Thursday, June 18, 2009

Chapter 8



Pucil
Guess what? Jadwal untuk undangan hari ini buyar! Mas Eko dari Antiquez yang ekslusif bikin undangan buat aku hari ini cuti sakit. Katanya dia kena typhus dan harus absen selama minimal seminggu. Minimal! Ini berarti pengerjaan undanganku terancam berhenti selama itu juga! Menurut Antiquez, undanganku tidak bisa dipegang oleh orang lain karena ternyata insentif per orangnya berdasarkan suksesnya undangan yang selesai dikerjakan per individu. Tidak enak kalau sudah setengah jalan dikerjakan oleh si A, tahu-tahu ganti tangan ke si B, kata mereka.
Aku marah mendengarnya. Gimana, sih? Kok, malah sibuk ngurus soal insentif, padahal klien mereka kan punya time table ketat yang harus ditepati! Ini urusan serius, soal kawinan orang, bukan sekedar pesta ulang tahun! Setelah aku protes, mereka baru bilang akan diusahakan dikerjakan oleh orang lain, dengan catatan kalau ada karyawan yang sudah nganggur. Aku skeptis. Kedengarannya seperti janji jejadian saja!
Aaargh, aku pusing kepala, aku marah! Mencoba menelpon Ganesha malah tidak aktif. Barangkali sedang meeting penting karena acara launching besarnya besok. Mana bisa diganggu gugat? Atau sengaja menghindari aku? Aduh, sudahlah Cil, tidak ada ruang di kepala saat ini buat kecurigaan yang tidak-tidak.
Good news-nya kemarin aku dan Tante Desi berhasil menemukan kebaya yang cantik dengan harga murah. Eureka! Kebaya broken white bordiran dari Prancis kata penjualnya. Pas banget 2 meter habis, berarti memang jatahku, nih. Thanks to Tante Desi yang sudah jadi pelanggan tetap di sana, aku dapat discount lumayan per meter-nya. Plus Tante Desi mengabarkan kalau beliau sudah berhasil mendapatkan bala bantuan buat make-up pengantin di Bali. Jadi satu urusan sudah beres, tidak perlu dipikirkan lagi. Sekian beban sudah terangkat dari pundakku.
Nah, hari ini tadinya aku berniat pulang kantor lebih awal. Aku sudah janjian dengan Tante Desi di Kebayoran untuk mencari kain buat baju Demangnya Ganesha, Papa, dan Papanya Ganesha. Tapi aku benar-benar lupa kalau hari ini adalah hari Jumat alias hari macet se-Jakarta. Hasilnya aku terlambat sejam. Tante Desi sampai sempat-sempatnya makan di restoran Padang di sana. Untungnya ada Mbak Elly, asisten Tante Desi yang hari ini ikut. Kalau tidak, kasihan banget Tante Desi harus nunggu sendirian. Sialnya, karena terlambat sampai sejam, toko kainnya sudah tutup! Akhirnya jadwal nyari kain buat Ganesha harus diundur sometime minggu depan karena weekend ini Tante Desi harus menyiapkan 200 baju daerah buat shooting di TV. Bencana besaaar!
Dua masalah selesai, tapi 1000 masalah baru muncul ke permukaan. Dan semuanya punya deadline yang ketat! Uh, aku harus mengingatkan Ganesha untuk cepat-cepat ngasih kepastian kapan bisa terbang ke Bali. Pekerjaan yang tidak mudah, karena belakangan ini anak itu ditelpon saja sering tidak bisa. Pulangnya malam dan langsung tidur kecapekan begitu kena kasur. Aduh, mudah-mudahan setelah acara kantornya, dia bisa lebih konsen untuk bulan Agustus.
Oh, where are you girls, i’m deperately needing you all!


Bon-bon
Damn, today everything went so slow. Pertama, modelnya datang terlambat. Kedua, Rudy motretnya lama banget, pakai acara nyoba-nyoba teknik baru pula! Kayak enggak sadar hari ini kita dikejar deadline. Mana aku harus balik lagi ke kantor buat mengecek hasil editannya Rudy pula. Besok pagi jam 9 semua foto-foto harus sudah masuk ke meja si bos. Akhirnya baru jam 8 malam selesai. Pulangnya pakai acara terjebak macet setengah jam di Cilandak, like always. Untung juga sih, soalnya pas mendekati daerah Senayan, tiba-tiba Pucil SMS ngajak ketemuan di Plaza Senayan. Dari bunyi SMS-nya aku tahu ini SOS. Aku langsung banting setir ganti tujuan ke arah tengah.
Waktu kutelpon, Edwina pas banget tengah belanja di Plaza Senayan buat keperluannya Andien. Aku tahu, dia pasti enggak bisa lama-lama karena dijemput Mas Arief. Tapi dia tetap kepingin datang. Katanya, biar cuma sebentar, yang penting dia bisa ikutan. Mungkin dia tahu Pucil butuh kuping-kuping kami. Nah, kalau begitu aku sekalian jemput Ririn saja. Biar enggak ada alasan untuk tidak ikutan. Anak itu suka malas bayar taksi, katanya argonya suka melambung karena macet. Enggak seimbang sama jaraknya yang cuma selangkah dua langkah dari Plaza Senayan. Make sense, dengan macet seperti ini, siapa yang ingin terjebak di tengahnya?


Edwina
Setengah jam gue menunggu di Coffee Bean Plaza Senayan. Lumayan, sudah 1/3 vanilla latte gue habis sambil baca beberapa free magazine. Baru akhirnya kelihatan batang hidung oknum-oknum yang katanya 15 menit yang lalu sudah sampai PS. Kebiasaan banget, deh! Tapi untung juga gue duluan, jadi bisa menyusun rencana untuk menyampaikan berita enggak enak ini ke mereka.
Pucil memesan teh camomile. Pertanda lagi otaknya lagi hamil tua, banyak pikiran. Ririn dan Bon-bon sama-sama minum coklat mint. Seperti biasa, Ririn lebih suka hangat, sementara Bon-bon dingin pakai es. Enggak ada yang berubah.
“Tumben dadakan SMS-nya. Biasanya sehari sebelum ketemuan ngasih tahunya. Untung gue lagi di sini juga.”, kata gue. Bon-bon dan Ririn cuma melihat Pucil, menunggu si empunya acara menjawab.
“Kepalaku mau meletus.”. Nah, keluar juga unek-uneknya.
“Soal undangan lagi, Cil?”, tanya Ririn sambil meniup-niup mug coklatnya yang mengepul.
“Ya undangan lah, baju lah. Semua enggak ada yang beres! Gila, ini kayaknya cuma aku doang, deh, yang ngurusin semuanya.”
“Ganesh still busy?”, tanya Bon-bon. Pucil langsung merengut mendengarnya.
“Cil, memang harus gini, kok. Kalau mengharapkan cowok yang ngurus, bisa enggak jadi kawin, lo.”, kata gue mencoba bercanda. Tapi Pucil malah makin merengut. Wah, salah langkah, nih.
“Undanganku terancam terbengkalai seminggu. Eh koreksi, sudah pasti terbengkalai seminggu. Gara-gara yang bikin lagi sakit. Udah gitu enggak ada orang yang bisa gantiin dia buat back up ngerjainnya.”, ujar Pucil menggebu-gebu.
“Hah? Serius, lo?” gue kaget. Dengan waktu yang Pucil punya sekarang , jelas enggak ada ruang buat eror dari timetable. Bahkan walau hanya seminggu. Sadis juga mereka!
“Sudah diomongin belum sama mereka?”, tanya Ririn yang masih mencoba menyeruput coklat panasnya.
“Progress-nya sudah sampai mana, sih, Cil?”, tanya Bon-bon.
Pucil menghela nafas untuk yang kesekian kalinya. Walaupun dia terlihat tenang, tapi tangannya enggak berhenti mengetuk-ngetuk meja dengan pelan. Bolak-balik berganti posisi duduk dengan gelisahnya, seperti duduk di atas kursi berpaku,.
“Masih printing buat cari warna, Booon, belum ketemu juga warna yang dicari. Aduuuh, aku kesal banget, deh. Aku sudah bicara sama Mbak Eti, yang punya Antiquez. Tapi dijawab cuma gitu-gitu aja. Enggak terlihat ada concern-concern-nya sama sekali. Daripada aku marah besar sama dia dan berakibat undangannya dibuat asal-asalan, mending aku buru-buru keluar dari situ.”, jawab Pucil.
Kita bertiga sejenak hanya melongo, enggak tahu harus bicara apa.
“So sorry to hear that, Cil...”, kata Ririn akhirnya.
“Yang lain gimana? Baju? Souvenir? “
“Iya, katanya baju sudah bisa ditinggal, kan? Lagi dikerjain sama tante lo?”, kata gue sambil mengaduk-aduk vanilla late gue yang sudah dingin.
“Iya, untungnya sudah. Tinggal baju buat cowok-cowok. Buat si Ganesh.” Kata ‘Ganesh’ diucapkan Pucil dengan penuh penekanan. Ririn memeluk Pucil.
“Sabar Cil. Ganesh juga pasti berusaha menyelesaikan bagiannya. Coba nanti malam kamu telpon, deh.” Di situ kelihatan banget Pucil berusaha menahan tangisnya.
“Rencananya memang aku dan Tante Desi hari ini mau nyari kain baju Demang buat mereka. Tapi karena macet, aku terlambat sejam dan tokonya sudah tutup.”, lanjut Pucil sambil cemberut.
“Yuk, aku temenin besok. Sekalian aku mau nyari bahan buat bikin dress.”, kata Bon-bon sambil meremas tangan Pucil dengan pelan.
“Heh? Lo nyari bahan buat bikin dress... lagi?”, potong Ririn cepat. Gue tertawa. Dasar Bon-bon si ratu borju, 1000 baju enggak akan pernah cukup.
“Iya, kenapa? Mau ikut?” Bon-bon tersenyum jail.
“Bukannya lo kemarin baru kalap belanja di sale-nya Mango??”
“Iya, terus?”, kata Bon-bon sambil pasang ekspresi enggak bersalah. Pucil tertawa. Akhirnya! Huh, lega gue mendengar anak tertawa lepas.
“Sudah, berantemnya belakangan saja, bikin session sendiri nanti lo berdua. Cil, kita pasti bantuin, deh. Tenang saja. Tinggal bilang saja sama kita, enggak usah malu. Apa yang bisa kita kerjain sekarang?”, kata gue sambil tersenyum.
“Eh, ngomong-ngomong kapan lo mau ke Bali buat survey, Cil? Sudah jadi belum booking tiketnya?”, potong Ririn. Wah, iya, gue sampai lupa soal itu. Pucil memang harus pergi ke sana, sudah tinggal sebulan lagi ini waktunya.
“Sudah aku booking, sih, rencananya untuk 2 weekend dari sekarang. Tapi belum aku issued. Nunggu kabar dari Ganesha dulu untuk memastikan tanggalnya.”, kata Pucil. Wajahnya kembali mendung.
“Yah, jadi belum tau, dong?”
“Iya, tapi aku sudah bilang ke Ganesh. Mudah-mudahan malam ini dia bisa ngasih keputusan bisa tidaknya berangkat ke sana. Aduh, aku senang banget bisa curhat. Sudah agak lega sekarang. Sampai di rumah nanti aku mau telpon Ganesha, deh, mudah-mudahan anak itu enggak kecapekan lagi jadi bisa diajak ngomong. Sekalian nanyain perkembangan guest list. Oh iya, kalian pasti bisa datang kan, ya?” Pucil sudah terlihat agak ceria, sekarang giliran gue yang berkabut. Oh, this is going to be hard to tell.
Tapi ketika gue hendak berbicara, Ririn sudah duluan membuat kita semua terkejut.
“Aku... sepertinya aku tidak bisa, deh, Cil.”


Ririn
Kalau ada penghargaan untuk kategori ‘manusia yang paling sering kecewa’, maka di antara kita berempat, aku lah yang paling berhak menerimanya. Sekali lagi, ini satu paket dalam nasibku sebagai anak bungsu dan perempuan satu-satunya dalam keluarga.
Semasa SD, ketika anak-anak yang lain biasa jajan otak-otak, bubur ayam, atau limun stroberi di warung depan, aku harus puas makan apa yang ada di dalam kotak makan siangku. Bukan berarti makan siangku tidak enak, justru di mata anak-anak yang lain terlihat overdosis. Menu selalu lengkap, ada daging, minimal sosis panggang, sayur bahkan terkadang bonus buah. Tapi entah kenapa setiap kali melihat teman-teman yang lain berburu bubur ayam Bang Amir tiap jam istirahat, aku iri bukan main. Bayangan bubur mengepul yang asin bertabur bawang goreng banyak, membuat lidah meleleh. Sayangnya aku harus berpuas diri hanya dengan membayangkan saja, syukur-syukur dapat sesendok jatah icip bubur ayam teman.
Mamaku selalu bilang kalau jajanan pinggir jalan itu tidak sehat. Banyak kumannya, tidak higienis, bisa bikin aku jatuh sakit. Karenanya uang jajan harianku pun dibatasi tanpa ampun oleh Mama. Uang satu hari hanya untuk ongkos pulang naik becak. Kebutuhan yang lainnya sudah disiapkan Mama dari rumah. Saking kepinginnya jajan, sekali waktu aku pernah mengorbankan uang becak itu untuk beli otak-otak. Akibatnya pulang sekolah aku harus jalan kaki. Itu adalah jajanan ternikmat yang pernah aku coba, walaupun akhirnya aku harus menahan pedas karena tidak ada yang tersisa dalam botol minumanku dan aku tidak punya sisa uang untuk beli air minum. Hasilnya, Mama menunggu di depan rumah dengan wajah sangat khawatir. Padahal aku hanya terlambat setengah jam dari biasanya!
Masuk ke masa SMP, aku kembali harus berpuasa mata. Teman-teman yang lain mulai bisa pamer tas bermerk dan sepatu mahal, aku harus puas menerima ‘ungsuran’ barang dari kakak-kakakku, terutama tas. Teman-temanku selalu bilang aku cewek tomboy. Mereka tidak sadar bahwa ‘tomboy’ itu adalah efek langsung dari barang-barang bekas yang resmi jadi milikku. Mama bilang semua ungsuran tersebut adalah barang mahal dan masih bagus, jadi masih bisa aku pakai. Aku tidak pernah menyangkal. Memang benar. Tapi aku kan juga ingin pakai tas merah yang cantik. Ingat benar aku sama tas bunga warna-warni Benetton yang aku taksir namun tetap tidak tersentuh sampai akhirnya aku lulus dari bangku SMP dan keinginan itu terlupakan dengan sendirinya.
Lalu tentunya masalah pacar. Kalau teman-teman yang lain bebas menyeleksi pacar sesuai kriteria mereka, maka kasusku lebih rumit lagi. Tahapannya lebih banyak dan lebih ketat karena Mama dan ketiga kakakku harus ikutan menyeleksi. Yang kadang-kadang ikutan ngobrol di ruang tamu, lah, atau yang lebih parah ditegur sudah malam dan mereka harus pulang. Nah, sekarang bagaimana aku bisa bermimpi untuk menikah kalau setiap kali kandidat pacar yang berpotensi selalu terbirit-birit melihat tingkah keluargaku yang berlebihan?
Ironisnya, ketika sekarang Mama membebaskanku untuk pergi ke Bali, malah aku yang tidak punya keberanian untuk melangkah maju. Mungkin sudah semestinya aku kecewa, karena ternyata aku belum siap untuk menghadapi dunia tanpa aturan Mama. Parahnya, sekarang aku membuat Pucil dan yang lainnya ikut mencicipi kekecewaan yang sudah menjadi langgananku selama ini.

“Kamu enggak bisa datang, Rin? Kenapa?” Pucil menatapku dengan bingung. Aku tidak punya keberanian untuk menatapnya.
“Aku... aku enggak boleh.”
Bon-bon dan Edwina ber-‘hah’ bersamaan. Aku tahu alasan itu akan membuatku terlihat seperti orang dewasa yang mengalami degradasi umur. Seperti anak kecil saja, di usia nyaris kepala tiga begini harus bergantung pada izin orangtua. Tapi aku terpaksa berbohong, karena Pucil pasti lebih kecewa lagi kalau mendengar alasan sesungguhnya. Belum lagi nanti Bon-bon dan Edwina yang menukas habis-habisan. Tentu saja mereka akan protes, mereka tidak akan bisa mengerti betapa merananya menghadiri kawinan sendirian, tanpa pasangan.
“Yah, Ririn...” kata Pucil dengan pelan.
“Aku bantuin ngomong, deh, sama nyokap, Rin. Ya? Mau, ya?”, kata Bon-bon. Aku menggeleng.
“Kalau nyokap bilang ‘enggak’, berarti aku enggak boleh Bon.”, tambahku dengan sedih.
Ah! Menyedihkan sekali, sih, kamu Rin sampai harus berbohong sama sahabat sendiri.
Edwina menatapku dengan ekspresi yang sulit aku artikan. Sementara Bon-bon sibuk meyakinkanku kalau dia bisa membuat Mama mengubah keputusannya. Aku jelas tidak bisa membiarkan Bon-bon berbicara pada Mama. Bisa terbongkar semuanya.
“Yah, masa cuma Bon-bon dan Edwina saja yang datang. Enggak lengkap, dong, kalau enggak ada kamu, Rin.”, kata Pucil memelas.
“Cil...” Edwina bersuara, wajahnya kini ikutan nelangsa. Lho, ada apa, nih? Kenapa Edwina berubah menjadi serius begitu? Aku menyeruput minumanku, berharap bisa menenangkan perasaanku yang tidak karuan.
“Sebenarnya, gue juga enggak bisa datang.”, lanjut Edwina yang nyaris membuatku tersedak coklat.
Whaat???


Edwina
Iya memang, gue suka menjadi pusat perhatian. Tapi enggak dengan cara yang seperti ini. Pucil melihat gue dengan tatapan kaget, sekaget-kagetnya. Aaah, sial. Ririn curang! Harusnya kan gue duluan yang ngomong, sehingga efeknya enggak dua kali lebih dahsyat kayak gini!
“Win, serius kamu enggak bisa?”, tanya Pucil. Yah, kan... matanya berkaca-kaca lagi. Gue cuma bisa mengangguk pelan.
“Lho, kenapa enggak bisa???”, tanya Bon-bon dan Ririn nyaris bersamaan.
“Biasa, deh, budget-nya enggak ada. Apalagi kemarin-kemarin Andien beberapa kali kena pilek, jadi sebagian uang habis buat ke dokter.”, jawab gue. Ketiga teman gue itu terdiam, masing-masing sibuk dengan pikirannya.
“Lo tahu, kan, Cil, gue benar-benar ingin bisa ikut ada di sana? Pingin banget bisa lihat lo jadi pengantin, pingin lihat lo resmi jadi Nyonya Ardianto. Tapi...” Gue terdiam lagi, kehilangan kata-kata untuk melanjutkan kalimat.
“Aduh, aku bayarin, deh, Wiiin. Masa kamu enggak ikutan juga, siiih?”, Bon-bon mencoba bernegosiasi. Tapi situasi adalah mahluk yang paling keras kepala dan sulit untuk diajak nego.
“Ngarang, lo, Bon. Mau bayarin Mas Arief sama Andien juga? Gue kan satu paket sama mereka. Hayo!”, kata gue mencoba bercanda. Tapi lagi-lagi enggak kena. Sepertinya hari ini bercandaan gue melempem semua.
“Aaah, kok pada gitu semua, sih? Kalau gitu, aku juga enggak datang, ah!”, potong Bon-bon merajuk habis-habisan membuat gue melotot. Wajahnya Pucil tambah semarawut.
Ih! Anak gila!
Gue spontan menendang kaki Bon-bon, eh, malah Ririn yang mengaduh. Ups! Sorry, Rin! Tapi memang si Bon-bon kalau ngomong suka enggak dipikir, deh. Bon-bon dan Billy justru harus datang! Masa di antara kita bertiga enggak ada yang hadir di hari besarnya Pucil, sih?


Pucil
1 Message Received.
From: Ganesha
Hai Cil, sorry bgt batt tlpnku abis. Hari ini hectic bgt, byk trm tlp dr org2. Aku tlp km bsk pagi ya sblm acara di Hard Rock. Hbs itu kita bs konsen penuh buat hari H. Sleep tight, Luv u Cil.

Sudah, nih?
Segitu saja, Gan?
Enggak sadar sudah tanggal berapa bulan berapa sekarang?

Aku menatap layar handphone dengan perasaan campur aduk. Hari ini resmi menjadi hari terburuk dalam hidupku. Bon-bon ngambek habis-habisan mendengar statement dari Ririn dan Edwina, entah serius atau tidak dia. Bisa jadi dia betul-betul mogok untuk datang Agustus nanti. Untungnya aku masih bisa menyimpan perasaanku, walaupun tadi anak-anak ribut minta maaf dan menenangkanku ketika setetes-dua tetes air mata berhasil menyelinap keluar setelah setengah mati aku tahan. Aku pikir tidak adil membebani mereka dengan perasaanku. Karena aku sangat mengerti mereka juga kecewa dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Barusan aku online mencari Toska, tapi anak itu tidak terlihat tanda-tandanya di seluruh galaksi per-cyber-an. Akhirnya aku kembali ke kamar. Hilang selera makan. Hilang selera untuk ngapa-ngapain. Satu jam aku berbaring di atas tempat tidur. Gelap, cuma ada cahaya 25 watt dari lampu meja di sampingku. Sunyi, cuma ada suara Ai’ di luar cekikikan di telpon. Berpikir, melamun, berpikir, melamun. Jangan-jangan ini pertanda kalau aku salah langkah.
Untuk seper sekian detik, tawaran Om Rio terasa begitu menggiurkan. Sebuah jalan keluar yang singkat untuk mengatasi semua masalah yang berkolaborasi untuk mengeroyok pikiran letihku hari ini.
Jadi?
Dead end?



Masa, sih?
...
...
...

Ah! Belum! Masih ada satu jalan lagi yang bisa aku coba.
Aku meraih handphone dan mengetik SMS untuk Mbak Chris dari travel agent.

To: Mbak Chris
Maaf SMS malam2, mbak. Bsk pagi2 aku ke kantor mbak chris, ya. Bisa? 1 tiket mau aku issued buat ke Bali bsk siang. Thx mbak.

Sending.
Delivered.

Lima menit kemudian, balasannya tiba.

1 Message received
From: Mbak Chris
Besok? Wah, mendadak, nih. Oke, deh. Aku ada di ktr s/d jam 12. Ditunggu, ya, Put.

Beres.
Sekarang aku harus packing. Bagaimana caranya supaya tas ranselku bisa memuat semuanya sehingga orang-orang di rumah tidak curiga?

No comments:

.,.,.,.,.

Loading...