Thursday, June 18, 2009

Chapter 4



Edwina
Hari ini pileknya Andien tambah parah. Kasihan dia, gara-gara musim hujan, sampai kena flu begini. Dokter bilang, sih, bukan masalah serius, flu ringan saja. Tapi gue enggak tega meninggalkan Andien sendirian sama babysitter-nya. Makanya gue bolos ke kantor buat ngurus anak gue. Daripada gue paksain kerja tapi otak enggak bisa mikir, kan? Sekarang Andien lagi bobok, setelah seharian nangis karena hidungnya meler terus. Jadi sekarang kesempatan buat ibunya untuk istirahat juga. Andai saja bayi 4 bulan sudah bisa bicara, semuanya pasti jadi lebih gampang.
Baru juga gue memejamkan mata selama 15 menit, Pucil telpon. Ini sungguh enggak adil, gue kan juga butuh istirahat! Gue nyaris ngambek, tapi ternyata ceritanya Pucil menarik untuk disimak. Tentang pertemuan hari Minggu kemarin di rumahnya itu, lho. Batal, deh, ngomelnya.
Seperti yang sudah gue tebak, meyakinkan orangtua untuk menyetujui rencana yang begitu besar pasti sulit. Gue jadi teringat waktu menyiapkan nikahan dulu. Gue ingin acaranya sederhana saja, enggak usah pakai undang-undang semua tetangga segala. Bukannya gue sadis, gue ingin kawinan gue didatangi oleh orang-orang yang dekat dengan gue. Itu saja, kok.
Tapi Mamanya Mas Arief enggak setuju. Pesta ideal bagi beliau adalah termasuk mengundang minimal 1000 orang. Akhirnya semuanya berubah. Kalau tamunya segitu, tempatnya pun harus yang besar, makanannya lebih banyak, souvenirnya juga ekstra. Yah, kalau Mama sendiri yang protes, gue mungkin bisa kasih aksi unjuk rasa. Nah, gimana kalau calon ibu mertua yang protes? Serba salah, kan? Bahkan sampai warna baju pengantin, orangtua juga yang menentukan. Merah. Hah! Warna yang paling gue benci. Waktu itu gue benar-benar enggak berdaya. Kalau enggak ada Pucil, gue mungkin sudah break down sebelum mencapai pelaminan.
Untungnya orangtua Ganesha enggak di sini dan gue yakin mereka lebih mudah diajak kompromi. Namun dengan segala rencana bombastis itu, jelas tantangan Pucil lebih besar. Gue harus siap-siap sedia kuping 7 bulan ke depan. Pasti kondisinya memanas, nih.


Bon-bon
Uuuh! Enggak sabar banget aku menanti berita dari Pucil tentang pertemuan Ganesha dengan keluarganya kemarin. Ingin dengar laporannya langsung! Makanya ketika HP bergetar di saat meeting besar, aku buru-buru kabur ke toilet. Puas terpingkal-pingkal di sana mendengar Pucil menceritakan reaksi Ganesha hari itu. Bisa kubayangkan panas-dinginnya dia ketika minta izin ke orangtuanya. Hihihi. Tapi sukses! Salut! Boleh juga, nih, kapan-kapan minta Ganesha untuk kasih tips ke Billy.
Yea, right, Bon. Like you are going to get married tomorrow! Hahaha.
Sayangnya aku enggak bisa lama-lama ngobrol dengan Pucil. Salah-salah nanti malah memicu prasangka yang merusak image kalau terlalu lama di toilet.You know what I mean? Berarti nanti harus aku update lagi cerita detilnya setelah rapat.
Wah, aku senang Pucil akhirnya bisa meng-goal-kan keinginan untuk nikah di pantai ke orangtuanya. Enggak gampang, aku tahu. Hmmm, berarti aku juga harus mulai memikirkan gaun apa yang harus dipakai untuk pernikahan ala pantai, nih. Bali, pula! Cihuuuy!
Billy mau enggak, ya, nemenin aku windowshopping besok?


Ririn
Barusan Bon-bon telpon aku. Bisa-bisanya anak itu ngomong terus selama setengah jam cuma buat cerita kalau kawinannya Pucil bakalan jadi di Bali. Cerita tentang lamaran Ganesha nyempil saja diujung, sebelum dia menutup telpon. Heboh banget anak itu, deh. Perasaan Pucilnya sendiri malah enggak begitu, deh. Dan kayaknya Pucil sempat cerita kalau nikahannya belum tentu jadi di Bali, harus usaha dulu untuk meyakinkan keluarga besarnya. Dasar Bon-bon, sudah buru-buru ingin nyari dress baru saja. Minta temenin, lagi! Hari gini, lagi tanggal-tanggal ubanan pula. Minta dijitak!
Aku jadi penasaran, deh, ingin ngobrol dengan Ganesha. Apa rasanya, ya, duduk semeja dengan keluarga pacar dan ngomong langsung ke orangtua Pucil untuk minta izin menikahi anaknya? Ih, tidak kebayang! Kalau aku jadi Pucil, pasti pusing kepalaku saking khawatirnya. Seperti kalau ada cowok yang mau main ke rumah. Ah, nasibku punya tiga orang kakak laki-laki yang semuanya terlalu sayang sama adik perempuan semata wayangnya ini. Entah sudah berapa banyak cowok yang mundur pelan-pelan setelah diinterogasi mereka. Nasiiib...
Aku sendiri sebenarnya agak khawatir tidak bisa datang kalau Pucil jadi nikah di Bali. Bukannya tidak mau datang, tapi gimana, ya? Pertama harus minta izin orangtua dulu, kedua tiket pesawaaat... haduh, duit lagi! Kalau bisa naik ojek, aku naik ojek, deh. Dan ketiga, yang paling penting, aku malas banget going solo. Memang Pucil sahabatku, tapi Edwina pasti datang sama Mas Arief, Si Gila Bon-bon sudah jelas pergi dengan Billy.
Duh, egois aku, ya? I can’t help it. Weddings always pointed out so clearly how single i am.


Ganesha
Menyusun strategi dari laut!
Sial! Kalau dua minggu kemarin gua enggak bisa tidur gara-gara mikirin sebuah kalimat sederhana, minggu ini gua lagi-lagi kena insomnia karena mencari strategi. Tapi paling enggak seminggu ini ada dua orang yang sama-sama gelisah: gua dan Pucil.
Gua sudah melakukan sedikit ‘penelitian’ kecil tentang Om dan Tantenya Pucil. Om Rio, Tante Tata, dan Tante Desi tidak begitu ngoyo, walaupun pasti ada sebantah dua bantahan nanti. Sementara untuk meyakinkan Tante Rani dan Om Agus akan membutuhkan usaha ekstra. Tante Rani, nih, yang gua khawatirkan sulit sekali di-CS-in. Gua sendiri, sih, baru ketemu sekali dua kali dengan Tante Rani. Memang orangnya agak keras. Pucil juga bilang begitu. Tapi hubungan antara Mamanya Pucil dan Tante Rani sangat dekat, jadi apa yang Tante Rani bilang, pasti akan mempengaruhi keputusan Mamanya Pucil.
Nah, sebentar lagi gua sampai di rumah Pucil. Dari kejauhan gua lihat sudah banyak mobil parkir di depan rumahnya. Sepertinya sudah pada sampai, nih. Parkir di mana, ya?


Pucil
Hari ini Ganesha terlihat jauh lebih santai dari pertemuan minggu kemarin. Justru aku yang sekarang nervous. Para Om dan Tante datang lebih awal, ini justru bagus. Soalnya kita jadi ngobrol tentang hal yang lain dan aku jadi merasa lebih santai karena tidak langsung ditodong dengan pertanyaan-pertanyaan persiapan. Oh iya, tadi malam aku sempat membuat catatan kecil tentang apa saja yang harus dibicarakan.

Catatan Penting!
- Lokasi: Pantai – Bali (kalau memungkinkan) No gedung! No pajang-panjang pengantin! Suasananya semi formal, semua bebas berinteraksi. Sit- down party. Harus sesuai budget kantong Pucil + Ganesha.
- Jumlah tamu: Sekitar 100 -150. Prioritaskan keluarga dekat dan sahabat.
- Pakaian pengantin dan keluarga: Tanya Tante Desi. Blank, nih, mau gayanya gimana. Yang pasti adat Jawa, kombinasi putih-biru. Yes!
- Dekorasi dan makanan: ?
- Souvenir: ?
- Bikin undangan – tanya Edwina (tempat) & Bon-bon (disain).
- Bikin guest list
-
-
Apa lagi, ya?

Dua poin yang paling atas adalah yang paling penting untuk dibicarakan. Kalau itu bisa tembus, sisanya aman.
Setelah Ganesha datang dan kita semua makan siang, akhirnya pembicaraan dimulai. Kalau minggu kemarin Ganesha yang menjelaskan ke Mama Papa, sekarang giliran Mama dan Papa yang menjelaskan ke semuanya.
“Putri dan Ganesha ini punya rencana akan menikah tahun ini. Kita semua senang sekali mendengarnya.Lalu dari pertemuan minggu lalu, sebagian dari kita di sini sudah mendengar kalau mereka punya rencana pernikahan di Bali, katanya ingin pas ulang tahun Pucil tanggal 8 Agustus. “
“Kalau bisa, nih. Kita belum survey juga, ya, Gan?”, aku menambahkan.
“Gaya, euy, di Bali.”, goda Tante Desi sambil tertawa.
“Agustus berarti... wah Cil, sekitar 7-8 bulan dari sekarang, dong. Enggak terlalu mepet, ya?”, tanya Om Agus.
“Iya, belum lagi surveynya. Kapan mau ke sana?”, tambah Tante Rani. Papa dan Mama melihat ke arah aku dan Ganesha bergantian.
“Hehehe, bisa lah Om, Tante. Survey bisa lewat internet, bisa juga tanya ke teman saya. Kebetulan dia kerja sebagai wedding organizer. Kalau sudah dapat alternatifnya, baru kita teliti lagi. Kalau perlu kita sediakan waktu khusus untuk pergi ke sana. Mudah-mudahan kita bisa cari yang pas dan sesuai budget.”, jawab Ganesh dengan tenang.
Ganesha ‘menyisihkan waktu’ dari kerjaannya? Huhuhu, untuung tidak ada yang tahu bagaimana padatnya jadwal kerja Ganesh. Kalau tidak, pasti mentah lagi argumen barusan.
“Mesti buru-buru juga, lho, Gan. Biasanya orang booking tempat kawinan sudah dari jauh hari. Malah ada yang setahun-dua tahun sebelumnya”, Tante Desi mengingatkan.
Oh iya, Tante Desi ini adiknya Mama yang punya usaha membuat dan menyewakan baju-baju tradisional serta pernak-perniknya. Beliau sudah biasa berurusan dengan pernikahan. Aku sangat berharap bisa mendapat banyak masukan dari Tante Desi. Dan aku percaya Tante Desi bisa memberikan banyak gambaran tentang persiapan pernikahan kepada kami berdua.
“Itu masalah pertama. Belum lagi tentang tamu-tamunya. Kalau kita saja mungkin masih bisa datang ke sana, Cil. Minimal diwakilkan, deh, kalau semuanya tidak bisa berangkat. Tapi undangan yang lain, kan, belum tentu. “. Sebenarnya kata-kata Tante Rani ini betul. Pasti tidak semuanya bisa terbang ke Bali. Namun justru itu poinnya! Kita berdua kan memang tidak ingin terlalu banyak tamu yang datang. Cukup orang-orang yang kenal dekat dengan kami saja. Itu bisa jadi alasan untuk tidak mengundang banyak orang.
“Betul, Tante. Namun Ganesh dan Pucil memang enggak ingin pesta yang besar. Jadi cukup orang-orang yang dekat saja.”, kataku.
“Yah, jadi Mama juga harus pintar simpan rahasia, dong, ke orang-orang?”, tanya Mama kelihatannya tidak begitu senang dengan ide itu.
“Sebenarnya enggak perlu simpan rahasia, sih, Ma. Kalau ada yang tanya tentang rencana ini, bisa saja, kok, diberitahu yang sebenarnya. Setelah nikahan, kita bisa bikin tumpeng buat tetangga, dan kerabat yang lain disertai dengan kartu kecil bahwa kita sudah menikah. “
Mama mengangguk-angguk, tapi dari ekspresinya aku tahu masih ada ganjalan di hatinya.
“Memangnya rencananya mau berapa undangan?”, tanya Tante Tata.
“Maksimal 150, lah, Tante. Sesuai juga dengan kondisi venue yang seperti itu. Kita memang belum survey, tapi rasanya enggak mungkin juga kita taruh 1000 orang di pinggir pantai.”, jawab Ganesha, mencoba bercanda. Yang lain tertawa, cuma Mama yang terlihat masih kurang sreg.
“Habisnya Mama enggak enak nanti kalau ditanyain tetangga.” Keluar juga ganjelan itu dari mulut Mama.
“Bilang saja kawinannya di luar kota, Mam. Tapi nanti diadain syukuran kecil di rumah, gitu. Orang-orang sini enggak suka usil, kan?”, Papa membela kami berdua. Wah, kayaknya Papa sudah mulai masuk tim kita, nih! Asyik!
“Kemarin saya dan Pucil juga sudah bikin daftar tamu, untuk gambaran awal saja, nih, Om, Tante. Dari pihak saya mungkin ada 50-an orang yang datang. Terus... hmmm...”, Ganesh melirik aku.
“... dari kita, kalau bisa datang semua mungkin ada 80-90an orang. Dan itu sudah termasuk keluarga dan teman-teman.”, aku menambahkan.
“Jadi pas lah.”, kata Ganesha lagi.
“Sisanya kita bisa edit lagi sambil jalan, Mam. Pasti nanti ada yang enggak bisa datang, atau tambahan nama undangan. Tinggal di atur saja nanti.” Aku melihat ke arah Mama. Sepertinya Mama sudah bisa mulai menerima ide ini. Buat aku, yang penting, kan, kita tidak merahasiakan pernikahan ini.
“Bisa diterima, enggak, kira-kira?” Tanya Papa melihat ke kami semua. Lega sekali aku melihat yang lain mengangguk.


Ganesha
Masalah tamu, sepertinya sudah beres. Semua setuju. Great!
“ Terus apalagi?”, lanjut Papa.
Gua meraih catatan kecil yang dibikin Pucil tadi malam.
“Untuk baju pengantin dan keluarga... hmmm... gimana Cil?”
Sebenarnya bisa saja, sih, gua langsung minta Tante Desi untuk membantu. Tapi, kok, rasanya kurang pas kalau gua yang minta, ya? Bukannya buang badan, nih, tapi enaknya, sih, Pucil yang ngomong.
“Ah, iya. Soal baju. Kita berdua sama-sama enggak ahli di bidang ini, nih. Jadi...”, Pucil melirik ke Tante Desi sambil senyum-senyum.
“Iya iya, pasti Tante bantuin. Tenang saja, Cil. Tapi kalian maunya gimana, nih?”, sambung Tante Desi sambil tertawa.
“Hihi, makasih Tante. Yang kepikiran sekarang, sih adatnya pasti adat Jawa. Kalau nuansanya mungkin hmmm... putih dan biru?” Pucil melihat ke arah orangtuanya, mencoba membaca reaksi mereka. Sepertinya mereka setuju-setuju saja.
“Lha, Ganesha baju pengantinnya biru, dong?”, canda Om Rio sambil tertawa. Gua langsung terperajat.
Wait, itu enggak serius, kan?
“Ya, enggak, dong. Kayaknya lebih baik kalau kebayanya Pucil yang nuansanya biru, ya? Ganesha pakai baju Demang hitam. Supaya nyambung, mungkin ada kain pendek dililit di pinggang yang matching dengan sarung birunya Pucil. Gitu gimana?”
“Kita ikut Tante saja, deh. Pucil sebenarnya kurang tahu baju Demang kayak apa. Bisa diomongin lagi, kan, ya?”, tanya Pucil.
“Iya, kapan-kapan main ke rumah, Cil. Tante banyak buku-buku majalah pengantin yang bisa kamu lihat buat nyari ide.” Semua setuju dan gua terselamatkan oleh ide bagus dari Tante Desi. Fiuuuh!
“Nah, sekarang sisanya, bisa diurus sambil jalan. Katering, dekorasi, undangan, souvenir...”
“Souvenir-nya yang bagus, Cil, dan jangan pajangan. Mama paling sebel kalau dapet pajangan. Malah jadi tempat debu numpuk. “, potong Mamanya Pucil. Gua tertawa mendengarnya. Memang Pucil dulu sempat cerita kalau Mamanya ini alergi debu. Setiap pagi setelah bangun tidur, beliau sering bersin-bersin. Makanya di rumah Pucil juga jarang ada pajangan.
“Oke, itu bisa kita urus belakangan kalau begitu. Sekarang balik ke soal utama lagi: masalah tempat.”, kata Papa.
“Enggak usah di luar kota, lah. Repot, kan, Gan?”, kata Tante Rani sambil tertawa. Pucil melihat ke arah gua dengan khawatir. Gua kemarin memang sempat bilang kalau gua paling ogah repot. Tapi mendingan gua repot sekarang daripada ide itu dibuang setelah kita sudah berjuang setengah jalan.
“Tante Desi takutnya juga kalian enggak akan dapat tempat. Pertama waktunya mepet, kedua hmmm... mahal, Gan. Sayang uangnya mending kalian pakai buat nyicil rumah, misalnya.”
“Atau buat honeymoon?” Om Agus menggoda kamu berdua. Cuma Pucil yang terlihat senyumnya sedikit dipaksa.
“Belum lagi nanti repot ngurusnya, bolak-balik terus.”, tambah Tante Tata.
“Om Rio bisa bantuin kamu booking tempat di hotel bintang lima kalau mau. Atau di tempat mana saja lah, tinggal bilang. Cocokin saja sama budget, dijamin dapat diskon.”, timpal Om Rio. Hmmm… tawaran yang sungguh menggiurkan sebetulnya.
Duh, gawat. Gua bingung harus ngomong apa setelah diserang dari segala arah seperti ini. Pucil juga sudah mulai hilang kata-kata. Lama gua dan Pucil terdiam dan hanya mendengarkan komentar-komentar dari yang lainnya.
“Ya sudah, gini saja. Pada dasarnya kita semua enggak ingin membuat calon pengantin ini enggak bahagia.”, Papanya Pucil akhirnya menengahi. Yang lain tertawa mendengar kata-kata beliau.
“Kita cuma khawatir, kok, Cil, Gan. Takutnya ide kalian ini enggak realistis dan kalian malah kehabisan waktu sementara undangan sudah disebar dan dicetak. Iya, kan?”
Hmmm… masuk akal juga.
“Kita bikin jalan tengahnya saja. Gini, kalau kalian bisa booking tempat di Bali yang sesuai dalam 5 bulan ini, kita ikut rencana kalian. Kalau enggak, mungkin kita bisa ambil tawarannya Om Rio. Gimana, tuh, Yo, bisa enggak kira-kira di-nego buat di booking tanpa DP sampai 5 bulan ke depan?”
Gua kurang tahu apa pekerjaannya Om Rio, yang jelas beliau ini orang penting yang kenal dengan banyak orang penting juga. Enggak heranlah kalau Om Rio kenal baik dengan pengusaha-pengusaha tinggi dan bisa dapat diskon.
“Sepertinya kalau 5 bulan agak kelamaan. Kasihan anak-anak ini, berarti waktunya hanya 2-3 bulan untuk menyiapkan semua kalau ternyata yang di Bali enggak jadi. Kalau Om bilang, sih, lebih baik dibikin tiga bulan saja. Empat bulan maksimal, deh.”, kata Om Rio. Yang lain menyimak tanpa protes, termasuk Pucil yang wajahnya mulai bersemangat kembali.
“Empat bulan? Walah, cepat amat!”, ujar Tante Rani. Yang lain melihat ke arah gua dan Pucil.
“Gimana, nih, calon pengantin? Empat bulan bisa enggak?”, Papanya Pucil melempar tawaran itu kembali ke gua dan Pucil untuk menentukan. Gua rasa Pucil enggak akan mau melepas kesempatan kecil ini untuk mengejar apa keinginannya.
“Oke, 4 bulan, ya, Om?”
“Maksimal.”, tambah Om Rio.
Pucil mengangguk mantap.
Dan begitulah. Rapat resmi ditutup. Meninggalkan PR yang besar buat gua dan Pucil 4 bulan ke depan.
Hmmm... men-survey dan mem-booking venue di Bali dalam 4 bulan? Mungkin enggak, ya?

No comments:

.,.,.,.,.

Loading...