Thursday, June 18, 2009

Chapter 13


Pucil
Badai pasti berlalu.
Kamu percaya dengan kiasan tersebut? Dulu aku mungkin akan menampisnya sambil bercanda. Aku memang percaya manusia akan tergerak menuju apa yang diinginkannya. Tapi tujuan tidak selalu dapat tercapai, karenanya ada badai yang tidak akan pernah berlalu. Itu yang bikin kita semua jadi manusia, kan? Karena kemampuan kita untuk gagal mendapatkan apa yang kita cari.
Namun aku sekarang menyadari, badai memang pasti akan berlalu, baik tujuan itu tercapai atau tidak. Karena waktu akan terus mengalir dan impian-impian yang lain akan bergulir menggeser yang sudah terlewati. Bahkan di balik kegagalan itu sendiri, akan ada hal lain yang tanpa sadar sudah kita capai. Hanya kita saja yang terlalu sibuk berputus asa hingga tidak menyadarinya.
Yap, sekarang aku percaya bahwa badai pasti berlalu. Terutama setelah melalui seminggu lalu yang sarat dengan manuver. Untungnya semua berakhir dengan baik. Kalau pun tidak, dunia tidak akan berhenti berputar, dan aku percaya Ganesha dan aku tetap akan menikah.
Di mana pun jadinya.
Aku tahu itu.

Setelah kepulanganku dari Bali, waktu serasa berlalu cepat sekali. Senin sorenya Edwina, Ririn, dan Bon-bon langsung mengepung kantorku, menyergap dan menculikku untuk ngopi di tempat favorit kita. Mereka bilangnya, sih, mau ngopi, tapi aku tahu ini akan jadi ajang tanya jawab. Hahaha, dan aku tidak salah, bahkan di sepanjang perjalan menuju Plaza Senayan, ketiga anak itu tidak bisa tutup mulut. Belum puas mereka kalau tidak mendengar laporan lengkapnya dari mulutku sendiri.
Ririn langsung me-‘tuh, kan, aku bilang juga apa!’-kan aku ketika cerita tentang Toska meluncur. Bon-bon melotot dan Edwina nyaris menyalak pedas, kalau saja aku tidak menyebutkan bahwa nikahan di Bali hanya akan jadi mimpi kalau bukan karena Toska. Jadi otomatis dosa Toska termaafkan oleh ketiga sahabatku.
“Tapi awas kalau dia juga berani bohong sama kita!”, ancam Ririn cepat waktu aku bilang mereka akan ketemu dengan Toska nanti di Bali.
Oh iya, ternyata Ririn dan Edwina bisa datang ke kawinanku! Hore! Ternyata banyak sekali untungnya aku pergi ke Bali, walaupun Edwina sempat ngomel-ngomel karena dijadikan alibi palsu untuk rencana nekatku.
“Lain kali mbok, ya, bilang-bilang sama kita. Kok, senangnya bikin orang kebakaran jenggot malam-malam, sih, Cil!”, gerutunya tanpa habis. Aku tertawa sambil sibuk minta maaf.
“Eh, tapi serius, Cil... Kita khawatir betul, lho. Kalau ada apa-apa, enggak soal kawinan ini aja, cerit-cerita, dong. Punya pacar tiga begini, masa enggak dimanfaatkan. Kalau kamu takut ngomong sama Edwina, kan ada aku dan Ririn”, ujar Bon-bon sambil mengacak-acak rambutku. Edwina langsung melancarkan aksi cubitan mautnya ke bahu Bon-bon sambil melotot.
Aku ikut tergelak bersama Ririn dan Bon-bon. Tidak ada habisnya aku bersyukur punya tiga orang ‘pacar’ seperti mereka!

Minggu berikutnya, Ganesha dan para Om serta Tante berkumpul kembali di rumah.
“Wah, jadi, nih, kita liburan!”, kata Tante Tata, mengedipkan mata kepadaku setelah aku memberikan kabar terakhir.
“Yakin, nih, jadi dibatalin pre-booking di tempat andalan Om?”, tanya Om Rio sekali lagi.
“Yakin!”, aku dan Ganesha menjawab nyaris bersamaan.
“Hahaha, kompak jawabnya. Tandanya udah pas, deh!”, kata si Om.
“Hebat kalian. Om Agus salut. Tadinya Om pikir nikahannya pasti di Jakarta. Untung uang buat beli tiket ke Balinya belum dibelanjain, Cil.”, gurau Om Agus.
Yah, Om, kita pikir juga tadinya bakal nikah di Jakarta! Aku melirik Ganesha yang sepertinya punya pikiran yang sama.
“Jadi semuanya sudah fix, nih, ya, Gan? Tempat sudah, undangan sudah, daftar tamu ada, apalagi?”, tanya Papa.
“Penghulu gimana, Cil? Jangan sampai kelupaan, tuh. Nanti enggak jadi nikah kamu.”, Tante Rani mengingatkan.
“Sudah ada, kok, Tante. Kita punya teman di Bali yang bantuin soal penghulu. Masalah katering juga kita sudah mulai memilih menu. Dekorasi dan bunga masih dalam progress, nunggu arrangement dari mereka. Sekarang semuanya jadi mudah Om, karena pihak villa benar-benar membantu. Mereka punya banyak pilihan, jadi kita juga tinggal pilih. Nah, kalau souvenir... ehm...”, Ganesha melirik aku.
“Udah juga.”, sambungku.
“Apaan, Cil?”, sambar Mama.
“Pokoknya beres, deh, Ma!”, jawabku sambil tertawa. Ganesha senyam-senyum sendiri melihat Mama melihat kita berdua dengan penasaran.
Kemudian kita semua bagi-bagi tugas, sudah jadi tradisi di keluarga besarku setiap ada pernikahan dalam keluarga. ‘Kepanitiaan’, kalau kata Papa. Kalau Ganesha menyebutnya ‘bagi-bagi repot yang nambah repot’. Aku tertawa saja mendengarnya. Dasar cowok, dibantuin malah ngedumel! Oh iya, bahkan Tante Rani yang biasanya punya banyak pertimbangan tidak banyak menyela hari ini. Percaya, deh, itu rekor besar yang harus dicatat pakai tinta emas di buku sejarah keluarga! Ganesha terlihat lega luar biasa ketika rapatnya bubar. Mungkin dia membayangkan rapat hari ini akan berjalan seperti rapat yang pertama.
Aku dan Ganesha tengah mengobrol dengan santai ketika Mama menghampiri.
“Cil, emangnya souvenir-nya apaan? Kok, kamu enggak bilang ke Mama kalau sudah ada?”, tanya Mama yang rupanya masih penasaran. Ganesha merogoh tasku dan memberikan contoh souvenir kita ke Mama.
“Bintang laut kering?”, seru Mama terkejut.
Ganesha hanya cengengesan sementara aku terbahak-bahak melihat Mama melotot sambil memegang souvenir itu di tangannya.
Yak, marahnya ke Ganesha, ya, Ma. Dia oknum yang bertanggung jawab atas kehadiran si bintang laut kering!


Ganesha
Gua bukan tipe yang suka nyolong barang orang, bahkan dengan alasan mau pinjam tapi lupa bilang. Dan gua paling enggak suka kalau tiba-tiba barang gua menghilang secara misterius dari meja kantor gua. Kalau itu sudah terjadi, gua tahu pasti siapa orang yang bertanggung jawab: Jambrong. Kalau lo kenal dia, lo akan tahu apa yang gua maksud.
Hmmm, bagaimana menjabarkan Jambrong dengan kata-kata, ya? Gua pikir akan lebih mudah mengenali si gondrong satu itu dengan melihat kondisi mejanya. Siapa pun yang melihat mejanya akan tahu mahluk macam apa yang bersemayam di situ. Minimal ada dua gelas bekas kopi duduk di atas tumpukan kertas-kertas. Gelas-gelas itu adalah saksi dari Jambrong yang pulang malam atau malah menginap seharian di kantor. Bukan karena kerjaan, tapi karena dia ogah nyetir pulang. Kalau elo beruntung mungkin salah satu gelas lo ada di situ. Kalau lo sial, berarti Jambrong telah membawa gelas itu entah kemana buat ngopi. Bisa di tangga darurat, di ruang rokok, atau malah di kantor sebelah! Lebih baik lo beli gelas baru daripada menanti kedatangan gelas yang keberadaannya enggak diketahui tersebut. Percuma juga ngomel-ngomel ke dia, karena yang punya dosa cuma akan memberi cengiran maut tanpa ada aksi.
Layar monitor komputernya nyaris enggak terlihat, tertutup oleh kertas post-it warna-warni seabreg. Mulai dari catatan penting sampai pesan para penagih hutang ada di situ. Ya! Beserta ancaman-ancamannya! Belum lagi tumpukan kertas, buku, sampai komik yang tergeletak pasrah di atas mejanya. Nah, sialnya meja berantakan itu berada persis di samping meja gua. Enggak cuma itu, gua adalah satu-satunya tetangga dia, menjadikan gua sasaran empuk untuk hobi panjang tangannya. Enggak terhitung sudah berapa ratus pulpen raib dari meja gua. Itu baru pulpen, belum lagi kertas-kertas penting, discman, sampai mouse pun kadang-kadang diembatnya karena mouse-nya mogok jalan.
Nah, satu-satunya momen yang bikin gua jadi ikut nyolong barang, adalah ketika notes gua menghilang di saat gua butuh untuk mencatat sesuatu yang penting. Dan notes Jambrong lah yang jadi sasaran. Pertama karena barang itu tergeletak persis di samping gua. Kedua, karena gua tahu anak itu pasti bertanggung jawab atas hilangnya notes gua.
Tapi gua mensyukuri tindakan tersebut, karena ternyata notesnya Jambrong bagus dan masih perawan semua halamannya. Hahaha. Sampai sekarang notes itu masih gua pakai untuk mencatat perkembangan nikahan. Maklum, dana masih kurang untuk beli PDA. Lagipula PDA kegedean, enggak praktis buat gua yang sering banget menjatuhkan gadget.
Malam ini, lagi-lagi gua berduaan dengan notes Jambrong yang terbuka lebar.

Plans of action!
Juni
- Ambil undangan
- Cek makanan
- Ngasih potongan kertas tanda terima kasih ke orang souvenir untuk disematkan di packaging souvenir kita.
- Collect alamat (+ e-mail) para undangan
- Fitting  Jam 3 @ Tante Desi
- Issued tiket ke bali buat keluarga Pucil dan kita berdua
- Booking kamar dan mobil buat jalan
- Update itenerary buat nikahan  Om Agus + Papanya Pucil + Pucil

Juli
- Ambil souvenir
- Nyebar undangan
- Fitting... lagi!  jam 5 @ Tante Desi
- Bikin pas foto sama Pucil buat buku nikah.  Harus potong rambut dulu!
- Kasih settingan tempat duduk ke PO dari villa.

Agustus
- Terbang ke Bali  cek lagi semua barang yang harus dibawa (souvenir, baju, apa lagi?)
- Foto prewedding  harus, ya, Cil?
- Rapat dengan semua pihak (keluarga + villa ) @ lobby jam 4 sore.
- Cek ulang penghulu dan semua persiapan (Bunga, seating arrangement, menu, frame foto prewedding) dari pihak villa
- Rehearsal, 7 Agustus  jam 4 sore @gazebo.
- Cek setting tempat duduk dan makanan
- GO SHOW!!!!

Hampir semua undangan sudah sampai ke tangan yang bersangkutan, ada satu dua yang harus dikirim ulang, entah nyasar di mana. Semoga saja enggak ada orang asing yang tiba-tiba nongol di kawinan gua nanti! Di dua bulan pertama, checklist gua sudah penuh dengan coretan. Syukur banget semuanya berjalan dengan baik. Enggak kebayang kalau harus terpontang-panting kayak awal-awal lagi.
Daaan, tahu-tahu sudah masuk bulan Agustus. Hah, cepat banget! Kemarin gua tiba di Bali, bersama Pucil dan keluarganya. Begitu sampai, kita berdua langsung dikejar jadwal untuk foto prewedding. Aduh, malas banget! Gua paling sebal difoto, apalagi yang pakai gaya-gayaan. Dari awal gua sudah wanti-wanti ke Pucil kalau gua enggak mau pakai gaya picisan. Untung stylish¬-nya asyik dan gua cukup puas melihat hasil-hasil foto mereka.
Keluarga gua baru sampai dua hari setelahnya. Siapa yang nyangka kalau suatu hari gua reunian sama keluarga di sini. Reunian, hahaha, cuma gua kali yang bisa menggunakan kata ini buat menjabarkan pertemuan dengan keluarga sendiri. Tapi gua senang melihat mereka semua excited. Enggak pernah-pernahnya gua ngeliat nyokap antusias kayak begini. Gua sampai malu sendiri dipeluk cium bertubi-tubi oleh beliau waktu gua jemput di airport.
Kemarin gua seharian duduk sama nyokap bokap, update mereka tentang susunan acara. Oh iya, itu pertama kali juga mereka menghabiskan waktu yang cukup lama bersama Pucil. Lucunya bukan Pucil yang grogi, malah gua! Enggak adil, nih, waktu minta izin nikah dulu, gua yang panik setengah mati. Masa sekarang juga iya? Tapi ternyata kekhawatiran gua enggak beralasan, karena tahu-tahu Ai’, Amy, Nyokap, Nyokapnya Pucil dan Pucil sudah sibuk keliling Bali buat belanja. Amiiin... amin! Belakangan bokap ngasih dua jempol waktu gua tanya pendapatnya tentang Pucil. ‘Enggak salah pilih, Gan.’, kata beliau. Sudah gua duga, siapa pun akan jatuh cinta sama cewek gua. Huhuy!
Lalu tiba saatnya gladi kotor. Kita dibantu sama Mas Dadang, koordinator dari Villa yang sudah hapal urusan nikah-nikahan di luar kepala. Orangtua kami juga ada di sana dan tentu saja Om Agus dan Tante Rani yang bertanggung jawab untuk soal jalannya acara. Nah, waktu pertama kali Pucil bilang kita akan ada gladi kotor, gua sebenarnya sudah mau protes. Gila, sejak tiba di Bali, belum satu hari pun gua bisa santai-santai. Sibuk banget mondar-mandir ngurusin hal-hal enggak penting kayak pengaturan bunga. Man! Siapa juga yang peduli kalau itu bunga mau di taruh berderet di sepanjang pinggir kolam renang atau berkelompok di setiap ujungnya? Itu baru satu contoh kecil. Belum sejuta hal yang lain yang bikin tidur gua enggak nyenyak selama di Bali. Jadi lo ngerti, kan, kenapa gua bete?
Tapi untungnya gua enggak jadi protes, karena ternyata gladi kotornya itu penting! Semua jadi tahu dengan jelas urutan acara. Harus jalan kemana, duduk di mana, dan bagaimana urutan acaranya, berapa lama harus dijalanin, hal-hal kecil gitu, deh. Satu lagi yang paling penting, gua jadi tahu betapa sulitnya mengucapkan kalimat hijab kabul dengan lancar dan tanpa putus! Iya, lo boleh ketawa sekarang. Sepotong kalimat itu memang terlihat mudah sekali diucapkan, tapi coba lo ucapkan di tengah tatapan seribu mata yang menunggu dengan penuh harap! Gua jadi penasaran berapa kali si Derry latihan sampai bisa ngucap lancar waktu kawinannya dulu. Untungnya setelah tiga kali salah terus, gua berhasil juga. Supaya tambah lancar, malamnya gua sibuk menghafal ijab kabul yang sudah ditulis Pucil di selembar kertas. Sampai lecek itu kertas gua pegang terus! Ai’ cekikikan sendiri melihat gua berlatih sibuk berlatih.
“Tumben. Biasanya sudah hapal di luar kepala semua Q-card buat event lo, Mas.”, ledeknya sambil tertawa-tawa.
Rese!
Hmmm... sekarang sudah jam 9 malam, gua dan Pucil baru balik ke hotel dari dinner dua keluarga di Cafe Warisan.
Jam 9 malam.
Berarti enggak sampai 24 jam lagi, gua dan Pucil akan menikah. Jantung gua kebat-kebit sendiri setiap mengingat fakta itu. Kira-kira gua bisa tidur nyenyak enggak, ya, malam ini?

No comments:

.,.,.,.,.

Loading...