Thursday, June 18, 2009

Chapter 12



Pucil
Send text to: Ganesha
Gan, aku sdh hampir boarding. Ketemu sbtr lg, ya. Aku jg kangen, byk yg ingin aku ceritain. Kisses.

Sending.
Message sent.

Langit Jakarta sudah gelap ketika pesawatku mendarat. Untung waktu terbang tadi tidak hujan. Walaupun aku senang dengan hujan, aku selalu benci terbang di dalamnya. Berita tentang pesawat jatuh belakangan ini menghantui pikiranku setiap terbang.
Ransel jagoanku sudah di tangan ketika jam menunjukkan pukul setengah delapan malam. Pas, pikirku, tidak terlalu malam. Aku berjalan keluar terminal bersama para penumpang lain. Malam ini airport ramai sekali, kelihatannya kedatangan pesawatku berbarengan dengan sejumlah besar pesawat lainnya. Di tengah hiruk pikuk itulah aku menangkap sesosok berkacamata yang aku kenal berdiri di tengah jejalan wajah sumringah para penjemput. Mawar-mawar merah yang ada di genggamannya yang pertama kali menarik perhatianku.
Ganesha dan mawar? Hahaha, enggak banget! Tapi ini sudah jadi khasnya dia kalau merasa bersalah. Selama kita pacaran, terhitung hanya 3 kali dia memberi aku mawar. Satu kali ketika aku ulang tahun, tahun pertama kami pacaran. Niat mulianya yang ini bukan tergerak dari perasaan bersalah sepertinya, sih. Dua ulang tahun setelah itu mulus berlalu tanpa mawar. Hahaha. Satu kali lagi ketika dia sukses membuatku menunggu 2 jam di lobi kantornya. Yang terakhir ketika dia lupa jemput aku, Bon-bon, Ririn, dan Edwina di airport sepulang liburan dari Bali. Waktu itu yang mencak-mencak bukan aku, tapi Edwina. Akhirnya Ganesha harus menyogok dua perempuan murka: aku dan si Madam Medusa. Dan sepertinya, sih, orang yang kedua aku sebut tadi yang lebih ditakuti Ganesh.
Aku menghampiri Ganesh yang sudah tersenyum sejak pertama melihatku. Tangannya langsung terbuka lebar menyambutku. Hmmm... wangi badannya selalu bikin aku kangen.
“Maaf, ya.”, katanya pelan sambil mengambil alih ransel besar dari punggungku.
“Mawarnya buat sogokan, ya?”, godaku sambil tertawa. Yang digoda hanya tersenyum malu, kelihatan lega melihatku bisa bercanda lagi. Kita berdua berjalan keluar sambil bercanda-canda.
“Sudah makan, Cil?”
“Belum. Cuma snack nasi goreng tadi di pesawat.”, jawabku.
“Hoka Hoka Bento, mau?” tanyanya sambil melirik jahil. “Mauuu!”, jawabku cepat. Itu memang salah satu favoritku sejak dulu. Mayonaisenya itu, lho, meleleh di lidah! Sepertinya ini sudah jadi senjata kedua Ganesha untuk bikin aku senang, setelah mawar tentunya. Jadi kita langsung mengantri Hoka-hoka Bento di pinggir terminal.
Bon-bon tidak pernah suka makan di airport. Dia selalu bilang suasananya terlalu berisik dan semuanya serba ‘minimalis’. Ya senyum pelayannya, ya perabotannya, sampai kebersihannya. Tapi aku bukan Bon-bon. Aku sama sekali tidak keberatan makan di sini. Tambahan lagi, duduk di pinggir airport membuatku bisa melihat kesibukan dan ekspresi orang lain yang datang dan pergi. Dan kalau ada Ririn di sini, kami berdua bisa tahan duduk berlama-lama sambil menyusun skenario gila sambil terpingkal-pingkal. Observasi amatiran lah, tapi justru seru!
“Sebelum kamu cerita, aku mau laporan.”, kata Ganesha setelah kita duduk dengan makanan.
“Lapoyan apha?”, kataku sibuk mengunyah udang tepung.
“Tentang PR kita. Guest list dari pihak aku sudah selesai dibuat. Ada sekitar 40-an orang yang pasti bisa datang.”
Wah, ternyata Ganesha tidak ongkang-ongkang kaki saja, nih, selama aku di Bali. Kemajuan!
“Terus... hmmm... souvenir...”
Wah? Souvenir juga?
“Karena waktunya mepet, aku akhirnya kemarin pesan souvenir di tempat Derry pesan buat kawinannya.”, katanya sambil garuk-garuk belakang kepala.
“Akhirnya jadi apaan?”, tanyaku dengan curiga. Kalau dua cowok sudah berkolaborasi untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan nikahan, mestinya menarik hasilnya.
“Hmmm... nanti aja, deh kamu lihat sendiri. Mudah-mudahan kamu suka. Abisnya butuh waktu sekitar 3-4 minggu untuk bikin sejumlah pesanan kita. Kalau enggak sekarang, enggak ada waktu lagi, Cil.”
Aku tertawa.
“Gan, aku enggak bakal rewel, deh, urusan ini. Bisa apa aja, kok. Cuma Mama, tuh, yang banyak request-nya.”
“Mama kamu pasti suka, deh!”, timpalnya. Hmmm, aku malah tambah penasaran.
“Oh iya. Antiques kemarin telpon, minta supaya kita memilih antara dua warna print-an mereka. Aduh, ternyata susah juga, ya, Cil. Dua-duanya enggak ada yang pas banget soalnya!”
Aku tersenyum geli.
Nah, sekarang ngerasain, kan, apa yang aku alami?
“Terus?”
“Ya udah, akhirnya aku pilih aja, habisnya enggak ada waktu lagi. Mudah-mudahan kamu enggak marah melihat warna yang aku pilih.”
“Lho, kan venue-nya belum dimasukin? Berarti nanti bisa diganti lagi, dong, kalau enggak sreg?”
“Mereka bilang itu bisa menyusul. Tapi kalau warna harus ditentukan sekarang dan akhirnya aku kasih tanda tangan approvement setelah milih. Enggak bisa diubah lagi, Cil. Jadi nanti tinggal masukin nama tempat aja.”
“Hmmm... masalah tempat, Gan...”
“Iya, aku tahu. Kita waktu kita mepet banget. Kamu sendiri gimana survey-nya waktu di Bali?”, potong Ganesha dengan resah.
Aku menggeleng.
“Tempat yang bagus banyak, tapi...”
“Aku ngerti.”, potong Ganesh.
“Aku pikir juga enggak mungkin dapat harga murah di tengah tahun kayak gitu, Cil. Aku tahu kamu ingin banget nikahan kita bisa di Bali. Aku juga ingin banget ngeliat kamu senang. Tapi kalau sudah seperti gini, kita enggak bisa ngotot terus, Cil. Kalau kita harus ngadainnya di Jakarta, aku janji kita bisa bikin sesuatu yang beda.”
Aku terdiam, menatap cowok di depanku dengan haru. Ternyata 3 hari ditinggal ke Bali bisa bikin dia berubah total.
“Tahu enggak, Gan. Tadi pagi aku mimpi buruk.”, kataku pelan.
“Soal venue?”
“Enggak, bukan itu. Aku mimpi kamu malah nikah sama orang lain. Gara-gara... gara-gara aku pergi ke Bali enggak bilang-bilang.”, sambungku.
“Anak bodoh.”, katanya sambil tersenyum.
“Iya, bodoh banget, ya? Tapi Gan... aku jadi kebayang, kalau kamu benar-benar pergi, enggak ada di kehidupan aku lagi, apa jadinya, ya? Waktu terbangun, aku merasa kosong banget. Sedih bukan main. Rasanya aku enggak akan bisa menghadapi semua itu kalau sampai benar-benar kejadian. Makanya sebelum terlambat, aku ingin tanya, kamu yakin mau nikah sama aku? Enggak akan ninggalin aku? Seperti waktu kita putus dulu itu. Kamu tahu, kan, enggak akan ada titik balik kalau cincin sudah di jari.”
Aku dan Ganesha saling menatap tanpa kata-kata. Bagiku, kalau memang ada keraguan, lebih baik diutarakan sekarang, sebelum semuanya benar-benar terlambat.
“Cil, ingat waktu kita ketemu lagi di reuni SMP?”, tanya Ganesha pelan. Aku mengangguk.
Bagaimana aku bisa lupa. Sabtu sore di Pizza Hut Kemang. Ribuan pembicaraan mengalir dari teman-teman, mengisi waktu yang hilang 11 tahun ke belakang.
Apa kabar?
Kerja di mana sekarang?
Masih sama si itu?
Sudah nikah?
Masih tinggal di rumah yang dulu?
Cuma Ganesha yang duduk dengan anteng di bangku ujung, menyapaku nyaris di saat bubaran dan menawarkan untuk mengantar pulang. Siapa yang menyangka obrolan terakhir saat reunian tersebut justru menjadi momen yang paling berarti dalam hidupku?
“Sebenarnya aku yang pertama mencetuskan ide untuk reunian ke Andi. Aku tahu Andi pasti tergerak kalau sudah disentil seperti itu. Aku pastikan juga kamu dengar beritanya. Dan aku datang karena… aku tahu kamu akan datang.”, sambungnya.
“Kamu sengaja mencari aku?”, tanyaku heran. Yang ditanya hanya mengangguk perlahan.
“Kenapa?”
“Karena cuma kamu orang yang ingin aku temui.”, jawabnya sambil tersenyum. Aku tambah bingung. Aku pikir pertemuan kali kedua kami adalah sebuah kebetulan yang luar biasa. Skenario aneh dari Yang di Atas, yang berakhir menjadi sebuah perjalanan panjang yang menyenangkan. Dan sekarang tiba-tiba alurnya berubah! Aku heran mendapati diriku sendiri sedikit kesal mendengar pengakuannya. Dimana romantisme-nya kalau unsur ketidaksengajaan itu hilang dari cerita pertemuan kami?
Lagipula, waktu SMP dulu, bukan aku yang memutuskan untuk putus... tapi Ganesha. Jadi ngapain dia mencari aku setelah bertahun-tahun kami saling menghilang?


Ganesha
Pucil hilang kata-kata mendengar jawaban gua. Dari tatapannya, gua tahu ada banyak pertanyaan yang ingin dia sampaikan. Dan gua tahu dia menahannya, menunggu gua meluncurkan cerita itu dari mulut gua sendiri.
“Kamu tahu, kan, dari kecil aku sudah tinggal jauh dari keluarga. Walau teman-teman yang lain menganggap hal itu keren, buatku itu enggak mudah. Enggak akan pernah mudah. Mereka enggak pernah tahu apa rasanya cuma bisa berbicara dengan ibumu lewat telpon, atau melihat temanmu yang lain nongkrong dengan kakaknya, atau makan dengan bangku kosong di meja makan. Semuanya bikin aku jadi pemberontak, menjadi pemarah. Tapi ketika aku kenal kamu, semuanya berubah Cil. Kamu membuatku merasa… punya rumah lagi.”
Pucil enggak bergeming mendengar ucapan gua.
“Waktu putus dulu aku bilang kalau kita enggak cocok lagi. Aku malah pakai alasan ujian kelulusan segala lah.”
Gua tertawa mengingat masa-masa itu. Dasar ABG, enggak kreatif banget nyusun skenario buat mutusin pacar.
“Yang sebenarnya terjadi adalah... aku bingung. Bingung dengan perubahan dalam diriku. Bingung waktu Andi meledek aku jadi anak mami kalau kamu ada. Bingung kenapa aku bisa jadi begitu lembek ketika pacaran sama kamu. Sampai aku bikin keputusan bodoh untuk melepaskan kamu, yang kemudian aku sesali tanpa ada habisnya.”, sambung gua, menatap lekat-lekat kedua mata Pucil yang enggak putus menatap gua balik.
“Lucu kamu bilang gitu, Gan. Karena buat aku, kamu itu air, yang dengan mudahnya berbaur dengan orang lain. Aku pikir kamu dengan mudah bisa mencari penggantiku. Kamu enggak tahu aja ada berapa teman kita yang sejak dulu naksir kamu”, ujar Pucil, membuat gua terkekeh.
Gua tahu, lagi, Cil. Tapi semuanya enggak penting sejak ketemu kamu.
“Iya. Tapi kamu lupa, cuma kamu yang bikin aku jadi air. Dengan yang lain, aku adalah batu yang enggak pernah mau tahu. Jadi tentang pertanyaan kamu tadi, jangan pernah kamu tanyakan lagi, karena aku hanya mau nikah sama kamu, bukan orang lain.”, jawab gua, membuat Pucil kembali terdiam dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Dan cuma sama kamu, gue bisa jadi dangdut gini, Cil. Suwer! Kalau ada Derry di sini, bisa mati ketawa dia mendengar kata-kata gua barusan. Gua memegang tangan Pucil, memain-mainkan ujung jarinya dengan pelan.
“Iya, kita memang sudah berusaha banget supaya bisa punya nikahan impian. Tapi kalau sudah mentok seperti ini, Cil, jujur... aku enggak peduli lagi. Biar kita jadinya nikah di halaman belakang rumah orang lain, pun aku enggak peduli. Karena bukan itu yang penting.”
Gila! Romantis banget gua hari ini! Hahaha! Tapi Pucil malah tersenyum dikulum sambil meremas pelan jemari gua.
“Tentang itu, Gan, sepertinya ada titik terang.”, katanya.
“Ingat Toska, kan? Aku akhirnya ketemuan dengan dia di Bali. Memang sempat ada insiden kecil waktu pertama kali ketemu dia, tapi belakangan dia malah bantuin kita. Last minute sebelum aku berangkat ke airport dia baru cerita kalau ternyata Om-nya punya villa kecil di daerah Seminyak yang baru renovasi dan akan dibuka kembali awal Agustus nanti. Dan ternyata villa kecilnya itu enggak kecil-kecil banget. Aku sudah mampir ke sana sebelum pergi ke airport. Cocok banget, Gan, buat nampung sekitar 100-150 orang. Pemandangan lautnya juga cantiiik banget, deh. Aku langsung jatuh cinta pertama lihat”, ceritanya penuh antusias.
“Nah! Karena insiden kecil itu bikin Toska merasa bersalah, dia menawarkan tempat itu sebagai venue kita. Katanya dia juga sudah bicara dengan Om-nya untuk memberi kita diskon besar. Hitung-hitung diskon soft opening juga lah. Publikasi yang bagus karena tamu kita kan bukan domestik saja.”
“Jadi?”
“Jadi, kita berhasil dapat tempat! Itu juga kalau kamu setuju, lho. Tadi sore tempatnya aku sudah potret, kita bisa lihat lagi nanti.”, jawab Pucil tersenyum lebar.
Gua melongo. Takjub dan kaget jadi satu.
Serius, nih? Akhirnya dapat tempat juga?
“Nah, sekarang tinggal bilang ke Om Rio kalau dia kalah.”, lanjut Pucil enggak lepas dari senyum lebarnya, membuat tawa gua lepas.
“Kalau soal itu, sih, gampang, Cil. Yang tadinya kepikiran terus, kan, gimana cara ngalahin Om Rio. Hehehe. Gila, aku lega banget sekarang! Ya, udah, kita ngomongin detailnya sambil pulang, yuk! Sebelum orang rumah mulai curiga kalau kamu enggak nginep di rumah Edwina. Besok-besok kamu enggak boleh gini lagi, ya. Aku benar-benar khawatir kamu hilang, lho!”. Kataku sambil beranjak dari tempat duduk.
Ah lega, siapa yang nyangka kalau semuanya bisa berjalan seperti ini?
“Eh iya, Cil... ngomong-ngomong, insiden kecil apaan, sih, yang kamu maksud? Kalian pasti berantem, ya?”.
“Iya, dia yang nyari gara-gara soalnya, Gan.”, jawab Pucil.
“Hehehe. Dasar cewek, kerjanya marahan terus.”
“Ya, itu, lah, Gan, permasalahannya.”
“He?”
“Toska itu ternyata cowok.”, jawab Pucil dengan enteng.
Hah?

No comments:

.,.,.,.,.

Loading...