Thursday, June 18, 2009

Chapter 2


Pucil
: Wow, jadi lo akan nikah tahun ini? Selamat, ya! Masih pingin di Bali, nih?

: Iya Tos, lo bisa datang, kan, ya?

: Kapan, Cil?

: Maunya Agustus, tapi pastinya kapan belum tau. Soalnya gue belum lihat-lihat tempat, nih.

: Jadi di pinggir pantai?

: Hahaha. Iya. Kok, masih inget, lo?

: Enggak pernah lupa. Gue amazed waktu lo cerita. Waktu itu gue pikir elo sudah diajak kawin sama Ganesh. Dasar gila, ternyata belum tapi semuanya sudah lo pikirin, ya?

Pucil.: Hehehe, pertanda kali, ya, Tos? Hei, gimana? Janji datang, ya? Sekalian kita ketemu. Lo susah banget diajak terbang ke Jakarta. Betah banget nguplek di Bali. Ajak cowok lo juga, pasti seru.”

: Hehehe. Cowok gue? Anyway, gue usahain pasti Cil.

: Oh, Ganesh sudah datang, nih, sambung lain kali, ya?

: Siap. Take care, Cil!


Ganesha duduk di sebelahku. Kemejanya agak basah.
“Di luar hujan, Gan?”
“He-eh. Lupa bawa payung dari mobil. Nasib, deh.”
“Pikun! Padahal sengaja dibeliin payung, tapi tidak pernah dipakai. Payah.” Ganesha cengengsan.
“Mau langsung makan atau pulang saja? Kasihan kamu basah begitu.”
“Ah enggak usah dipikir Cil. Nanti juga kering. Langsung aja, yuk?”
Aku mengangguk dan beranjak menuju kasir.

Oh iya, ngomong-ngomong, kafe internet ini adalah tempat favorit untuk rendezvous-an dengan Ganesh. Hmmm... lebih tepatnya tempat favoritku menunggu Ganesh datang menjemput. Tidak pernah bisa ditebak lalu lintas kerja pacarku ini. Kadang baru semenit duduk, dia sudah muncul. Kadang harus sejam-dua jam menunggu dulu, baru dia sampai. Karenanya menjadi favorit, sebab menunggu 2 jam tidak akan terasa jika aku disuguhi internet fast speed begini.
Agenda dengan Ganesh hari ini adalah makan bersama. Bukan mewah-mewahan apalagi sok romantis, tapi karena ingin membicarakan strategi 7 bulan ke depan. Tidak mungkin kita ngomongin di rumah aku atau Ganesh. Rumah Ganesh jauuuh, sementara rumahku yang lebih dekat dengan pusat kota, justru selalu penuh dengan orang. Belum lagi Ai’ yang pastiii pacaran di ruang tamu. Bukan hal baru, semua temanku juga tahu. Menggusurnya dari ruang tamu sering mengakibatkan perang satu hari. Minimal dikasih aksi cemberut seharian sama dia. Mana bisa tenang dengan suasana seperti itu?
Jadilah hari ini kami berdua kembali mengapeli foodcourt Plaza Senayan. Orang lain mungkin melihat target 7 bulan masih jauh, dan agak aneh kalau kita berdua sudah sibuk merancang dari sekarang. Tapi menurut Edwina, detik jam terasa bergerak lebih cepat ketika kita sudah dalam time table menuju hari besar. Aku percaya kata-katanya. Edwina yang cekatan begitu saja sempat mengalami masa-masa frustasi waktu menyiapkan nikahannya. Beberapa kali dia menelponku sambil menangis karena merasa tidak berdaya bersaing dengan waktu. Padahal waktu itu dia punya waktu sekitar satu tahunan. Hmmm, mudah-mudahan waktunya cukup buat acaraku.
Ah, semangat! Ayo Pucil, semangat!
Sejak dulu, tidak ingat kapan tepatnya, aku sudah rajin berandai-andai tentang pernikahanku. Lalu teman-temanku satu persatu menikah, termasuk Edwina. Dan waw, betapa indahnya perkawinan mereka. Gemerlap banget, tamunya juga banyak. Tidak akan bisa aku lupa betapa cantiknya Edwina dengan baju adat Padangnya. Sejak saat yang tidak jelas kapan itu, mulai tumbuh keinginanku untuk menciptakan hal yang serupa. Tidak saja indah, tapi juga harus berbeda. Harus! Biarlah semua orang bilang aku sering tampil serabutan, mereka tidak akan ingat itu di hari pernikahan kami nanti.

Makanan sudah di tangan, Ganesh yang dari tadi mengeluh kelaparan, langsung menikam makanannya, dengan pisau-garpu ia menggulung-gulung spaghettinya tanpa ampun.
“Gan, boleh nanya, enggak?”, tanyaku.
“Itu sudah satu pertanyaan.”, katanya sambil nyengir bandel.
“Kamu... hmmm... suka enggak dengan ide kita dipajang di tengah panggung, terus orang-orang ngantri buat salaman?”
“Dipajang?”
“Iyaaah. Itu lho, ditaruh di tengah panggung, kayak kawinan orang-orang gituuu...”
Ganesha tertawa.
“Sebenarnya ide untuk bikin resepsi saja sudah ganggu aku, lho, Cil.”
Giliran aku yang bingung. Yah, jangan-jangan Ganesha malah tidak ingin ada resepsi, nih!
“Gini,...”, Ganesha meletakkan garpu dan pisaunya. “... buatku sebenarnya akad saja cukup. Kalaupun ada resepsinya, enggak usah yang besar-besar lah.”
“Irit?”, candaku. Dia tertawa.
“Ya, iya. Itu alasan lainnya. Alasan utamanya: repot!”
Inilah Ganesha, si manusia yang tidak pernah mau repot tapi kalau kerja bisa sampai lupa waktu. Gemes, deh, aku.
“Iya, berarti kamu memang kurang sreg dengan ide kita dipajang di atas panggung gitu, kan??”, desakku. Ganesha mengangguk sambil mulai lagi menggulung spaghettinya.
“Memang. Tapi orangtua kita pasti maunya begitu, kan? Memangnya kita punya pilihan lain, Cil?”, mata Ganesh tidak lepas dari makanannya. Aku terdiam sambil tersenyum lebar. Ganesha menatapku heran. Haha. Kali ini aku berhasil mencuri perhatiannya.


Ganesha
Perempuan yang ada di depan gua ini memang unik. Dia enggak pernah rewel apalagi manja. Mungkin ini juga yang membuat gua cocok sama dia. Perempuan lain mungkin di titik ini sudah capek mengkritik gua, Pucil malah lebih santai dari gua. Badannya boleh kecil, tapi kemauannya banyak. Dan kalau dia sudah ada mau, enggak ada yang bisa mencegah usahanya. Contohnya sekarang ini. Gua jadi penasaran, apa pula yang ada di pikirannya sekarang? Sesuatu yang beda pastinya!
Sudah berapa banyak gua menghadiri nikahan teman-teman, semuanya selalu berlalu dengan ritme sama: pengantin datang, pengantin duduk, penonton salaman, penonton makan, penonton bubar, pengantin bubar. Lalu kalau beruntung gua akan kena ciprat foto-foto dengan pasangan baru yang berbahagia. Terakhir gua hadir di kawinan Derry seperti itu juga. Gua masih ingat betul sebelum hajatannya dia mengeluh terus tentang susahnya menampik tuntutan orangtua. Ya, berakhirlah perkawinannya dengan ritme yang gua sebut barusan. Padahal gua tahu banget, Derry pasti ingin yang beda. Sebelum bisa mengolkan keinginannya, sudah KO duluan dia di garis depan.
Nah, sepertinya Pucil punya ide lain untuk kawinan kami. Hal yang menarik, sih, mestinya. Tapi permasalahnya: realistis enggak, nih? Karena gua enggak suka melihat perempuan yang satu ini kecewa. Enggak pernah suka.
“Kamu mikir apa, sih?”, gua tersenyum geli. Ekspresi seperti itu membuat gua enggak pernah bosen melihat wajahnya. So excited!
“Pilihan selalu ada Gan. Apalagi aku sebenarnya enggak pernah suka dengan cara resepsi seperti itu.”, jawabnya.
Gua tertawa lagi.
“Gimana? Gimana? Cerita, dong, kamu maunya gimana?”
Saatnya mendengarkan, Ganesh.
“Bayangin pantai, Gan, ter...”
“Pantai?”, kalimatnya langsung gua serobot. Ha! Pantai mana di Jakarta yang bisa jadi spot acara nikahan?? Ancol? Hmh! Jangan harap, deh. Kalau memang itu, terpaksa gua enggak setuju.
“Tunggu dulu! Jangan dipotong dulu!” Weits, dia sewot.
Okey Ganesh, lu diam dan dengar dulu saja. Protes belakangan.
Tapi ternyata, ide Pucil sama sekali enggak perlu diprotes. Gua enggak pernah memikirkan resepsi seperti apa yang gua inginkan. Sama sekali enggak pernah, karena buat gua semuanya sama saja. Yang penting , kan, akadnya. Tapi yang barusan Pucil bilang seru juga sepertinya.
Acaranya outdoor di pantai, matahari tengah turun, nuansa putih biru, banyak bunga-bunga, meja-meja besar untuk semuanya duduk dan bersantap, lalu yang pasti tidak ada ‘panggung’ buat pengantin. Dan itu berarti kami berdua dengan bebas bisa mengobrol dengan para tamu. Hmmm... bebas mengobrol? Gua suka itu! Tapi tetap, masalahnya adalah...
“...pantai mana Cil? Jakarta? Ngarang aja kamu.”, tepis gua blak-blakan. Nah, dia tersenyum lebar lagi.
“Siapa bilang di Jakarta? Indonesia kan luas, pantainya cantik-cantik. Aku kepikiran Anyer, atau malah Bali.”,
Anyer? Hmmm... Bali? Wah, menarik! Ternyata anak kecil satu ini sudah memikirkan skenario besarnya. Bagus, meringankan tugas gua, nih. Hahaha! Pucil masih menatap gua penuh harap. Menunggu jawaban.
“Keren, Cil. Boleh juga idenya.”. Pucil melebarkan kedua matanya, kegirangan.
“Tapiii...”, gua buru-buru menambahkan.
“Tapi?”
“... gimana dengan orangtua? Nggg... orangtuamu, sih, tepatnya.”
Gua langsung menjelaskan maksud kata-kata gua sebelum protesnya meluncur.
“Ayah dan Ibu rasanya, sih, enggak akan keberatan dengan ide kamu itu. Lagi pula mereka jauh, enggak akan bisa apa-apa kalaupun mau protes. Hehehe. Nah, kalau Mama Papamu, hmmm...”, gua berhenti sejenak, mencoba memilih kata-kata yang pas supaya Pucil enggak cemberut.
“ ...Mama Papamu mungkin akan berkata lain.”
“Resepsi di atas panggung?”, tanyanya.
Gua mengangguk.
Yap.
Pasti lah.
Pucil anak perempuan pertama di keluarganya. Dan dari pengalaman gua yang punya kakak perempuan, tuntutannya pasti besar. Kawinan kakak gua juga enggak luput dari request-request yang enggak bisa ditolak. Kawinannya Dion juga masih gitu. Padahal waktu itu Ayah masih dinas dan mereka masih tinggal di Singapura. Sebagai karyawan KBRI yang sudah lama tinggal di luar negeri, ternyata nilai-nilai tradisional Ayah dan Ibu enggak pernah luntur. Pokoknya ada saja syarat yang harus dipenuhi. Sekarang, sih, setelah pensiun dan memutuskan untuk menetap di Amerika, orangtua gua sudah jauh lebih santai. Mungkin juga karena tuntutannya habis di Mbak Amy dan Dion. Jadi gua yakin mereka enggak serewel dulu. Tapi bagaimana dengan orangtua Pucil?
“Kalau begitu, itu tugas kita buat mencari jalan, kan, Gan? Cari cara buat meyakinkan mereka?”, kata Pucil sambil mengedipkan sebelah matanya. Hahaha! Pantang mundur! Kadang gua enggak habis pikir anak ini belajar gigih dari siapa.
“Dan ngomong-ngomong soal tugas, kamu sudah punya tugas pertama yang harus dituntaskan, loh.”
Ha? Kok, jadi gua yang punya tugas pertama?
“Yaitu?”, tanya gua bingung.
“Yaitu bicara ke Mama Papa soal kamu mau nikahi aku.”, dan Pucil tersenyum bandel.
Aduh! Soal itu!
Kenapa tiba-tiba spaghetti di mulut terasa pahit, ya?

No comments:

.,.,.,.,.

Loading...