermutasi menjadi balok kayu sehingga sakitnya tidak menggigit lagi. Ups, mudah-mudahan kamu tidak termasuk di dalamnya. Kalaupun iya, sungguh, bukan maksudku untuk menyinggungmu. Jadi jangan marah, ya?
Rambutku ikal berponi dan seringnya acak-acakan. Nah ini, nih, yang sering dikomentari teman-teman kantor. Kata mereka, “Bagaimana bisa ketemu klien kalau muka lo kayak bangun tidur gitu?!” Kalau sudah begitu, seringnya aku balas dengan candaan. Habisnya mau diapain lagi, rambut ikalku ini seperti punya kemauan sendiri, tidak pernah betah diatur-atur. Untungnya taman-temanku tidak pernah protes lebih dari itu, karena mereka tahu aku handal dalam pekerjaanku. Kalau bicara soal meyakinkan klien, aku pantang menyerah. Bagiku, seni meyakinkan orang selalu menarik untuk ditelusuri. Pas banget, kan, aku kerja di bagian iklan untuk sebuah majalah?
Hmmm... apa lagi, ya? Oh, kulitku. Tidak, kok, aku tidak punya penyakit kulit. Hihihi. Justru kalau ada, kalian mungkin akan lebih mudah mengingatku. Sebaliknya, kulitku justru putih bersih dan terawat. Okey.. okey, sebenarnya lebih ke arah kuning. Tapi ini bukan karena aku tidak suka bermain dengan matahari. Hanya saja kulitku ini punya kemampuan luar biasa untuk mengembalikan warna aslinya, walaupun setelah berlama-lama tersengat matahari. Namun siapa, sih, yang bisa mengingat kulit putih di antara ribuan supermodel mal yang melenggang elok setiap harinya? Aku saja tidak. Aku tidak pernah berharap kalian bisa.
Tidak sekali dua kali teman-temanku menceritakan pertemuan mereka dengan orang yang mirip denganku. Yang versi tinggi lah, versi keren lah, versi gaul lah, yang jelas, aku selalu ada di urutan paling bawah. Hihihi, iya, aku yang selalu jadi perbandingan jeleknya. Seperti iklan shampoo sebelum dan sesudah itu, lho. Tapi aku tidak pernah terganggu dengan keusilan mereka. Kayaknya itu juga yang bikin mereka senang berteman denganku. Aku dengan lihainya bisa mengembalikan keusilan mereka dengan ledekkan yang tidak kalah maut!
Oh iya, aku juga pendengar yang ulung, dan katanya, sih, itu salah satu resep mujarab ‘menjerat’ teman. Paling tidak itu yang dikatakan keempat sahabatku: Edwina, Ririn, dan Bon-bon. Oh, satu lagi: Toska, cewek bawel yang tidak pernah absen chatting di internet denganku. Lucunya kelima sahabatku ini punya karakter yang sangat berbeda satu sama lainnya. Hmmm… contoh mudahnya begini, coba ambil salah satu topik pembicaraan untuk dilempar ke mereka. Misalnya saja, belanja tas mahal. Sudah terbayang olehku jawaban model apa yang akan mereka berikan. Bon-bon akan bicara tentang model-model terbarunya, Ririn akan memberikan tips tentang tempat membeli tas bermerk dengan harga miring, Edwina akan membeberkan cara menjaga tas tersebut supaya awet, sementara Toska… Toska sepertinya hanya akan mendengarkan dengan baik tanpa berkomentar banyak. Karenanya, selalu terjadi hal-hal yang menarik jika kami semua berkumpul. Sayangnya Toska ada di Bali, dan aku sendiri belum pernah bertemu dengannya. Namun aku yakin dia akan bisa berbaur dengan cepat dengan ketiga sahabatku.
Apalagi? Soal cinta-cintaan? Hahaha, ini menarik.
Dalam departemen percintaan, aku pernah mengalami stagnasi panjang. Masa kegelapan, kalau aku bilang. Itu terjadi sekitar 4 tahun lalu, menjelang kelulusan dan selama penggangguran. Bayangkan, merana dua kali: penggangguran dalam pekerjaan dan percintaan! Awalnya aku optimis, berusaha menjadi jomblo bahagia. Peduli setan sama yang pacaran. Tapi lama-lama usaha itu berubah menjadi pura-pura. Bohong kalau aku diam-diam tidak meringis melihat kedua adikku terus gonti-ganti pacar. Lama-lama semuanya terkondensasi menjadi sebentuk senyum masam tiap kali membuka pintu untuk pacar (-pacar) mereka. Apa iya aku memang terlahir untuk jadi doorman untuk para pacar kedua adikku?
Yah, itulah jaman-jaman kegelapan. Jaman sebelum aku wara-wiri di periklanan sebuah majalah. Dan yang paling penting jaman sebelum ada... Ganesha.

Hmmm... bagaimana aku mendeskripsikan Ganesh, ya? Mungkin kamu juga tidak akan menoleh dua kali jika berpapasan dengannya. Ganesh bukan laki-laki yang mudah diingat di satu kali jumpa. Bukan yang langsung memberi kesan istimewa ketika pertama kenal. Berapa banyak laki-laki di Jakarta yang berkulit sawo matang, tinggi sedang, berkacamata, dan punya perawakan cenderung kurus? Buat yang hanya punya 3 nama untuk laki-laki dengan ciri-ciri seperti itu, ha, kamu pasti berbohong! Kemeja dan jeans yang sering dipakainya juga tidak akan banyak membantumu untuk mengingatnya. Tapi bagiku, dia itu laki-laki luar biasa. Sungguh luar biasa. Aku rasa kamu pun akan berkata hal yang sama setelah mengenalnya. Karena dia punya kemampuan tersembunyi untuk membuat orang lain merasa nyaman berada di dekatnya.
Nah, sesungguhnya, waktu SMP dulu Ganesh punya kesempatan untuk menggandeng perempuan lain yang lebih cantik, lebih pintar, lebih makmur, lebih lebih lebih, lebih semuanya.... setelah putus denganku. Apa alasannya waktu itu, ya? Ah, dia bilang mau konsentrasi EBTANAS. Alasan klise jaman ABG lah, pokoknya! Hahaha. Waktu itu aku percaya saja, walaupun hati ini sedih bukan main. Eeeh, sepuluh tahun kemudian, dia malah nekat kembali pacaran denganku. Tidak kapok juga, katanya Edwina suatu kali.
Itu semua gara-gara reuni SMP di Kemang tiga tahun silam yang kemudian berujung pada pengakuan noraknya tepat sebelum film “The Last Samurai” dimulai di bioskop, kisah kami dibuka kembali. Kalau dipikir-pikir, mungkin efek lampu padam dari bioskop itu yang dia cari. Ganesha adalah salah satu cowok pemalu yang pernah aku kenal. Itu kesan awalnya! Makin ke sini, makin terbuka kamuflasenya. Apalagi kalau sudah kumpul-kumpul bareng teman-temannya. Ganesh seperti disulap, jadi orang yang sama sekali berbeda dari yang selama ini kamu kenal. Jadi ngerti, kan, kenapa aku bilang gelapnya bioskop itu yang dia cari?
Ya ya, mungkin kalian akan berpikir aku benar-benar menyedihkan, menjadikan kehadiran seorang laki-laki sebagai tonggak hidupnya kehidupan. Tapi siapa, sih, yang kira-kira tertarik untuk pacaran dengan perempuan superbiasa seperti aku? Aku mungkin benar-benar akan menjadi manusia paling menyedihkan, berenang-renang dalam rasa iri dan frustasi yang menjadi-jadi setelah berkali-kali mengalami nasib buruk.
Oh iya, satu lagi alasan kenapa dia menjadi titik terang dalam hidupku. Salah satu yang paling penting sebenarnya: beberapa hari yang lalu, dia melamarku.
Yup, aku!
Si perempuan biasa!
Dilamar!
Dan inilah alasannya mengapa aku ingin mengisahkan ceritaku pada kalian. Karena menurutku ruas perjalanan hidupku sejak lamaran itu menjadi penuh kehidupan yang penuh dengan pelajaran. Malah nyaris membuatku menjadi seorang perempuan diluar superbiasa. Hahaha. Semoga kalian menikmati kisahku ini, apalagi kalau sampai bisa mendapat ‘pencerahan’.

Oh iya, ngomong-ngomong namaku Putri. Teman-temanku biasa memanggilku Pucil. Lagi-lagi bukan nama spektakuler yang mudah diingat. But that’s me! Mudah-mudahan setelah aku selesai bercerita, kalian akan lebih bisa mengingatku.
Salam kenal, ya!

Chapter 1


Ririn

Wah! Capek! Barusan habis ketemuan sama anak-anak. Sebenarnya, aku agak heran, ada apa ini tiba-tiba ‘diultimatum’ harus datang ke KeKun... lagi! Padahal baru juga ngobrol sama mereka 4 hari yang lalu di sana. Kerajinan banget. Pasti ada apa-apanya, nih! Daaaan... benar! Begitu pantat menyentuh kursi, Pucil dengan semangat langsung memamerkan cincin barunya di jari manis. Kita semua langsung heboh, sementara yang punya cincin hanya tersenyum malu. Belum habis kita bertanya-tanya, Pucil membeberkan rahasianya kalau dia merencanakan untuk nikah di Bali. Hah! Jauh amat! Kita bertiga sama-sama melotot, tidak percaya. Habisnya dari pengalaman nikahannya Edwina tahun lalu, kita semua tahu banget betapa repotnya mengurus pernikahan. Itu saja masih hitungan di dalam kota sendiri. Apalagi harus mengadakannya di luar kota… sejauh Bali! Tapi Pucil benar-benar serius dengan rencananya, walaupun Edwina sudah ribut mengingatkan kendalanya.
Melihat wajahnya Pucil yang begitu bahagia, aku jadi ikutan happy. Apa iya ini efek cinta sejati? Tidak pernah-pernahnya aku melihat Pucil berseri-seri kayak tadi. Padahal kalau dipikir, hari ini rambut anak satu itu lebih berantakan sekali. Lebih dari biasanya, lho. Habis naik ojek kali, ya? Hihihi. Tapi sungguh, deh, dia kelihatan lebih cantik hari ini.
Satu-satunya momen yang bikin Pucil kelihatan suram adalah waktu Edwina terbahak-bahak sambil nakut-nakutin tidak enaknya kehidupan perkawinan. Dasar medusa, bisa-bisanya bikin lawakan yang tidak lucu di saat seperti itu. Untungnya Pucil selalu bisa cheer up dengan cepat. Kalau aku yang digituin, mungkin sudah merucut ini mulut sambil menggerutu tanpa habis!
Anyway, betulan, nih! Pucil akan menikah! Berarti akan jadi 2 orang yang sudah menikah di antara kami berempat.

..
.
Sebel.
Semua orang sepertinya berjalan jauh di depanku. Bon-bon sering bikin iri dengan Billy-nya. Edwina malah sudah punya buntut satu. Selama ini aku cukup anteng karena ada Pucil. Soalnya hanya Pucil satu-satunya yang berstatus punya pacar tapi sama sekali tidak kelihatan pacaran. Heran juga, sih, sebenarnya. Kok, bisa-bisanya Ganesh cuek seperti itu, ya? Dan, bisa-bisanya mereka langgeng sampai bertahun-tahun!
Sedangkan aku? Ah. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan kalau sudah menyangkut soal cinta-cintaan. Mungkin kalau bisa dirangkum, bunyinya akan seperti ini:


Tiga Tahun Lalu…
“Halo, selamat siang.”, sapa cowok di ujung telpon yang membangunkanku pagi itu.
“Iya, selamat pagi.”. Penuh penekanan pada kata ‘pagi’, tentunya.
“Ibu ada?”
“Lagi belanja, Mas. Ini dari siapa?”, jawabku sambil menahan kantuk.
“Adik anaknya, ya?”
“Iya. Ada apa, ya, Mas?”, aku mulai mengendus tanda-tanda sales person hendak beraksi di sini.
“Ya udah, ngomongnya sama adik saja, enggak apa-apa. Saya dari PT. ABCXY mengabarkan kalau adik memenangkan voucher tiga ratus ribu untuk pembelian produk kami.”, kata suara di ujung sana dengan riang.
“PT. ABCXY?”
“Iya, dik. Perusahaan kami adalah produsen terkemuka untuk produk anak-anak. Makanan, pakaian, sampai mainan.”
He? Terkemuka?
“Nah, nanti adik bisa ambil voucher tersebut di kantor kami di Jalan Pramuka. Ajak ibu juga enggak apa-apa.”, katanya lagi tanpa mengurangi kadar keriangannya.
Aku menguap malas tanpa bisa dicegah kali ini. Lagu lama, nih, sales gaya gini. Aku tahu banget begitu sampai di sana, kita akan dijejali dengan berbagai promosi penjualan selama 3 jam dulu sebelum diberi voucher yang banyak aturan pemakaiannya. Tidak berguna, tentu saja!
“Mas, maaf, kita enggak tertarik. Vouchernya buat Mas aja lah.”, jawabku asal. Tapi rupanya si mas-mas ini belum menyerah.
“Adik sudah menikah belum?”, tanyanya yang langsung membuat kantukku hilang. Hah! Pertanyaan terlarang! Terutama di pagi-pagi seperti ini.
“Belum. Kenapa?”, jawabku galak.
“Ah, tapi nanti kan adik pasti menikah dan punya anak, tho? Jadi voucher ini pasti berguna sekali.”, katanya, ceria jaya. Aku melotot. Gileee… ini sales man atau bonek? Kok, nekatnya sama!
“Enggak, Mas. Saya enggak mau nikah. Jadi udah, ya?”, jawabku ketus sambil bersiap-siap hendak menaruh ganggang telpon.
“Eeeh, tunggu, Mbak…”
Nah, sekarang dia ganti ‘Dik’-nya dengan ‘Mbak’. Teknik apaan pula, nih?
“Iya saya ngerti, deh. Jaman sekarang, kan, orang enggak perlu nikah untuk punya anak. Kalau pacar punya, kan?”, tanyanya lagi tanpa menyerah. Dalam pikiranku terbayang-bayang sebuah image mas-mas kumis tipis dengan telpon di kupingnya, sedang nyengir dan alisnya naik turun. Jijaaay!
“Enggak!!!”
Telpon aku banting dengan geram. Aku langsung tahu kalau sales man tersebut telah berhasil membuat hari ini akan terasa seperti neraka.


Dua Tahun Lalu…
Kawinan Rita, sepupuku. Sesuatu yang aku hindari semenjak kabar itu mampir di kupingku, akhirnya tiba. Tentu saja aku tidak berkutik ketika Mama dan Papa menyeretku untuk ikut datang. Setelah masuk ke dalam gedung, aku langsung melipir sambil menyambar sepiring kambing guling, lalu makan diam-diam di pojokan. Mataku menyapu seluruh tamu dari ujung ke ujung. Aku tahu gerombolan mana yang harus dihindari: gerombolan bude dan tante! Mereka adalah yang paling parah di dalam kawinan keluarga. Paling tidak bagiku.
Dan tepat ketika aku tengah scanning dari jauh, seseorang menepuk pundakku dengan pelan. Bude Am, yang paling parah dari semua bude dalam keluarga.
“Eeeh, Ririn, kapan datang?”, tanyanya sumringah sambil mencium pipiku.
“Baru, kok, Bude.”
“Sama siapa Rin?”, Bude Am celingak-celinguk kiri kanan.
“Papa Mama. Enggak tahu dimana mereka sekarang. Lagi ngantri salaman barangkali”
“Enggak sama pacar?”, tanyanya dengan genit.
Nah, mulai.
“Enggak, Bude.” Aku meringis diplomatis.
“Ah, masa cah ayu seperti ini enggak punya pacar, sih?”, goda beliau sambil tersenyum manis sekali. Bersamaan dengan itu sebuah bom resmi sudah dijatuhkan di atas bumi seorang Ririn.

Inilah sebabnya mengapa aku benci kawinan. Cuma di acara seperti ini orang dihalalkan untuk melontarkan pujian sekaligus hinaan selangit dalam sebuah kalimat pendek.
Dan aku…
… aku adalah sasaran empuk.


Edwina
Yah, balik lagi, deh ke rumah. Baru juga buka pintu pagar, tangisan Andien sudah terdengar dari dalam. Mas Arief melihat gue dengan tatapan ‘naaah, dateng juga, lo!’. Agak merasa bersalah juga, sih, soalnya baru beberapa hari yang lalu gue keluar dengan tiga sahabat gue. Sekarang gue pulang malam lagi. Hari ini seharusnya adalah jatah Mas Arief nonton bola di TV dengan santai. Hanya saja pertemuan tadi sore cukup penting, si Pucil mau kawin. Mana bisa gue lewatkan?
Gue buru-buru ganti baju, lalu mengambil alih Andien yang langsung tertidur setelah gue gendong. Setelahnya, baru gue cerita ke Mas Arief tentang lamaran Pucil. Untuuung, enggak jadi marah dia, malah ikutan bergosip dengan gue. Habisnya siapa yang nyangka, sih, Ganesh yang cuek seperti itu ternyata menyimpan rencana besar selama ini? Seperti prajurit yang gerilya dan menyergap tiba-tiba saja.
“Kapan acaranya, Win?”, tanya Mas Arief. Gue menggeleng, “Baru mulai direncanain, Mas. Masih belum tahu persisnya kapan. Mungkin bulan Agustus nanti.”
Andien mulai merengek-rengek lagi. Marah dia kalau gendongannya enggak gue ayun-ayun. Hihihi. Anak gue ini ternyata memang lagi mau manja sama mamanya.
“Kalau jadi diadain di Bali, kita bisa dateng, kan, ya, Mas?”, tanya gue sambil pura-pura sibuk menenangkan Andien.
Tahu banget, deh, gue. Mas Arief ini paling malas datang ke kawinannya orang, terutama teman-teman gue. Mungkin dia malas ‘berdandannya’, mungkin juga malas basa-basinya. Tapi ini kan krusiaaal. Ini kawinannya Pucil! Masa gue ngalah lagi?
“Yaaa, kita lihat saja. Mudah-mudahan bisa. Belum tentu juga di Bali, kan?” Yak! Jawaban diplomatis ala Mas Arief.
Tenang, Edwina, masih ada waktu menghasut suamimu.
“Ya sudah, aku nyusui Andien dulu, deh, Mas. Kacian anak mama laper, ya?”
Uh gemeeez banget sama si pipi gembil!
“Iya, dia laper kayanya tuh. Kamunya, sih, lupa waktu. Kalau aku bisa nyusuin, udah dari tadi, deh”, kata Mas Arief asal sambil memijit-mijit remote TV.
Hihihi. Bukan salah gue, kok, Mas. Salahin Pucil yang tiba-tiba ngasih berita besar, enggak ada angin enggak ada hujan. Sejujurnya gue selalu berpikir bahwa Bon-bon duluan yang akan melangkah ke pelaminan. Tapi ternyata prediksi gue meleset.
Gue jadi teringat reaksi anak-anak tadi. Ririn melebarkan matanya, enggak percaya. Bon-bon teriak-teriak kegirangan. Gue sendiri cuma senyam-senyum. Oh iya, gue juga ngasih beberapa tips tentang pernikahan supaya Pucil tahu apa yang harus dihadapi nanti. Eh, gue malah dikasih pelototan sama Bon-bon dan Ririn. Memangnya salah gue apa? Sebagai salah satu teman baik Pucil, gue merasa harus memberikan rambu-rambu pernikahan ke dia, dong! Terutama rambu-rambu bahayanya. Misalnya, siap-siap berkenalan lagi dengan suami. Tinggal satu atap selama 24 jam tiap hari enggak mungkin asyik-asyikannya saja, kan? Beresin berantakannya dia, tambahan tumpukan baju untuk disetrika, belum lagi kalau Ganesha suka menggeletakkan sepatu di dalam rumah, seperti yang sering dilakukan Mas Arief. Awal-awal mungkin kita bisa bersabar, tapi lama-lama pasti ada saat jengkelnya keluar juga.
Jangan salah, ya. Gue bicara seperti ini bukan bermaksud mengatakan Mas Arief adalah suami yang payah. Hohoho, si ganteng itu adalah superman gue. Tapi gue saja yang sudah pacaran 7 tahun masih tetap harus adaptasi lagi ketika sudah menikah. Jadi jelas kalau usia pacaran bukan jaminan kelanggengan perkawinan. Get the point?
“Wiiin!”
Eh, kenapa lagi, nih, Mas Arief manggil?
“Kamu sudah makan belum?”, tanya suami gue sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu kamar. Gue menggeleng. Satu porsi tuna salad yang dikeroyok berempat jelas bukan makan malam yang memadai. Sehat memang, tapi amat sangat tidak memadai. Apalagi si Bon-bon cukup sadis kalau sudah meraup bagiannya.
“Pas kalau gitu.”, Mas Arief tersenyum lebar, “Aku tadi bikinin kamu nasi goreng kornet. Kalau Andien sudah selesai mimiknya, kamu makan dulu, deh, ya?”
Hah? Horeee!
Duh enggak rugi, deh, nikah sama laki-laki yang hobi masak!


Bon-bon
Selepas ketemuan dengan tiga kurcaci tadi sore, aku melanglang buana ke Plaza Senayan. Iyaaa, sendirian lagi. Payah, tuh, anak-anak susah banget diajakin jalan. Padahal lagi musim sale sekarang, paling cocok untuk hunting barang bagus harga miring. Memang waktunya saja barangkali yang enggak pas. Edwina harus pulang ke suaminya, Pucil dijemput Ganesh, katanya mau lanjut makan malam sambil membicarakan rencana nikahan. Sementara Ririn, Ririn yang kelihatan agak mellow tadi, punya kombinasi maut antara capek dan bokek. Hihihi. Can’t blame her for not coming, then.
Sebenarnya aku bisa saja minta temenin Billy. Tapi pasti nanti malah belanja buat kepentingan dia sendiri dan waktuku habis buat bantuin dia nyari sepatu, nyari kemeja, atau sekedar lihat-lihat dasi. Jadi lebih baik aku jalan sendirian, cuma singgah sebentar saja, kok, sekalian menunggu macet reda.
By the way, pembicaraan di KeKun tadi sore seru juga. Sudah aku duga, pasti Pucil mau ngasih pengumuman. Beberapa hari belakangan ini anak itu kelihatan happy banget. Pantas saja, a down-on-knee proposal from Ganesh! Woooo! Just like in movies! Bikin sirik saja dia. Apalagi pakai mau diadain di Bali segala. Nikahan impian banget!
Pembicaraan terus berkembang kemana-mana. Soal rencana kasar yang ada di kepala Pucil, soal liburan, soal cuti, soal dress code. Edwina, sebagai ibu-ibu satu-satunya di kelompok kecil kami, langsung giat memberikan tips. Herannya kenapa tipsnya enggak ada yang ceria, ya? Kesannya sulit banget jadi istri pacar sendiri. Hmmh, kalau sudah begini, kelihatan banget ibu-ibunya dia. Padahal bocah rese itu enggak pernah rela dipanggil ibu-ibu sama kita semua. Hahaha.
Salah satu yang enggak pernah aku duga adalah: Pucil diam-diam sudah membayangkan pernikahannya sejak lama. Memang dia enggak pernah blak-blakan bikin pengakuan seperti itu. Tapi dari caranya dia menuturkan semua itu, lho! Mulai dari tempatnya seperti apa, suasananya, dekorasi, bahkan ke makanannya sudah ada dalam bayangan dia. Mungkin aku enggak akan setakjub ini jika itu semua datang dari Ririn. Anak itu kan selalu meleleh kalau sudah bicara masalah cinta, pernikahan, relationship, yadda yadda, blab la bla. Sooo easy to predict. Seperti buku, dia mudah dibaca. Tadi saja, walaupun dia berusaha ceria, aku bisa melihat ada sindrom mellow di wajahnya. Menurutku Ririn hanya kurang percaya diri di depan cowok. Padahal kalau dia mau genjot PD-nya sedikit, aku yakin malah cowok-cowok itu yang hilang PD di depannya.
Balik ke Pucil, aku enggak heran satu-satunya hal yang luput dari perencanaan dia adalah... tentang dirinya sendiri! Hihihi. Mau pakai baju apa, warna apa, modelnya gimana, sama sekali enggak disebut. Waktu ditanya, mukanya juga blank begitu. I guess something will never change, huh? Terlalu banyak memikirkan orang lain, malah dirinya sendiri kelupaan. Contoh gampangnya adalah tentang rambutnya. Uuuh, gemes ingin masukin dia ke salon supaya rapi-an sedikit!
Ah, perut kok tiba-tiba menjerit-jerit begini? Aneh, tiba-tiba jadi lapar. Hmmm... telpon Billy saja, deh. Dia lagi ada dimana, ya? Enggak enak kalau makan sendirian.

Chapter 2


Pucil
: Wow, jadi lo akan nikah tahun ini? Selamat, ya! Masih pingin di Bali, nih?

: Iya Tos, lo bisa datang, kan, ya?

: Kapan, Cil?

: Maunya Agustus, tapi pastinya kapan belum tau. Soalnya gue belum lihat-lihat tempat, nih.

: Jadi di pinggir pantai?

: Hahaha. Iya. Kok, masih inget, lo?

: Enggak pernah lupa. Gue amazed waktu lo cerita. Waktu itu gue pikir elo sudah diajak kawin sama Ganesh. Dasar gila, ternyata belum tapi semuanya sudah lo pikirin, ya?

Pucil.: Hehehe, pertanda kali, ya, Tos? Hei, gimana? Janji datang, ya? Sekalian kita ketemu. Lo susah banget diajak terbang ke Jakarta. Betah banget nguplek di Bali. Ajak cowok lo juga, pasti seru.”

: Hehehe. Cowok gue? Anyway, gue usahain pasti Cil.

: Oh, Ganesh sudah datang, nih, sambung lain kali, ya?

: Siap. Take care, Cil!


Ganesha duduk di sebelahku. Kemejanya agak basah.
“Di luar hujan, Gan?”
“He-eh. Lupa bawa payung dari mobil. Nasib, deh.”
“Pikun! Padahal sengaja dibeliin payung, tapi tidak pernah dipakai. Payah.” Ganesha cengengsan.
“Mau langsung makan atau pulang saja? Kasihan kamu basah begitu.”
“Ah enggak usah dipikir Cil. Nanti juga kering. Langsung aja, yuk?”
Aku mengangguk dan beranjak menuju kasir.

Oh iya, ngomong-ngomong, kafe internet ini adalah tempat favorit untuk rendezvous-an dengan Ganesh. Hmmm... lebih tepatnya tempat favoritku menunggu Ganesh datang menjemput. Tidak pernah bisa ditebak lalu lintas kerja pacarku ini. Kadang baru semenit duduk, dia sudah muncul. Kadang harus sejam-dua jam menunggu dulu, baru dia sampai. Karenanya menjadi favorit, sebab menunggu 2 jam tidak akan terasa jika aku disuguhi internet fast speed begini.
Agenda dengan Ganesh hari ini adalah makan bersama. Bukan mewah-mewahan apalagi sok romantis, tapi karena ingin membicarakan strategi 7 bulan ke depan. Tidak mungkin kita ngomongin di rumah aku atau Ganesh. Rumah Ganesh jauuuh, sementara rumahku yang lebih dekat dengan pusat kota, justru selalu penuh dengan orang. Belum lagi Ai’ yang pastiii pacaran di ruang tamu. Bukan hal baru, semua temanku juga tahu. Menggusurnya dari ruang tamu sering mengakibatkan perang satu hari. Minimal dikasih aksi cemberut seharian sama dia. Mana bisa tenang dengan suasana seperti itu?
Jadilah hari ini kami berdua kembali mengapeli foodcourt Plaza Senayan. Orang lain mungkin melihat target 7 bulan masih jauh, dan agak aneh kalau kita berdua sudah sibuk merancang dari sekarang. Tapi menurut Edwina, detik jam terasa bergerak lebih cepat ketika kita sudah dalam time table menuju hari besar. Aku percaya kata-katanya. Edwina yang cekatan begitu saja sempat mengalami masa-masa frustasi waktu menyiapkan nikahannya. Beberapa kali dia menelponku sambil menangis karena merasa tidak berdaya bersaing dengan waktu. Padahal waktu itu dia punya waktu sekitar satu tahunan. Hmmm, mudah-mudahan waktunya cukup buat acaraku.
Ah, semangat! Ayo Pucil, semangat!
Sejak dulu, tidak ingat kapan tepatnya, aku sudah rajin berandai-andai tentang pernikahanku. Lalu teman-temanku satu persatu menikah, termasuk Edwina. Dan waw, betapa indahnya perkawinan mereka. Gemerlap banget, tamunya juga banyak. Tidak akan bisa aku lupa betapa cantiknya Edwina dengan baju adat Padangnya. Sejak saat yang tidak jelas kapan itu, mulai tumbuh keinginanku untuk menciptakan hal yang serupa. Tidak saja indah, tapi juga harus berbeda. Harus! Biarlah semua orang bilang aku sering tampil serabutan, mereka tidak akan ingat itu di hari pernikahan kami nanti.

Makanan sudah di tangan, Ganesh yang dari tadi mengeluh kelaparan, langsung menikam makanannya, dengan pisau-garpu ia menggulung-gulung spaghettinya tanpa ampun.
“Gan, boleh nanya, enggak?”, tanyaku.
“Itu sudah satu pertanyaan.”, katanya sambil nyengir bandel.
“Kamu... hmmm... suka enggak dengan ide kita dipajang di tengah panggung, terus orang-orang ngantri buat salaman?”
“Dipajang?”
“Iyaaah. Itu lho, ditaruh di tengah panggung, kayak kawinan orang-orang gituuu...”
Ganesha tertawa.
“Sebenarnya ide untuk bikin resepsi saja sudah ganggu aku, lho, Cil.”
Giliran aku yang bingung. Yah, jangan-jangan Ganesha malah tidak ingin ada resepsi, nih!
“Gini,...”, Ganesha meletakkan garpu dan pisaunya. “... buatku sebenarnya akad saja cukup. Kalaupun ada resepsinya, enggak usah yang besar-besar lah.”
“Irit?”, candaku. Dia tertawa.
“Ya, iya. Itu alasan lainnya. Alasan utamanya: repot!”
Inilah Ganesha, si manusia yang tidak pernah mau repot tapi kalau kerja bisa sampai lupa waktu. Gemes, deh, aku.
“Iya, berarti kamu memang kurang sreg dengan ide kita dipajang di atas panggung gitu, kan??”, desakku. Ganesha mengangguk sambil mulai lagi menggulung spaghettinya.
“Memang. Tapi orangtua kita pasti maunya begitu, kan? Memangnya kita punya pilihan lain, Cil?”, mata Ganesh tidak lepas dari makanannya. Aku terdiam sambil tersenyum lebar. Ganesha menatapku heran. Haha. Kali ini aku berhasil mencuri perhatiannya.


Ganesha
Perempuan yang ada di depan gua ini memang unik. Dia enggak pernah rewel apalagi manja. Mungkin ini juga yang membuat gua cocok sama dia. Perempuan lain mungkin di titik ini sudah capek mengkritik gua, Pucil malah lebih santai dari gua. Badannya boleh kecil, tapi kemauannya banyak. Dan kalau dia sudah ada mau, enggak ada yang bisa mencegah usahanya. Contohnya sekarang ini. Gua jadi penasaran, apa pula yang ada di pikirannya sekarang? Sesuatu yang beda pastinya!
Sudah berapa banyak gua menghadiri nikahan teman-teman, semuanya selalu berlalu dengan ritme sama: pengantin datang, pengantin duduk, penonton salaman, penonton makan, penonton bubar, pengantin bubar. Lalu kalau beruntung gua akan kena ciprat foto-foto dengan pasangan baru yang berbahagia. Terakhir gua hadir di kawinan Derry seperti itu juga. Gua masih ingat betul sebelum hajatannya dia mengeluh terus tentang susahnya menampik tuntutan orangtua. Ya, berakhirlah perkawinannya dengan ritme yang gua sebut barusan. Padahal gua tahu banget, Derry pasti ingin yang beda. Sebelum bisa mengolkan keinginannya, sudah KO duluan dia di garis depan.
Nah, sepertinya Pucil punya ide lain untuk kawinan kami. Hal yang menarik, sih, mestinya. Tapi permasalahnya: realistis enggak, nih? Karena gua enggak suka melihat perempuan yang satu ini kecewa. Enggak pernah suka.
“Kamu mikir apa, sih?”, gua tersenyum geli. Ekspresi seperti itu membuat gua enggak pernah bosen melihat wajahnya. So excited!
“Pilihan selalu ada Gan. Apalagi aku sebenarnya enggak pernah suka dengan cara resepsi seperti itu.”, jawabnya.
Gua tertawa lagi.
“Gimana? Gimana? Cerita, dong, kamu maunya gimana?”
Saatnya mendengarkan, Ganesh.
“Bayangin pantai, Gan, ter...”
“Pantai?”, kalimatnya langsung gua serobot. Ha! Pantai mana di Jakarta yang bisa jadi spot acara nikahan?? Ancol? Hmh! Jangan harap, deh. Kalau memang itu, terpaksa gua enggak setuju.
“Tunggu dulu! Jangan dipotong dulu!” Weits, dia sewot.
Okey Ganesh, lu diam dan dengar dulu saja. Protes belakangan.
Tapi ternyata, ide Pucil sama sekali enggak perlu diprotes. Gua enggak pernah memikirkan resepsi seperti apa yang gua inginkan. Sama sekali enggak pernah, karena buat gua semuanya sama saja. Yang penting , kan, akadnya. Tapi yang barusan Pucil bilang seru juga sepertinya.
Acaranya outdoor di pantai, matahari tengah turun, nuansa putih biru, banyak bunga-bunga, meja-meja besar untuk semuanya duduk dan bersantap, lalu yang pasti tidak ada ‘panggung’ buat pengantin. Dan itu berarti kami berdua dengan bebas bisa mengobrol dengan para tamu. Hmmm... bebas mengobrol? Gua suka itu! Tapi tetap, masalahnya adalah...
“...pantai mana Cil? Jakarta? Ngarang aja kamu.”, tepis gua blak-blakan. Nah, dia tersenyum lebar lagi.
“Siapa bilang di Jakarta? Indonesia kan luas, pantainya cantik-cantik. Aku kepikiran Anyer, atau malah Bali.”,
Anyer? Hmmm... Bali? Wah, menarik! Ternyata anak kecil satu ini sudah memikirkan skenario besarnya. Bagus, meringankan tugas gua, nih. Hahaha! Pucil masih menatap gua penuh harap. Menunggu jawaban.
“Keren, Cil. Boleh juga idenya.”. Pucil melebarkan kedua matanya, kegirangan.
“Tapiii...”, gua buru-buru menambahkan.
“Tapi?”
“... gimana dengan orangtua? Nggg... orangtuamu, sih, tepatnya.”
Gua langsung menjelaskan maksud kata-kata gua sebelum protesnya meluncur.
“Ayah dan Ibu rasanya, sih, enggak akan keberatan dengan ide kamu itu. Lagi pula mereka jauh, enggak akan bisa apa-apa kalaupun mau protes. Hehehe. Nah, kalau Mama Papamu, hmmm...”, gua berhenti sejenak, mencoba memilih kata-kata yang pas supaya Pucil enggak cemberut.
“ ...Mama Papamu mungkin akan berkata lain.”
“Resepsi di atas panggung?”, tanyanya.
Gua mengangguk.
Yap.
Pasti lah.
Pucil anak perempuan pertama di keluarganya. Dan dari pengalaman gua yang punya kakak perempuan, tuntutannya pasti besar. Kawinan kakak gua juga enggak luput dari request-request yang enggak bisa ditolak. Kawinannya Dion juga masih gitu. Padahal waktu itu Ayah masih dinas dan mereka masih tinggal di Singapura. Sebagai karyawan KBRI yang sudah lama tinggal di luar negeri, ternyata nilai-nilai tradisional Ayah dan Ibu enggak pernah luntur. Pokoknya ada saja syarat yang harus dipenuhi. Sekarang, sih, setelah pensiun dan memutuskan untuk menetap di Amerika, orangtua gua sudah jauh lebih santai. Mungkin juga karena tuntutannya habis di Mbak Amy dan Dion. Jadi gua yakin mereka enggak serewel dulu. Tapi bagaimana dengan orangtua Pucil?
“Kalau begitu, itu tugas kita buat mencari jalan, kan, Gan? Cari cara buat meyakinkan mereka?”, kata Pucil sambil mengedipkan sebelah matanya. Hahaha! Pantang mundur! Kadang gua enggak habis pikir anak ini belajar gigih dari siapa.
“Dan ngomong-ngomong soal tugas, kamu sudah punya tugas pertama yang harus dituntaskan, loh.”
Ha? Kok, jadi gua yang punya tugas pertama?
“Yaitu?”, tanya gua bingung.
“Yaitu bicara ke Mama Papa soal kamu mau nikahi aku.”, dan Pucil tersenyum bandel.
Aduh! Soal itu!
Kenapa tiba-tiba spaghetti di mulut terasa pahit, ya?

Chapter 3



Ganesha
Akhirnya hari ini datang juga. Rasanya lebih berat dari menghadapi ujian skripsi. Weekend kemarin gua masih bisa mengelak dengan pura-pura sibuk. Padahal alasan sesungguhnya adalah gua merasa belum siap kalau harus menghadapi orangtua Pucil. Tapi akhir minggu ini gua enggak bisa berkelit lagi. Aduh, gila, mata sepet banget rasanya, tapi jantung gua enggak bisa tenang. Sudah hampir seminggu, nih, tidur gua enggak nyenyak gara-gara memikirkan kata-kata ampuh yang harus gua pakai hari ini!

Om, tante, saya ingin menikahi Pucil.
Terlalu langsung.

Om, tante, saya dan Pucil memutuskan untuk menikah.
Ah, kok, masih belum pas.

Begini, lho, Om, Tante, saya dan Pucil punya rencana untuk menikah tahun ini..
Aaah, kepanjangan. Keburu tersekat duluan di tembolok.

Izinkan saya untuk menikahi Pucil, Om, Tante.
Halah, dangdut banget.

Ganesha toloool! Otak lo, kok, jadi tumpul begini, sih!! Padahal waktu melamar Pucil semuanya lancar. Enggak pakai acara insomnia segala, semuanya mengalir. Sempat-sempatnya pakai berlutut segala pula, malu gua kalau ingat lagi. Padahal kalau dipikir lagi itu lebih dangdut dari semua kalimat di atas, ya? Uh, kacau! Kacaaau!
Gua jadi kepikiran Derry. Orang itu, kan, pacarannya enggak sampai setahun. Baru juga ketemu babenya Yani beberapa kali. Gua sudah berkali-kali nenamu di rumah Pucil. Saban mengantar pulang, gua selalu masuk ke rumah, pamit pulang. Menurut teori, seharusnya gua lebih mantep, dong! Tapi kenapa gua sekarang enggak berhenti berkeringat, sih? Kenapa leher gua jadi kaku begini pula?
Ayo Ganesh. Berani! Berani! Ini baru permulaan!
Aaah, percuma saja gua mencoba mengobarkan nyali. Begitu sampai di rumah Pucil, jantung ini rasanya menciut. Sungguh hari yang salah untuk melamar cewek gua, karena semuanya hadir di rumah. Bahkan Ai’ yang biasanya kelayapan sama teman-temannya hari ini muncul juga, anteng duduk di depan komputer. Hanya itu, sih, yang berbeda. Sisanya sama, enggak ada sikap yang berlebihan. Mirip kalau gua main ke rumah Pucil seperti biasa. Ah, bagus, agak tenang jantung gua jadinya.
Eh, tapi tunggu dulu, gua barusan ngintip ke arah meja makan. Dan apa yang gua lihat? Lauk pauk lengkap tersusun rapi di tengah meja bundar. Kok, Si Tante masak lengkap banget hari ini? Yak, fakta tadi baru saja menggagalkan teori gua bahwa hari ini enggak istimewa. Setahu gua, Mamanya Pucil jarang banget masak besar begini. Hanya sekali-sekali saja, seperti di bulan puasa. Beliau sering menyiapkan makanan buka bersama untuk mesjid di dekat rumah. Gua enggak bisa lupa karena sekali waktu gua sok ikut membantu, malah jadi petaka besar karena ikan asinnya hangus semua.
“Gan? Yuk, makan dulu, deh!” Ajakan Mamanya Pucil membuyarkan pikiran gua.
Haduh Tante, andai saja Tante tahu apa yang sedang ada di dalam kepala guaaa!

Jadi, duduklah kami semua di meja itu: Mama dan Papanya Pucil, Ai’, Pucil, Reza, dan gua. Bukan pertama kalinya gua makan bersama di meja ini, tapi ini pertama kali gua makan bersama semua keluarga Pucil dengan menu lengkap: sop buntut, sayur labu, dan balado terong. Pakai kerupuk udang pula. Jadi ingat hajatan sunat tetangga minggu kemarin. Halah!
Bagus, bercanda terus lo, Gan, sebelum betulan jadi stupa di depan mereka!
Sepanjang acara makan, gua duduk dengan sangat enggak nyaman. Jantung gua terjengkang-jengkang setiap kali Papanya Pucil menoleh ke arah gua dan mengajak bicara.
“Gan?”
“Ya, Om?”
“Mobilmu sudah di-service? Katanya kemarin olinya sudah harus diganti?”
Atau…
“Oh iya, Gan?”
“I-iya, Om?”
“Kemarin kucing tetangga ada yang kelindes di depan, lho. Jadi nanti hati-hati kalau keluarin mobil, ya?”
Bushet.
Kucing tetangga pula jadi pembicaraan! Ai’ malah dengan cueknya bercerita tentang bazar di kampusnya minggu kemarin. Ah, mungkin gua berlebihan. Mungkin enggak seharusnya gua overdosis panik begini. Hey, mungkin hari ini gua enggak harus mengucapkan kalimat sakti itu ke orangtua Pucil? Hmmm…. Aaah, ngarang aja lo, Gan! Eh, tapi… tunggu dulu, sampai semuanya selesai makan, kok, enggak ada pertanda dimulainya topik ‘itu’, ya? Apa gua yang harus mulai, nih, jangan-jangan?
“Gan, bantuin aku ngambil buah di dapur, yuk. Sekalian ngangkat ini, nih, dari meja.”, kata Pucil sambil menumpuk piring-piring kotor. Gua menyambut ajakan itu dengan sukacita. Ini adalah kesempatan emas buat nanya Pucil skenario apa yang terjadi di sini.
“Cil, aku enggak harus nanya hari ini, kan?” Tanya gua di dapur dengan penuh harap. Kali-kali saja masih tersisa sedikit keajaiban di dunia ini. Eh, Pucil malah tertawa.
“Gini, lho, Gan, nanti…”
“Put, itu melonnya belum Mama potong. Kamu bawa saja dulu mangga dan anggurnya. Sini, itu mama potong dulu.”, tahu-tahu Mamanya Pucil muncul dan menyabotase pembicaraan crutial ini.
Aduuuh, Tanteee!
Pucil akhirnya langsung beranjak ke meja makan dengan sepiring besar buah-buahan di tangannya dan senyum terkulum di bibirnya. Pasrah. Gua pasrah!

Menunggu Mamanya Pucil selesai memotong melon adalah waktu yang paling lama sedunia. Bukan karena Mamanya Pucil enggak becus menggunakan pisau, tapi karena sepanjang Dion bercerita tentang Fear Factor yang ditontonnya kemarin, Pucil terus-terusan tersenyum misterius. Semacam memberikan pertanda ke gua bahwa sesuatu, sesuatu yang besar, akan terjadi sebentar lagi. Benar-benar detik-detik yang paling menyiksa.
Mamanya Pucil kemudian kembali ke meja makan, menyuguhkan melon potong di piring kedua. Semuanya menyerbu kedua piring tersebut. Sedangkan gua, gua yang biasanya tergila-gila dengan mangga, kali ini merasa perut ini terlalu melintir untuk disogok dengan buah itu.
“Nah, Ganesh, Om dengar kamu ada yang ingin disampaikan?”, tanya Papanya Pucil dengan tenang. Semua mata tertuju pada gua.
Yak! Inilah saat yang tepat untuk jadi stupa, Ganesh.
Baru saja gua mau buka mulut untuk menjawab, tiba-tiba,…
“Permisiii…”
Perhatian teralih ke arah pintu depan, dan… oh, tidak! Siapa lagi, tuh?


Pucil
Aduh, melihat Ganesha hari ini rasanya tidak tega sekaligus juga ingin tertawa geli. Susah sekali menahan diri untuk tidak menggodanya! Sejak pertama dia muncul di depan pintu, aku sudah bisa melihat dengan jelas bahwa cowok yang aku kenal cuek seumur hidupnya hari ini terserang grogi kronis. Bahkan Ai’ sempat-sempatnya berbisik padaku dengan geli.
“Tangannya dingin banget, Mbak, waktu tadi salaman!”, adikku itu cekikikan. Yang membuatku tidak bisa menahan senyum adalah melihat betapa keras usaha Ganesha untuk tampil kalem seperti biasa. Hihihi.
Mama hari ini khusus memasak lengkap, Papa juga wanti-wanti ke Ai’ dan Dion untuk tidak keluar rumah. Minimal sampai misi hari ini tuntas. Tumben Ai’ tidak protes. Belakangan dia buat pengakuan kalau ia sangat tertarik untuk melihat ‘pertunjukkan’ hari ini. Sekalian menyontek tips buat dirinya sendiri barangkali.
Satu kesempatan untuk menenangkan Ganesh datang ketika Mama meminta aku untuk mengambil piring buah di dapur. Makanya aku langsung kasih kode ke Ganesh untuk ikutan bantu di dapur. Tapi dasar apes, Mama tiba-tiba masuk ketika aku tengah berbicara dengannya. Ma’af, ya, Gan, hihihi. Terpaksa aku harus kembali ke meja makan.

Memang betul, hari ini bukan hari keberuntungan cowokku yang malang itu. Pas betul ketika Papa mulai bertanya tentang niatan Ganesh, Om Rio dan Tante Tata datang! Tentunya Mama dan Papa langsung menjamu mereka di meja. Dan di tengah-tengah keramaian di meja makan itu, Papa kembali ke pertanyaan yang sebelumnya terpotong. Ganesha yang sudah pucat benar-benar tidak bisa berkutik.
“Jadi gini, Om Rio, Tante Tata, Ganesha ada di sini, selain main juga ingin ada yang diutarakan sepertinya. Iya, kan, Putri?”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Mataku tidak lepas dari Ganesha yang tersenyum kaku.
“Gimana, Gan? Apa yang kamu ingin sampaikan ke Om dan Tante?”, tanya Papa lagi. Wah, bisa-bisaan, nih, Papa. Tenang banget ngomongnya, padahal aku tahu Papa sedang melakonkan pertunjukan juga. Andai saja Ganesha tahu.
Semua mata sekali lagi tertuju pada Ganesh. Sedetik, dua detik Ganesha terdiam, detik berikutnya dia menarik nafas panjang.
“Gini Om, Tante…”
Aku jadi ikutan panas dingin.
“Sudah cukup lama saya pacaran dengan Pucil. Dan selama ini kami merasa cocok satu sama lain.“
Semua terdiam, perhatian penuh masih tertuju ke Ganesh.
“Nah, maksud kedatangan saya di sini adalah untuk meminta izin sama Om dan Tante, untuk menikahi Pucil. Kalau diizinkan, saya pasti akan menjaga anak Om dan Tante dan berjanji membahagiakannya.”
Akhirnya! Keluar juga kalimat itu dari mulut Ganesha. Aku cukup takjub juga dengan ketenangannya. Sejujurnya, aku sudah punya gambaran kata-kata apa yang akan diucapkan oleh Ganesha hari ini. Tapi mendengarnya langsung, membuat aku tergugu juga.
Bagus, Gan, oh I’m so proud of you!


Ganesha
Akhirnya!
Keluar juga kalimat itu!
Detik-detik paling mendebarkan berangsur menghilang. Apalagi Reza langsung memecah suasana dengan tertawa terbahak-bahak. Ngetawain gua!
“Bwahahaha! Lo tegang banget, sih, Gan!”. Gua meringis, diam-diam mengutuk si bocah tengil itu.
Sial! Tunggu sampai giliran lo tiba, man!
Tapi melihat reaksi orangtuanya Pucil, plus Om dan Tantenya, hati gua langsung mak nyosss. Mereka tersenyum! Fiuh! Badai sudah berlalu, Ganesha.
“Enggak usah tegang begitu, dong, ah, Gan!”, kata Mamanya Pucil sambil tertawa. Yang lain ikutan tertawa juga, cuma gua yang salah tingkah. Man, cowok mana pun juga pasti akan grogi menghadapi momen seperti ini. Itu manusiawi, kan? Bagaimana kalau ternyata menurut mereka gua enggak memenuhi standard suami ideal Pucil? Sekali kata ‘tidak’ keluar dari mulut mereka, habis lah gua. Mati dengan tragis sebelum bisa bertempur!
“Om dan Tante senang sekali kalian memutuskan untuk menikah. Tentunya kita percaya kamu bisa memenuhi janji kamu, Gan.”, jawab Papanya Pucil.
Adem, adem! Matahari kembali bersinar cerah.
“Lagipula sejak pacaran sama kamu, Pucil tambah gemuk, nih, kayaknya, ya?”, Om Rio nyeletuk.
“Idih, Om, apa hubungannya?”, Pucil langsung protes sambil tersipu.
“Tandanya lo bahagia, tauk!”, dibalas cepat oleh Ai’.
Hahaha, Pucil langsung mati gaya. Eh, tapi memangnya sejak pacaran sama gua dia tambah gemuk, ya? Hmmm…
“Nah, sekarang langkah selanjutnya apa, nih, Put, Gan? Kalian sudah ada rencana apa?”
Ronde kedua dimulai.
Gua dan Pucil saling melirik, saling menunggu. Okey, sepertinya gua yang juga harus bicara.
“Kita sudah bicarakan berdua Om, paling tidak garis besarnya mau seperti apa. Kita sama-sama ingin diadakannya outdoor, mungkin… di pantai?” Semuanya terlihat terkejut.
Nah, kan. Tepat dugaan gua.
“Waaah, seru banget kawinan di pantai!”, Ai’ kegirangan, si bawel ini jelas setuju. Sayangnya Mamanya Pucil malah mulai menunjukan tanda-tanda khawatir.
“Kenapa harus di pantai, sih, Cil? Di sini kan susah nyarinya. Kenapa enggak di gedung aja kayak biasa?” Sambutan Mamanya Pucil seperti yang sudah gua tebak. Pucil terlihat was-was.
“Iya Tante, enggak mungkin kita mengadakannya di Jakarta. Karenanya kita berpikir untuk mengadakannya di luar kota. Seperti di Bali, barangkali”, jawabku.
“Bali! Wah, asyik banget Gan kalau ngadainnya di Bali!”, Reza kali ini ikutan excited. Dodol! Bukannya bantuin gua!
“Sebenarnya Papa tidak mau melarang kalian, nih, Put. Tapi jelas harus direncanakan baik-baik karena pasti akan dua kali lebih sulit. Belum lagi masalah biaya. Yakin kalian maunya di Bali?”, tanya Papanya Pucil. Pandangannya serius terarah ke cewek gua. Pucil mengangguk.
“Kalau persoalan biaya, saya sudah mempersiapkannya dari jauh hari sebenarnya, Om. Mungkin tidak besar, tapi ada lah.”
Pucil menatap gua, terkejut. Memang selama ini gua enggak pernah cerita kalau diam-diam gua menabung untuk keperluan itu. Malu gua kalau diledek dia. Nanti dituduh sebagai cowok sentimental lagi, kayak begitu saja disiapin.
“Lagipula, Om, Tante, ini buat kepentingan keluarga saya juga. Mbak Amy dan suaminya sudah menetap di Singapura. Sementara Ayah, Ibu, dan Dion sekeluarga ada di San Fransisco. Sebagian kerabat dekat saya tersebar di luar Indonesia, Om. Jadi saya pikir ini bisa jadi momen bagi mereka untuk terbang jauh untuk pernikahan kami sekaligus liburan besar.”, gue menambahkan. Ini kata-kata ampuh yang sudah gua pikirkan untuk menghadapi reaksi orangtua Pucil.
“Kita ingin nikahan nanti berbeda dengan yang lain, Pa. Apa enggak bosen dating ke nikahan di gedung melulu? Dan ide yang seperti Ganesha bilang tadi bukannya enggak mungkin, kan?”, tanya Pucil.
Wah, sepertinya berhasil, nih. Papanya Pucil mengangguk-angguk.
“Om Rio dan Tante Tata, sih, senang-senang saja, Put. Di gedung oke, di pantai juga oke. Tapi kalau kalian maunya di gedung Om bisa bantu dapat diskon. Jadi sebagian duitnya, kan, bisa kalian tabung.”, kata Om Rio sambil terkekeh.
“Susah, nih, anak jaman sekarang, maunya yang aneh-aneh.”, canda Mamanya Pucil.
“Kita enggak melarang, ya, Ma? Tapi ada baiknya kalau kita bicarakan dengan yang lain.”, kata Papanya Pucil.
Hah? Yang lain?
Gua terperajat. Apa enggak cukup banyak ‘yang lain’ sudah hadir hari ini?
“Minggu depan kita coba kumpul keluarga lagi. Undang Tante Rani, Tante Desi, dan Om Agus. Rio dan Tata bisa datang juga, kan, minggu depan?”, tanya Papanya Pucil.
“Oooh, bisa. Gampang, itu!”, jawab Tante Tata, tersenyum.
“Oh, iya, Putri, kamu perlu bicara sama Tante Desi, terutama untuk soal baju dan serah-serahan. Tante Desi pasti bisa bantu. Gimana?”
Gua tahu benar ucapan Papanya Pucil tadi bukan anjuran, tapi ultimatum. Gua melirik Pucil, mencari tahu reaksinya.
“Iya Pa. Sip. Kita tunda saja dulu sampai minggu depan. Tapi kalau memungkinkan, kita boleh ngadainnya di pantai, kan?”, tanya Pucil. Aku menahan nafas. Kalau sampai Papanya Pucil menarik garis tegas, bilang ‘tidak’, Pucil pasti putus asa dan kecewa berat.
“Yah, kita lihat nanti. Papa tidak melarang. Tapi lebih baik kalian mendengar pendapat yang lain, terutama Tante Desi, supaya tahu apa saja yang kalian harus hadapi ke depannya. Ya?”
Yak, dengan begitu sebuah pintu kemungkinan sudah terbuka. Babak satu dan dua terlewati dengan penuh perjuangan. Babak berikutnya pasti lebih berat. Tapi paling enggak akan ada waktu ekstra bagi gua dan Pucil untuk mengatur strategi!
Hmmm… menyongsong badai berikutnya!

Chapter 4



Edwina
Hari ini pileknya Andien tambah parah. Kasihan dia, gara-gara musim hujan, sampai kena flu begini. Dokter bilang, sih, bukan masalah serius, flu ringan saja. Tapi gue enggak tega meninggalkan Andien sendirian sama babysitter-nya. Makanya gue bolos ke kantor buat ngurus anak gue. Daripada gue paksain kerja tapi otak enggak bisa mikir, kan? Sekarang Andien lagi bobok, setelah seharian nangis karena hidungnya meler terus. Jadi sekarang kesempatan buat ibunya untuk istirahat juga. Andai saja bayi 4 bulan sudah bisa bicara, semuanya pasti jadi lebih gampang.
Baru juga gue memejamkan mata selama 15 menit, Pucil telpon. Ini sungguh enggak adil, gue kan juga butuh istirahat! Gue nyaris ngambek, tapi ternyata ceritanya Pucil menarik untuk disimak. Tentang pertemuan hari Minggu kemarin di rumahnya itu, lho. Batal, deh, ngomelnya.
Seperti yang sudah gue tebak, meyakinkan orangtua untuk menyetujui rencana yang begitu besar pasti sulit. Gue jadi teringat waktu menyiapkan nikahan dulu. Gue ingin acaranya sederhana saja, enggak usah pakai undang-undang semua tetangga segala. Bukannya gue sadis, gue ingin kawinan gue didatangi oleh orang-orang yang dekat dengan gue. Itu saja, kok.
Tapi Mamanya Mas Arief enggak setuju. Pesta ideal bagi beliau adalah termasuk mengundang minimal 1000 orang. Akhirnya semuanya berubah. Kalau tamunya segitu, tempatnya pun harus yang besar, makanannya lebih banyak, souvenirnya juga ekstra. Yah, kalau Mama sendiri yang protes, gue mungkin bisa kasih aksi unjuk rasa. Nah, gimana kalau calon ibu mertua yang protes? Serba salah, kan? Bahkan sampai warna baju pengantin, orangtua juga yang menentukan. Merah. Hah! Warna yang paling gue benci. Waktu itu gue benar-benar enggak berdaya. Kalau enggak ada Pucil, gue mungkin sudah break down sebelum mencapai pelaminan.
Untungnya orangtua Ganesha enggak di sini dan gue yakin mereka lebih mudah diajak kompromi. Namun dengan segala rencana bombastis itu, jelas tantangan Pucil lebih besar. Gue harus siap-siap sedia kuping 7 bulan ke depan. Pasti kondisinya memanas, nih.


Bon-bon
Uuuh! Enggak sabar banget aku menanti berita dari Pucil tentang pertemuan Ganesha dengan keluarganya kemarin. Ingin dengar laporannya langsung! Makanya ketika HP bergetar di saat meeting besar, aku buru-buru kabur ke toilet. Puas terpingkal-pingkal di sana mendengar Pucil menceritakan reaksi Ganesha hari itu. Bisa kubayangkan panas-dinginnya dia ketika minta izin ke orangtuanya. Hihihi. Tapi sukses! Salut! Boleh juga, nih, kapan-kapan minta Ganesha untuk kasih tips ke Billy.
Yea, right, Bon. Like you are going to get married tomorrow! Hahaha.
Sayangnya aku enggak bisa lama-lama ngobrol dengan Pucil. Salah-salah nanti malah memicu prasangka yang merusak image kalau terlalu lama di toilet.You know what I mean? Berarti nanti harus aku update lagi cerita detilnya setelah rapat.
Wah, aku senang Pucil akhirnya bisa meng-goal-kan keinginan untuk nikah di pantai ke orangtuanya. Enggak gampang, aku tahu. Hmmm, berarti aku juga harus mulai memikirkan gaun apa yang harus dipakai untuk pernikahan ala pantai, nih. Bali, pula! Cihuuuy!
Billy mau enggak, ya, nemenin aku windowshopping besok?


Ririn
Barusan Bon-bon telpon aku. Bisa-bisanya anak itu ngomong terus selama setengah jam cuma buat cerita kalau kawinannya Pucil bakalan jadi di Bali. Cerita tentang lamaran Ganesha nyempil saja diujung, sebelum dia menutup telpon. Heboh banget anak itu, deh. Perasaan Pucilnya sendiri malah enggak begitu, deh. Dan kayaknya Pucil sempat cerita kalau nikahannya belum tentu jadi di Bali, harus usaha dulu untuk meyakinkan keluarga besarnya. Dasar Bon-bon, sudah buru-buru ingin nyari dress baru saja. Minta temenin, lagi! Hari gini, lagi tanggal-tanggal ubanan pula. Minta dijitak!
Aku jadi penasaran, deh, ingin ngobrol dengan Ganesha. Apa rasanya, ya, duduk semeja dengan keluarga pacar dan ngomong langsung ke orangtua Pucil untuk minta izin menikahi anaknya? Ih, tidak kebayang! Kalau aku jadi Pucil, pasti pusing kepalaku saking khawatirnya. Seperti kalau ada cowok yang mau main ke rumah. Ah, nasibku punya tiga orang kakak laki-laki yang semuanya terlalu sayang sama adik perempuan semata wayangnya ini. Entah sudah berapa banyak cowok yang mundur pelan-pelan setelah diinterogasi mereka. Nasiiib...
Aku sendiri sebenarnya agak khawatir tidak bisa datang kalau Pucil jadi nikah di Bali. Bukannya tidak mau datang, tapi gimana, ya? Pertama harus minta izin orangtua dulu, kedua tiket pesawaaat... haduh, duit lagi! Kalau bisa naik ojek, aku naik ojek, deh. Dan ketiga, yang paling penting, aku malas banget going solo. Memang Pucil sahabatku, tapi Edwina pasti datang sama Mas Arief, Si Gila Bon-bon sudah jelas pergi dengan Billy.
Duh, egois aku, ya? I can’t help it. Weddings always pointed out so clearly how single i am.


Ganesha
Menyusun strategi dari laut!
Sial! Kalau dua minggu kemarin gua enggak bisa tidur gara-gara mikirin sebuah kalimat sederhana, minggu ini gua lagi-lagi kena insomnia karena mencari strategi. Tapi paling enggak seminggu ini ada dua orang yang sama-sama gelisah: gua dan Pucil.
Gua sudah melakukan sedikit ‘penelitian’ kecil tentang Om dan Tantenya Pucil. Om Rio, Tante Tata, dan Tante Desi tidak begitu ngoyo, walaupun pasti ada sebantah dua bantahan nanti. Sementara untuk meyakinkan Tante Rani dan Om Agus akan membutuhkan usaha ekstra. Tante Rani, nih, yang gua khawatirkan sulit sekali di-CS-in. Gua sendiri, sih, baru ketemu sekali dua kali dengan Tante Rani. Memang orangnya agak keras. Pucil juga bilang begitu. Tapi hubungan antara Mamanya Pucil dan Tante Rani sangat dekat, jadi apa yang Tante Rani bilang, pasti akan mempengaruhi keputusan Mamanya Pucil.
Nah, sebentar lagi gua sampai di rumah Pucil. Dari kejauhan gua lihat sudah banyak mobil parkir di depan rumahnya. Sepertinya sudah pada sampai, nih. Parkir di mana, ya?


Pucil
Hari ini Ganesha terlihat jauh lebih santai dari pertemuan minggu kemarin. Justru aku yang sekarang nervous. Para Om dan Tante datang lebih awal, ini justru bagus. Soalnya kita jadi ngobrol tentang hal yang lain dan aku jadi merasa lebih santai karena tidak langsung ditodong dengan pertanyaan-pertanyaan persiapan. Oh iya, tadi malam aku sempat membuat catatan kecil tentang apa saja yang harus dibicarakan.

Catatan Penting!
- Lokasi: Pantai – Bali (kalau memungkinkan) No gedung! No pajang-panjang pengantin! Suasananya semi formal, semua bebas berinteraksi. Sit- down party. Harus sesuai budget kantong Pucil + Ganesha.
- Jumlah tamu: Sekitar 100 -150. Prioritaskan keluarga dekat dan sahabat.
- Pakaian pengantin dan keluarga: Tanya Tante Desi. Blank, nih, mau gayanya gimana. Yang pasti adat Jawa, kombinasi putih-biru. Yes!
- Dekorasi dan makanan: ?
- Souvenir: ?
- Bikin undangan – tanya Edwina (tempat) & Bon-bon (disain).
- Bikin guest list
-
-
Apa lagi, ya?

Dua poin yang paling atas adalah yang paling penting untuk dibicarakan. Kalau itu bisa tembus, sisanya aman.
Setelah Ganesha datang dan kita semua makan siang, akhirnya pembicaraan dimulai. Kalau minggu kemarin Ganesha yang menjelaskan ke Mama Papa, sekarang giliran Mama dan Papa yang menjelaskan ke semuanya.
“Putri dan Ganesha ini punya rencana akan menikah tahun ini. Kita semua senang sekali mendengarnya.Lalu dari pertemuan minggu lalu, sebagian dari kita di sini sudah mendengar kalau mereka punya rencana pernikahan di Bali, katanya ingin pas ulang tahun Pucil tanggal 8 Agustus. “
“Kalau bisa, nih. Kita belum survey juga, ya, Gan?”, aku menambahkan.
“Gaya, euy, di Bali.”, goda Tante Desi sambil tertawa.
“Agustus berarti... wah Cil, sekitar 7-8 bulan dari sekarang, dong. Enggak terlalu mepet, ya?”, tanya Om Agus.
“Iya, belum lagi surveynya. Kapan mau ke sana?”, tambah Tante Rani. Papa dan Mama melihat ke arah aku dan Ganesha bergantian.
“Hehehe, bisa lah Om, Tante. Survey bisa lewat internet, bisa juga tanya ke teman saya. Kebetulan dia kerja sebagai wedding organizer. Kalau sudah dapat alternatifnya, baru kita teliti lagi. Kalau perlu kita sediakan waktu khusus untuk pergi ke sana. Mudah-mudahan kita bisa cari yang pas dan sesuai budget.”, jawab Ganesh dengan tenang.
Ganesha ‘menyisihkan waktu’ dari kerjaannya? Huhuhu, untuung tidak ada yang tahu bagaimana padatnya jadwal kerja Ganesh. Kalau tidak, pasti mentah lagi argumen barusan.
“Mesti buru-buru juga, lho, Gan. Biasanya orang booking tempat kawinan sudah dari jauh hari. Malah ada yang setahun-dua tahun sebelumnya”, Tante Desi mengingatkan.
Oh iya, Tante Desi ini adiknya Mama yang punya usaha membuat dan menyewakan baju-baju tradisional serta pernak-perniknya. Beliau sudah biasa berurusan dengan pernikahan. Aku sangat berharap bisa mendapat banyak masukan dari Tante Desi. Dan aku percaya Tante Desi bisa memberikan banyak gambaran tentang persiapan pernikahan kepada kami berdua.
“Itu masalah pertama. Belum lagi tentang tamu-tamunya. Kalau kita saja mungkin masih bisa datang ke sana, Cil. Minimal diwakilkan, deh, kalau semuanya tidak bisa berangkat. Tapi undangan yang lain, kan, belum tentu. “. Sebenarnya kata-kata Tante Rani ini betul. Pasti tidak semuanya bisa terbang ke Bali. Namun justru itu poinnya! Kita berdua kan memang tidak ingin terlalu banyak tamu yang datang. Cukup orang-orang yang kenal dekat dengan kami saja. Itu bisa jadi alasan untuk tidak mengundang banyak orang.
“Betul, Tante. Namun Ganesh dan Pucil memang enggak ingin pesta yang besar. Jadi cukup orang-orang yang dekat saja.”, kataku.
“Yah, jadi Mama juga harus pintar simpan rahasia, dong, ke orang-orang?”, tanya Mama kelihatannya tidak begitu senang dengan ide itu.
“Sebenarnya enggak perlu simpan rahasia, sih, Ma. Kalau ada yang tanya tentang rencana ini, bisa saja, kok, diberitahu yang sebenarnya. Setelah nikahan, kita bisa bikin tumpeng buat tetangga, dan kerabat yang lain disertai dengan kartu kecil bahwa kita sudah menikah. “
Mama mengangguk-angguk, tapi dari ekspresinya aku tahu masih ada ganjalan di hatinya.
“Memangnya rencananya mau berapa undangan?”, tanya Tante Tata.
“Maksimal 150, lah, Tante. Sesuai juga dengan kondisi venue yang seperti itu. Kita memang belum survey, tapi rasanya enggak mungkin juga kita taruh 1000 orang di pinggir pantai.”, jawab Ganesha, mencoba bercanda. Yang lain tertawa, cuma Mama yang terlihat masih kurang sreg.
“Habisnya Mama enggak enak nanti kalau ditanyain tetangga.” Keluar juga ganjelan itu dari mulut Mama.
“Bilang saja kawinannya di luar kota, Mam. Tapi nanti diadain syukuran kecil di rumah, gitu. Orang-orang sini enggak suka usil, kan?”, Papa membela kami berdua. Wah, kayaknya Papa sudah mulai masuk tim kita, nih! Asyik!
“Kemarin saya dan Pucil juga sudah bikin daftar tamu, untuk gambaran awal saja, nih, Om, Tante. Dari pihak saya mungkin ada 50-an orang yang datang. Terus... hmmm...”, Ganesh melirik aku.
“... dari kita, kalau bisa datang semua mungkin ada 80-90an orang. Dan itu sudah termasuk keluarga dan teman-teman.”, aku menambahkan.
“Jadi pas lah.”, kata Ganesha lagi.
“Sisanya kita bisa edit lagi sambil jalan, Mam. Pasti nanti ada yang enggak bisa datang, atau tambahan nama undangan. Tinggal di atur saja nanti.” Aku melihat ke arah Mama. Sepertinya Mama sudah bisa mulai menerima ide ini. Buat aku, yang penting, kan, kita tidak merahasiakan pernikahan ini.
“Bisa diterima, enggak, kira-kira?” Tanya Papa melihat ke kami semua. Lega sekali aku melihat yang lain mengangguk.


Ganesha
Masalah tamu, sepertinya sudah beres. Semua setuju. Great!
“ Terus apalagi?”, lanjut Papa.
Gua meraih catatan kecil yang dibikin Pucil tadi malam.
“Untuk baju pengantin dan keluarga... hmmm... gimana Cil?”
Sebenarnya bisa saja, sih, gua langsung minta Tante Desi untuk membantu. Tapi, kok, rasanya kurang pas kalau gua yang minta, ya? Bukannya buang badan, nih, tapi enaknya, sih, Pucil yang ngomong.
“Ah, iya. Soal baju. Kita berdua sama-sama enggak ahli di bidang ini, nih. Jadi...”, Pucil melirik ke Tante Desi sambil senyum-senyum.
“Iya iya, pasti Tante bantuin. Tenang saja, Cil. Tapi kalian maunya gimana, nih?”, sambung Tante Desi sambil tertawa.
“Hihi, makasih Tante. Yang kepikiran sekarang, sih adatnya pasti adat Jawa. Kalau nuansanya mungkin hmmm... putih dan biru?” Pucil melihat ke arah orangtuanya, mencoba membaca reaksi mereka. Sepertinya mereka setuju-setuju saja.
“Lha, Ganesha baju pengantinnya biru, dong?”, canda Om Rio sambil tertawa. Gua langsung terperajat.
Wait, itu enggak serius, kan?
“Ya, enggak, dong. Kayaknya lebih baik kalau kebayanya Pucil yang nuansanya biru, ya? Ganesha pakai baju Demang hitam. Supaya nyambung, mungkin ada kain pendek dililit di pinggang yang matching dengan sarung birunya Pucil. Gitu gimana?”
“Kita ikut Tante saja, deh. Pucil sebenarnya kurang tahu baju Demang kayak apa. Bisa diomongin lagi, kan, ya?”, tanya Pucil.
“Iya, kapan-kapan main ke rumah, Cil. Tante banyak buku-buku majalah pengantin yang bisa kamu lihat buat nyari ide.” Semua setuju dan gua terselamatkan oleh ide bagus dari Tante Desi. Fiuuuh!
“Nah, sekarang sisanya, bisa diurus sambil jalan. Katering, dekorasi, undangan, souvenir...”
“Souvenir-nya yang bagus, Cil, dan jangan pajangan. Mama paling sebel kalau dapet pajangan. Malah jadi tempat debu numpuk. “, potong Mamanya Pucil. Gua tertawa mendengarnya. Memang Pucil dulu sempat cerita kalau Mamanya ini alergi debu. Setiap pagi setelah bangun tidur, beliau sering bersin-bersin. Makanya di rumah Pucil juga jarang ada pajangan.
“Oke, itu bisa kita urus belakangan kalau begitu. Sekarang balik ke soal utama lagi: masalah tempat.”, kata Papa.
“Enggak usah di luar kota, lah. Repot, kan, Gan?”, kata Tante Rani sambil tertawa. Pucil melihat ke arah gua dengan khawatir. Gua kemarin memang sempat bilang kalau gua paling ogah repot. Tapi mendingan gua repot sekarang daripada ide itu dibuang setelah kita sudah berjuang setengah jalan.
“Tante Desi takutnya juga kalian enggak akan dapat tempat. Pertama waktunya mepet, kedua hmmm... mahal, Gan. Sayang uangnya mending kalian pakai buat nyicil rumah, misalnya.”
“Atau buat honeymoon?” Om Agus menggoda kamu berdua. Cuma Pucil yang terlihat senyumnya sedikit dipaksa.
“Belum lagi nanti repot ngurusnya, bolak-balik terus.”, tambah Tante Tata.
“Om Rio bisa bantuin kamu booking tempat di hotel bintang lima kalau mau. Atau di tempat mana saja lah, tinggal bilang. Cocokin saja sama budget, dijamin dapat diskon.”, timpal Om Rio. Hmmm… tawaran yang sungguh menggiurkan sebetulnya.
Duh, gawat. Gua bingung harus ngomong apa setelah diserang dari segala arah seperti ini. Pucil juga sudah mulai hilang kata-kata. Lama gua dan Pucil terdiam dan hanya mendengarkan komentar-komentar dari yang lainnya.
“Ya sudah, gini saja. Pada dasarnya kita semua enggak ingin membuat calon pengantin ini enggak bahagia.”, Papanya Pucil akhirnya menengahi. Yang lain tertawa mendengar kata-kata beliau.
“Kita cuma khawatir, kok, Cil, Gan. Takutnya ide kalian ini enggak realistis dan kalian malah kehabisan waktu sementara undangan sudah disebar dan dicetak. Iya, kan?”
Hmmm… masuk akal juga.
“Kita bikin jalan tengahnya saja. Gini, kalau kalian bisa booking tempat di Bali yang sesuai dalam 5 bulan ini, kita ikut rencana kalian. Kalau enggak, mungkin kita bisa ambil tawarannya Om Rio. Gimana, tuh, Yo, bisa enggak kira-kira di-nego buat di booking tanpa DP sampai 5 bulan ke depan?”
Gua kurang tahu apa pekerjaannya Om Rio, yang jelas beliau ini orang penting yang kenal dengan banyak orang penting juga. Enggak heranlah kalau Om Rio kenal baik dengan pengusaha-pengusaha tinggi dan bisa dapat diskon.
“Sepertinya kalau 5 bulan agak kelamaan. Kasihan anak-anak ini, berarti waktunya hanya 2-3 bulan untuk menyiapkan semua kalau ternyata yang di Bali enggak jadi. Kalau Om bilang, sih, lebih baik dibikin tiga bulan saja. Empat bulan maksimal, deh.”, kata Om Rio. Yang lain menyimak tanpa protes, termasuk Pucil yang wajahnya mulai bersemangat kembali.
“Empat bulan? Walah, cepat amat!”, ujar Tante Rani. Yang lain melihat ke arah gua dan Pucil.
“Gimana, nih, calon pengantin? Empat bulan bisa enggak?”, Papanya Pucil melempar tawaran itu kembali ke gua dan Pucil untuk menentukan. Gua rasa Pucil enggak akan mau melepas kesempatan kecil ini untuk mengejar apa keinginannya.
“Oke, 4 bulan, ya, Om?”
“Maksimal.”, tambah Om Rio.
Pucil mengangguk mantap.
Dan begitulah. Rapat resmi ditutup. Meninggalkan PR yang besar buat gua dan Pucil 4 bulan ke depan.
Hmmm... men-survey dan mem-booking venue di Bali dalam 4 bulan? Mungkin enggak, ya?

.,.,.,.,.

Loading...