Tuesday, June 16, 2009

BERCAKAP AWAN PADA BATU



Ini adalah hari berbentang biru di atas kepala. Tepat seperti hari kemarin, kemarin dulu, dan sebelumnya. Bahkan selama yang dapat diingat oleh Batu, ini adalah hari yang sama. Selain belahan langit, hanyalah hamparan biru diam di kaki. Sesekali angin mendesau melintas, memberi gerak hidup di hamparan jernih. Menghadirkan rasa yang tidak sama di hati Batu.

Entah pada lintasan ke berapa, angin datang tidak sendiri. Kecil awan putih mengikuti di belakangnya.
“Hai, Batu! Apa yang sedang kaulakukan di situ?” ringan tubuhnya menghampiri Batu. Batu mendongakkan kepala dan menatap putih kapas berkilau berlatar biru. Tersenyum Batu menemui pengisi keluasan yang kosong.

“Aku mengawani Air dan Langit di sini,” tipis senyum Batu.
“Heh?! Mengawani?” tanya muncul di muka wajah kapas itu.
“Iya, aku menjagai Pantai,” terang Batu.
“Heh?! Menjagai? Maksudmu, kau akan terus di sini?” heran Awan melihat anggukan Batu.
“Tidak akan pergi-pergi?” sekali lagi tanya Awan dijawab gelengan Batu.
“Selamanya?” yakin Awan.
“Iya. Kujagai Pantai ini kala Air dengan kekuatan penuh bermain di tepinya. Atau kala langit menyimpan luka yang dalam hingga mendung mengaburkan Pantainya. Aku lah penjaga pantai ini.”

“Eh?!” heran yang membebani Awan membuatnya melayang rendah di atas Batu. Memberi teduh pada hati Batu. Senang akan hadirnya keindahan yang baru, Batu tersenyum maklum pada Awan.
“Awan, kau masih begitu kecil, belum banyak yang kau lihat sepanjang lintasanmu sebelumnya.”
“Batu, apakah kau tak pernah merasa bosan? Langit di atas begitu jauh untuk mendengar suaramu. Air di kakimu terlalu dingin dan bisu,” Awan sejenak lembut menyentuh tubuh Batu.
“Tapi siapa yang akan menjagai Pantai jika aku pergi?”

“Kalau begitu aku akan mengawanimu menjagai Pantai ini,”Awan berputar menari mengelilingi Batu.
Hangat hati Batu mendengar riang Awan. Tidak, hangat itu tidak sama dengan lecutan Mentari di punggungnya.
“Dengan cara bagaimana hendak kau kawani aku?” tak pernah Batu melepaskan senyumnya.
“Tentu saja dengan tetap berada di sini. Aku akan mengambang rendah untuk bisa mendengar suaramu. Jika Mentari datang, aku bisa melindungi sebagian tubuhmu.” Awan Kecil terlihat bersemangat.
“Maumukah itu Awan, untuk datang ke pantai ini?” tanya Batu tenang.
“Mmm... Angin yang membawaku. Sesungguhnya tak pernah aku bermimpi untuk berada di Pantai ini,”kenang Awan pada perjalanannya.

“Tapi tak apa bukan. Sekarang maukuku sendiri untuk tetap ada di sini,” cepat lanjutnya.
“Bagaimana jika Angin yang lain melintasi Pantai ini lagi?” tanya Batu. Ia bayangkan si Awan Kecil akan pergi menemui teman-temannya. Dan kembali bentangan biru kosong yang tersisa. Diam Awan atas tanya Batu.

“Tapi aku ingin tetap di sini,” bisiknya lirih. “Ah! Bisa kuubah diriku menjadi hujan! Dan akulah Air yang bermain di jemari kakimu,” membeliak mata Awan, merasa menemukan jawaban yang tepat.
Batu menggeleng, tersenyum lembut pada Awan.
“Perjalananmu masih jauh sebelum menjelma menjadi butiran air. Lintasilah berjuta pantai. Turutilah tiap desau angin. Pergilah ke mana ia membawamu. Hingga akhirnya kau tahu, sudah tiba waktunya bagimu meluruhkan diri dalam wujud jutaan tetesan air. Saat itulah akan ada Batu lain yang menantimu.”
Hening menyelimuti Pantai, menciutkan tubuh Awan.

“Tidakkah Langit akan kembali sepi jika aku pergi?” tanya Awan pada akhirnya.
Gagu Batu pada tanya Awan.
“Memang... Tapi tak mungkin kau isi kosong langit di sini. Belum, belum saatnya,” lirih Batu menjelaskan. “Tubuhmu begitu mungil dan ringan. Selintas angin perlahan pasti bisa membawamu ke Pantai yang lain.”
Hening kembali membungkus Pantai. Putih wajah Awan perlahan-lahan mulai memudar.
“Jadi kau tak ingin aku ada di sini?” tanya Awan perlahan. Tak terdengar jawaban apa pun dari Batu yang kini tenggelam dalam riak biru Air.
“Batu...,” Awan memanggil hampir putus asa.
Waktu serasa terhenti dalam hening yang menyesakkan. Dan saat ujung Angin sejenak melalui Pantai itu, Awan Kecil perlahan-lahan menepi menjauh.
Makin kelabu wajah mungil yang semula putih kemilau itu.

Sekian lama waktu berlalu...
Hei, lihatlah! Berjuta butiran air kini turun dari tubuh Awan Kecil. Air matakah itu? Namun Awan kini telah menjauh dari Batu yang terus bernaung sepi.

Belitung & selesai di Jakarta, Juli 2009
satu lintasan dalam perjalanan sepi

No comments:

.,.,.,.,.

Loading...