Thursday, June 18, 2009

PROLOG



Hai!
Halo!
Apa kabar?
Hahaha, ya, aku melambai padamu.
Jangan khawatir, aku tidak salah orang dan kamu memang belum kenal aku. Tapi tidak ada salahnya, kan, mengenalkan diri? Lagipula aku punya sebuah cerita yang bisa kubagi denganmu. Tapi sebelum aku memulainya, perkenankan aku mengenalkan diri dahulu.

Hmmm, bagaimana cara mendeskripsikan diriku, ya? Yang jelas tidak ada yang istimewa dari aku. Aku adalah perempuan yang menyebrang jalan, yang kau lihat dari dalam mobilmu. Atau ketika tengah berjalan bersama teman-teman di mall, aku adalah orang melintas dari sampingmu, terburu-buru dengan tas besarku menggantung di bahu. Atau juga ketika kau tengah duduk di sebuah kedai kopi, aku ada di meja sebelahmu, mengganggumu dengan kegaduhan bersama tiga teman baikku. Yap, aku mungkin ada di situ, berpapasan denganmu tanpa kau sadari.
Tenang, aku tidak menyalahkanmu, kok, kalau kamu benar-benar tidak bisa mengingatku. Aku sadar, sesadar-sadarnya, bahwa aku adalah perempuan biasa yang bekerja keras seperti ribuan pekerja lain di Jakarta. Jadi bukannya merendahkan diri kalau aku bilang tidak ada yang istimewa dariku.
Tinggi badanku seadanya, hahaha, tapi untungnya dengan teknologi hak tinggi, masalah yang satu ini bisa diatasi. Tapi tunggu dulu, ini bukan berarti aku pecinta sepatu hak, lho. Sepatu datar dan sandal adalah favoritku. Dan kalau boleh jujur, aku tidak pernah habis pikir kenapa ada banyak sekali perempuan yang hobi bersepatu hak tinggi. Mungkin kaki mereka sudah bermutasi menjadi balok kayu sehingga sakitnya tidak menggigit lagi. Ups, mudah-mudahan kamu tidak termasuk di dalamnya. Kalaupun iya, sungguh, bukan maksudku untuk menyinggungmu. Jadi jangan marah, ya?
Rambutku ikal berponi dan seringnya acak-acakan. Nah ini, nih, yang sering dikomentari teman-teman kantor. Kata mereka, “Bagaimana bisa ketemu klien kalau muka lo kayak bangun tidur gitu?!” Kalau sudah begitu, seringnya aku balas dengan candaan. Habisnya mau diapain lagi, rambut ikalku ini seperti punya kemauan sendiri, tidak pernah betah diatur-atur. Untungnya taman-temanku tidak pernah protes lebih dari itu, karena mereka tahu aku handal dalam pekerjaanku. Kalau bicara soal meyakinkan klien, aku pantang menyerah. Bagiku, seni meyakinkan orang selalu menarik untuk ditelusuri. Pas banget, kan, aku kerja di bagian iklan untuk sebuah majalah?
Hmmm... apa lagi, ya? Oh, kulitku. Tidak, kok, aku tidak punya penyakit kulit. Hihihi. Justru kalau ada, kalian mungkin akan lebih mudah mengingatku. Sebaliknya, kulitku justru putih bersih dan terawat. Okey.. okey, sebenarnya lebih ke arah kuning. Tapi ini bukan karena aku tidak suka bermain dengan matahari. Hanya saja kulitku ini punya kemampuan luar biasa untuk mengembalikan warna aslinya, walaupun setelah berlama-lama tersengat matahari. Namun siapa, sih, yang bisa mengingat kulit putih di antara ribuan supermodel mal yang melenggang elok setiap harinya? Aku saja tidak. Aku tidak pernah berharap kalian bisa.
Tidak sekali dua kali teman-temanku menceritakan pertemuan mereka dengan orang yang mirip denganku. Yang versi tinggi lah, versi keren lah, versi gaul lah, yang jelas, aku selalu ada di urutan paling bawah. Hihihi, iya, aku yang selalu jadi perbandingan jeleknya. Seperti iklan shampoo sebelum dan sesudah itu, lho. Tapi aku tidak pernah terganggu dengan keusilan mereka. Kayaknya itu juga yang bikin mereka senang berteman denganku. Aku dengan lihainya bisa mengembalikan keusilan mereka dengan ledekkan yang tidak kalah maut!
Oh iya, aku juga pendengar yang ulung, dan katanya, sih, itu salah satu resep mujarab ‘menjerat’ teman. Paling tidak itu yang dikatakan keempat sahabatku: Edwina, Ririn, dan Bon-bon. Oh, satu lagi: Toska, cewek bawel yang tidak pernah absen chatting di internet denganku. Lucunya kelima sahabatku ini punya karakter yang sangat berbeda satu sama lainnya. Hmmm… contoh mudahnya begini, coba ambil salah satu topik pembicaraan untuk dilempar ke mereka. Misalnya saja, belanja tas mahal. Sudah terbayang olehku jawaban model apa yang akan mereka berikan. Bon-bon akan bicara tentang model-model terbarunya, Ririn akan memberikan tips tentang tempat membeli tas bermerk dengan harga miring, Edwina akan membeberkan cara menjaga tas tersebut supaya awet, sementara Toska… Toska sepertinya hanya akan mendengarkan dengan baik tanpa berkomentar banyak. Karenanya, selalu terjadi hal-hal yang menarik jika kami semua berkumpul. Sayangnya Toska ada di Bali, dan aku sendiri belum pernah bertemu dengannya. Namun aku yakin dia akan bisa berbaur dengan cepat dengan ketiga sahabatku.
Apalagi? Soal cinta-cintaan? Hahaha, ini menarik.
Dalam departemen percintaan, aku pernah mengalami stagnasi panjang. Masa kegelapan, kalau aku bilang. Itu terjadi sekitar 4 tahun lalu, menjelang kelulusan dan selama penggangguran. Bayangkan, merana dua kali: penggangguran dalam pekerjaan dan percintaan! Awalnya aku optimis, berusaha menjadi jomblo bahagia. Peduli setan sama yang pacaran. Tapi lama-lama usaha itu berubah menjadi pura-pura. Bohong kalau aku diam-diam tidak meringis melihat kedua adikku terus gonti-ganti pacar. Lama-lama semuanya terkondensasi menjadi sebentuk senyum masam tiap kali membuka pintu untuk pacar (-pacar) mereka. Apa iya aku memang terlahir untuk jadi doorman untuk para pacar kedua adikku?
Yah, itulah jaman-jaman kegelapan. Jaman sebelum aku wara-wiri di periklanan sebuah majalah. Dan yang paling penting jaman sebelum ada... Ganesha.

Hmmm... bagaimana aku mendeskripsikan Ganesh, ya? Mungkin kamu juga tidak akan menoleh dua kali jika berpapasan dengannya. Ganesh bukan laki-laki yang mudah diingat di satu kali jumpa. Bukan yang langsung memberi kesan istimewa ketika pertama kenal. Berapa banyak laki-laki di Jakarta yang berkulit sawo matang, tinggi sedang, berkacamata, dan punya perawakan cenderung kurus? Buat yang hanya punya 3 nama untuk laki-laki dengan ciri-ciri seperti itu, ha, kamu pasti berbohong! Kemeja dan jeans yang sering dipakainya juga tidak akan banyak membantumu untuk mengingatnya. Tapi bagiku, dia itu laki-laki luar biasa. Sungguh luar biasa. Aku rasa kamu pun akan berkata hal yang sama setelah mengenalnya. Karena dia punya kemampuan tersembunyi untuk membuat orang lain merasa nyaman berada di dekatnya.
Nah, sesungguhnya, waktu SMP dulu Ganesh punya kesempatan untuk menggandeng perempuan lain yang lebih cantik, lebih pintar, lebih makmur, lebih lebih lebih, lebih semuanya.... setelah putus denganku. Apa alasannya waktu itu, ya? Ah, dia bilang mau konsentrasi EBTANAS. Alasan klise jaman ABG lah, pokoknya! Hahaha. Waktu itu aku percaya saja, walaupun hati ini sedih bukan main. Eeeh, sepuluh tahun kemudian, dia malah nekat kembali pacaran denganku. Tidak kapok juga, katanya Edwina suatu kali.
Itu semua gara-gara reuni SMP di Kemang tiga tahun silam yang kemudian berujung pada pengakuan noraknya tepat sebelum film “The Last Samurai” dimulai di bioskop, kisah kami dibuka kembali. Kalau dipikir-pikir, mungkin efek lampu padam dari bioskop itu yang dia cari. Ganesha adalah salah satu cowok pemalu yang pernah aku kenal. Itu kesan awalnya! Makin ke sini, makin terbuka kamuflasenya. Apalagi kalau sudah kumpul-kumpul bareng teman-temannya. Ganesh seperti disulap, jadi orang yang sama sekali berbeda dari yang selama ini kamu kenal. Jadi ngerti, kan, kenapa aku bilang gelapnya bioskop itu yang dia cari?
Ya ya, mungkin kalian akan berpikir aku benar-benar menyedihkan, menjadikan kehadiran seorang laki-laki sebagai tonggak hidupnya kehidupan. Tapi siapa, sih, yang kira-kira tertarik untuk pacaran dengan perempuan superbiasa seperti aku? Aku mungkin benar-benar akan menjadi manusia paling menyedihkan, berenang-renang dalam rasa iri dan frustasi yang menjadi-jadi setelah berkali-kali mengalami nasib buruk.
Oh iya, satu lagi alasan kenapa dia menjadi titik terang dalam hidupku. Salah satu yang paling penting sebenarnya: beberapa hari yang lalu, dia melamarku.
Yup, aku!
Si perempuan biasa!
Dilamar!
Dan inilah alasannya mengapa aku ingin mengisahkan ceritaku pada kalian. Karena menurutku ruas perjalanan hidupku sejak lamaran itu menjadi penuh kehidupan yang penuh dengan pelajaran. Malah nyaris membuatku menjadi seorang perempuan diluar superbiasa. Hahaha. Semoga kalian menikmati kisahku ini, apalagi kalau sampai bisa mendapat ‘pencerahan’.

Oh iya, ngomong-ngomong namaku Putri. Teman-temanku biasa memanggilku Pucil. Lagi-lagi bukan nama spektakuler yang mudah diingat. But that’s me! Mudah-mudahan setelah aku selesai bercerita, kalian akan lebih bisa mengingatku.
Salam kenal, ya!

Chapter 1


Ririn

Wah! Capek! Barusan habis ketemuan sama anak-anak. Sebenarnya, aku agak heran, ada apa ini tiba-tiba ‘diultimatum’ harus datang ke KeKun... lagi! Padahal baru juga ngobrol sama mereka 4 hari yang lalu di sana. Kerajinan banget. Pasti ada apa-apanya, nih! Daaaan... benar! Begitu pantat menyentuh kursi, Pucil dengan semangat langsung memamerkan cincin barunya di jari manis. Kita semua langsung heboh, sementara yang punya cincin hanya tersenyum malu. Belum habis kita bertanya-tanya, Pucil membeberkan rahasianya kalau dia merencanakan untuk nikah di Bali. Hah! Jauh amat! Kita bertiga sama-sama melotot, tidak percaya. Habisnya dari pengalaman nikahannya Edwina tahun lalu, kita semua tahu banget betapa repotnya mengurus pernikahan. Itu saja masih hitungan di dalam kota sendiri. Apalagi harus mengadakannya di luar kota… sejauh Bali! Tapi Pucil benar-benar serius dengan rencananya, walaupun Edwina sudah ribut mengingatkan kendalanya.
Melihat wajahnya Pucil yang begitu bahagia, aku jadi ikutan happy. Apa iya ini efek cinta sejati? Tidak pernah-pernahnya aku melihat Pucil berseri-seri kayak tadi. Padahal kalau dipikir, hari ini rambut anak satu itu lebih berantakan sekali. Lebih dari biasanya, lho. Habis naik ojek kali, ya? Hihihi. Tapi sungguh, deh, dia kelihatan lebih cantik hari ini.
Satu-satunya momen yang bikin Pucil kelihatan suram adalah waktu Edwina terbahak-bahak sambil nakut-nakutin tidak enaknya kehidupan perkawinan. Dasar medusa, bisa-bisanya bikin lawakan yang tidak lucu di saat seperti itu. Untungnya Pucil selalu bisa cheer up dengan cepat. Kalau aku yang digituin, mungkin sudah merucut ini mulut sambil menggerutu tanpa habis!
Anyway, betulan, nih! Pucil akan menikah! Berarti akan jadi 2 orang yang sudah menikah di antara kami berempat.

..
.
Sebel.
Semua orang sepertinya berjalan jauh di depanku. Bon-bon sering bikin iri dengan Billy-nya. Edwina malah sudah punya buntut satu. Selama ini aku cukup anteng karena ada Pucil. Soalnya hanya Pucil satu-satunya yang berstatus punya pacar tapi sama sekali tidak kelihatan pacaran. Heran juga, sih, sebenarnya. Kok, bisa-bisanya Ganesh cuek seperti itu, ya? Dan, bisa-bisanya mereka langgeng sampai bertahun-tahun!
Sedangkan aku? Ah. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan kalau sudah menyangkut soal cinta-cintaan. Mungkin kalau bisa dirangkum, bunyinya akan seperti ini:


Tiga Tahun Lalu…
“Halo, selamat siang.”, sapa cowok di ujung telpon yang membangunkanku pagi itu.
“Iya, selamat pagi.”. Penuh penekanan pada kata ‘pagi’, tentunya.
“Ibu ada?”
“Lagi belanja, Mas. Ini dari siapa?”, jawabku sambil menahan kantuk.
“Adik anaknya, ya?”
“Iya. Ada apa, ya, Mas?”, aku mulai mengendus tanda-tanda sales person hendak beraksi di sini.
“Ya udah, ngomongnya sama adik saja, enggak apa-apa. Saya dari PT. ABCXY mengabarkan kalau adik memenangkan voucher tiga ratus ribu untuk pembelian produk kami.”, kata suara di ujung sana dengan riang.
“PT. ABCXY?”
“Iya, dik. Perusahaan kami adalah produsen terkemuka untuk produk anak-anak. Makanan, pakaian, sampai mainan.”
He? Terkemuka?
“Nah, nanti adik bisa ambil voucher tersebut di kantor kami di Jalan Pramuka. Ajak ibu juga enggak apa-apa.”, katanya lagi tanpa mengurangi kadar keriangannya.
Aku menguap malas tanpa bisa dicegah kali ini. Lagu lama, nih, sales gaya gini. Aku tahu banget begitu sampai di sana, kita akan dijejali dengan berbagai promosi penjualan selama 3 jam dulu sebelum diberi voucher yang banyak aturan pemakaiannya. Tidak berguna, tentu saja!
“Mas, maaf, kita enggak tertarik. Vouchernya buat Mas aja lah.”, jawabku asal. Tapi rupanya si mas-mas ini belum menyerah.
“Adik sudah menikah belum?”, tanyanya yang langsung membuat kantukku hilang. Hah! Pertanyaan terlarang! Terutama di pagi-pagi seperti ini.
“Belum. Kenapa?”, jawabku galak.
“Ah, tapi nanti kan adik pasti menikah dan punya anak, tho? Jadi voucher ini pasti berguna sekali.”, katanya, ceria jaya. Aku melotot. Gileee… ini sales man atau bonek? Kok, nekatnya sama!
“Enggak, Mas. Saya enggak mau nikah. Jadi udah, ya?”, jawabku ketus sambil bersiap-siap hendak menaruh ganggang telpon.
“Eeeh, tunggu, Mbak…”
Nah, sekarang dia ganti ‘Dik’-nya dengan ‘Mbak’. Teknik apaan pula, nih?
“Iya saya ngerti, deh. Jaman sekarang, kan, orang enggak perlu nikah untuk punya anak. Kalau pacar punya, kan?”, tanyanya lagi tanpa menyerah. Dalam pikiranku terbayang-bayang sebuah image mas-mas kumis tipis dengan telpon di kupingnya, sedang nyengir dan alisnya naik turun. Jijaaay!
“Enggak!!!”
Telpon aku banting dengan geram. Aku langsung tahu kalau sales man tersebut telah berhasil membuat hari ini akan terasa seperti neraka.


Dua Tahun Lalu…
Kawinan Rita, sepupuku. Sesuatu yang aku hindari semenjak kabar itu mampir di kupingku, akhirnya tiba. Tentu saja aku tidak berkutik ketika Mama dan Papa menyeretku untuk ikut datang. Setelah masuk ke dalam gedung, aku langsung melipir sambil menyambar sepiring kambing guling, lalu makan diam-diam di pojokan. Mataku menyapu seluruh tamu dari ujung ke ujung. Aku tahu gerombolan mana yang harus dihindari: gerombolan bude dan tante! Mereka adalah yang paling parah di dalam kawinan keluarga. Paling tidak bagiku.
Dan tepat ketika aku tengah scanning dari jauh, seseorang menepuk pundakku dengan pelan. Bude Am, yang paling parah dari semua bude dalam keluarga.
“Eeeh, Ririn, kapan datang?”, tanyanya sumringah sambil mencium pipiku.
“Baru, kok, Bude.”
“Sama siapa Rin?”, Bude Am celingak-celinguk kiri kanan.
“Papa Mama. Enggak tahu dimana mereka sekarang. Lagi ngantri salaman barangkali”
“Enggak sama pacar?”, tanyanya dengan genit.
Nah, mulai.
“Enggak, Bude.” Aku meringis diplomatis.
“Ah, masa cah ayu seperti ini enggak punya pacar, sih?”, goda beliau sambil tersenyum manis sekali. Bersamaan dengan itu sebuah bom resmi sudah dijatuhkan di atas bumi seorang Ririn.

Inilah sebabnya mengapa aku benci kawinan. Cuma di acara seperti ini orang dihalalkan untuk melontarkan pujian sekaligus hinaan selangit dalam sebuah kalimat pendek.
Dan aku…
… aku adalah sasaran empuk.


Edwina
Yah, balik lagi, deh ke rumah. Baru juga buka pintu pagar, tangisan Andien sudah terdengar dari dalam. Mas Arief melihat gue dengan tatapan ‘naaah, dateng juga, lo!’. Agak merasa bersalah juga, sih, soalnya baru beberapa hari yang lalu gue keluar dengan tiga sahabat gue. Sekarang gue pulang malam lagi. Hari ini seharusnya adalah jatah Mas Arief nonton bola di TV dengan santai. Hanya saja pertemuan tadi sore cukup penting, si Pucil mau kawin. Mana bisa gue lewatkan?
Gue buru-buru ganti baju, lalu mengambil alih Andien yang langsung tertidur setelah gue gendong. Setelahnya, baru gue cerita ke Mas Arief tentang lamaran Pucil. Untuuung, enggak jadi marah dia, malah ikutan bergosip dengan gue. Habisnya siapa yang nyangka, sih, Ganesh yang cuek seperti itu ternyata menyimpan rencana besar selama ini? Seperti prajurit yang gerilya dan menyergap tiba-tiba saja.
“Kapan acaranya, Win?”, tanya Mas Arief. Gue menggeleng, “Baru mulai direncanain, Mas. Masih belum tahu persisnya kapan. Mungkin bulan Agustus nanti.”
Andien mulai merengek-rengek lagi. Marah dia kalau gendongannya enggak gue ayun-ayun. Hihihi. Anak gue ini ternyata memang lagi mau manja sama mamanya.
“Kalau jadi diadain di Bali, kita bisa dateng, kan, ya, Mas?”, tanya gue sambil pura-pura sibuk menenangkan Andien.
Tahu banget, deh, gue. Mas Arief ini paling malas datang ke kawinannya orang, terutama teman-teman gue. Mungkin dia malas ‘berdandannya’, mungkin juga malas basa-basinya. Tapi ini kan krusiaaal. Ini kawinannya Pucil! Masa gue ngalah lagi?
“Yaaa, kita lihat saja. Mudah-mudahan bisa. Belum tentu juga di Bali, kan?” Yak! Jawaban diplomatis ala Mas Arief.
Tenang, Edwina, masih ada waktu menghasut suamimu.
“Ya sudah, aku nyusui Andien dulu, deh, Mas. Kacian anak mama laper, ya?”
Uh gemeeez banget sama si pipi gembil!
“Iya, dia laper kayanya tuh. Kamunya, sih, lupa waktu. Kalau aku bisa nyusuin, udah dari tadi, deh”, kata Mas Arief asal sambil memijit-mijit remote TV.
Hihihi. Bukan salah gue, kok, Mas. Salahin Pucil yang tiba-tiba ngasih berita besar, enggak ada angin enggak ada hujan. Sejujurnya gue selalu berpikir bahwa Bon-bon duluan yang akan melangkah ke pelaminan. Tapi ternyata prediksi gue meleset.
Gue jadi teringat reaksi anak-anak tadi. Ririn melebarkan matanya, enggak percaya. Bon-bon teriak-teriak kegirangan. Gue sendiri cuma senyam-senyum. Oh iya, gue juga ngasih beberapa tips tentang pernikahan supaya Pucil tahu apa yang harus dihadapi nanti. Eh, gue malah dikasih pelototan sama Bon-bon dan Ririn. Memangnya salah gue apa? Sebagai salah satu teman baik Pucil, gue merasa harus memberikan rambu-rambu pernikahan ke dia, dong! Terutama rambu-rambu bahayanya. Misalnya, siap-siap berkenalan lagi dengan suami. Tinggal satu atap selama 24 jam tiap hari enggak mungkin asyik-asyikannya saja, kan? Beresin berantakannya dia, tambahan tumpukan baju untuk disetrika, belum lagi kalau Ganesha suka menggeletakkan sepatu di dalam rumah, seperti yang sering dilakukan Mas Arief. Awal-awal mungkin kita bisa bersabar, tapi lama-lama pasti ada saat jengkelnya keluar juga.
Jangan salah, ya. Gue bicara seperti ini bukan bermaksud mengatakan Mas Arief adalah suami yang payah. Hohoho, si ganteng itu adalah superman gue. Tapi gue saja yang sudah pacaran 7 tahun masih tetap harus adaptasi lagi ketika sudah menikah. Jadi jelas kalau usia pacaran bukan jaminan kelanggengan perkawinan. Get the point?
“Wiiin!”
Eh, kenapa lagi, nih, Mas Arief manggil?
“Kamu sudah makan belum?”, tanya suami gue sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu kamar. Gue menggeleng. Satu porsi tuna salad yang dikeroyok berempat jelas bukan makan malam yang memadai. Sehat memang, tapi amat sangat tidak memadai. Apalagi si Bon-bon cukup sadis kalau sudah meraup bagiannya.
“Pas kalau gitu.”, Mas Arief tersenyum lebar, “Aku tadi bikinin kamu nasi goreng kornet. Kalau Andien sudah selesai mimiknya, kamu makan dulu, deh, ya?”
Hah? Horeee!
Duh enggak rugi, deh, nikah sama laki-laki yang hobi masak!


Bon-bon
Selepas ketemuan dengan tiga kurcaci tadi sore, aku melanglang buana ke Plaza Senayan. Iyaaa, sendirian lagi. Payah, tuh, anak-anak susah banget diajakin jalan. Padahal lagi musim sale sekarang, paling cocok untuk hunting barang bagus harga miring. Memang waktunya saja barangkali yang enggak pas. Edwina harus pulang ke suaminya, Pucil dijemput Ganesh, katanya mau lanjut makan malam sambil membicarakan rencana nikahan. Sementara Ririn, Ririn yang kelihatan agak mellow tadi, punya kombinasi maut antara capek dan bokek. Hihihi. Can’t blame her for not coming, then.
Sebenarnya aku bisa saja minta temenin Billy. Tapi pasti nanti malah belanja buat kepentingan dia sendiri dan waktuku habis buat bantuin dia nyari sepatu, nyari kemeja, atau sekedar lihat-lihat dasi. Jadi lebih baik aku jalan sendirian, cuma singgah sebentar saja, kok, sekalian menunggu macet reda.
By the way, pembicaraan di KeKun tadi sore seru juga. Sudah aku duga, pasti Pucil mau ngasih pengumuman. Beberapa hari belakangan ini anak itu kelihatan happy banget. Pantas saja, a down-on-knee proposal from Ganesh! Woooo! Just like in movies! Bikin sirik saja dia. Apalagi pakai mau diadain di Bali segala. Nikahan impian banget!
Pembicaraan terus berkembang kemana-mana. Soal rencana kasar yang ada di kepala Pucil, soal liburan, soal cuti, soal dress code. Edwina, sebagai ibu-ibu satu-satunya di kelompok kecil kami, langsung giat memberikan tips. Herannya kenapa tipsnya enggak ada yang ceria, ya? Kesannya sulit banget jadi istri pacar sendiri. Hmmh, kalau sudah begini, kelihatan banget ibu-ibunya dia. Padahal bocah rese itu enggak pernah rela dipanggil ibu-ibu sama kita semua. Hahaha.
Salah satu yang enggak pernah aku duga adalah: Pucil diam-diam sudah membayangkan pernikahannya sejak lama. Memang dia enggak pernah blak-blakan bikin pengakuan seperti itu. Tapi dari caranya dia menuturkan semua itu, lho! Mulai dari tempatnya seperti apa, suasananya, dekorasi, bahkan ke makanannya sudah ada dalam bayangan dia. Mungkin aku enggak akan setakjub ini jika itu semua datang dari Ririn. Anak itu kan selalu meleleh kalau sudah bicara masalah cinta, pernikahan, relationship, yadda yadda, blab la bla. Sooo easy to predict. Seperti buku, dia mudah dibaca. Tadi saja, walaupun dia berusaha ceria, aku bisa melihat ada sindrom mellow di wajahnya. Menurutku Ririn hanya kurang percaya diri di depan cowok. Padahal kalau dia mau genjot PD-nya sedikit, aku yakin malah cowok-cowok itu yang hilang PD di depannya.
Balik ke Pucil, aku enggak heran satu-satunya hal yang luput dari perencanaan dia adalah... tentang dirinya sendiri! Hihihi. Mau pakai baju apa, warna apa, modelnya gimana, sama sekali enggak disebut. Waktu ditanya, mukanya juga blank begitu. I guess something will never change, huh? Terlalu banyak memikirkan orang lain, malah dirinya sendiri kelupaan. Contoh gampangnya adalah tentang rambutnya. Uuuh, gemes ingin masukin dia ke salon supaya rapi-an sedikit!
Ah, perut kok tiba-tiba menjerit-jerit begini? Aneh, tiba-tiba jadi lapar. Hmmm... telpon Billy saja, deh. Dia lagi ada dimana, ya? Enggak enak kalau makan sendirian.

Chapter 2


Pucil
: Wow, jadi lo akan nikah tahun ini? Selamat, ya! Masih pingin di Bali, nih?

: Iya Tos, lo bisa datang, kan, ya?

: Kapan, Cil?

: Maunya Agustus, tapi pastinya kapan belum tau. Soalnya gue belum lihat-lihat tempat, nih.

: Jadi di pinggir pantai?

: Hahaha. Iya. Kok, masih inget, lo?

: Enggak pernah lupa. Gue amazed waktu lo cerita. Waktu itu gue pikir elo sudah diajak kawin sama Ganesh. Dasar gila, ternyata belum tapi semuanya sudah lo pikirin, ya?

Pucil.: Hehehe, pertanda kali, ya, Tos? Hei, gimana? Janji datang, ya? Sekalian kita ketemu. Lo susah banget diajak terbang ke Jakarta. Betah banget nguplek di Bali. Ajak cowok lo juga, pasti seru.”

: Hehehe. Cowok gue? Anyway, gue usahain pasti Cil.

: Oh, Ganesh sudah datang, nih, sambung lain kali, ya?

: Siap. Take care, Cil!


Ganesha duduk di sebelahku. Kemejanya agak basah.
“Di luar hujan, Gan?”
“He-eh. Lupa bawa payung dari mobil. Nasib, deh.”
“Pikun! Padahal sengaja dibeliin payung, tapi tidak pernah dipakai. Payah.” Ganesha cengengsan.
“Mau langsung makan atau pulang saja? Kasihan kamu basah begitu.”
“Ah enggak usah dipikir Cil. Nanti juga kering. Langsung aja, yuk?”
Aku mengangguk dan beranjak menuju kasir.

Oh iya, ngomong-ngomong, kafe internet ini adalah tempat favorit untuk rendezvous-an dengan Ganesh. Hmmm... lebih tepatnya tempat favoritku menunggu Ganesh datang menjemput. Tidak pernah bisa ditebak lalu lintas kerja pacarku ini. Kadang baru semenit duduk, dia sudah muncul. Kadang harus sejam-dua jam menunggu dulu, baru dia sampai. Karenanya menjadi favorit, sebab menunggu 2 jam tidak akan terasa jika aku disuguhi internet fast speed begini.
Agenda dengan Ganesh hari ini adalah makan bersama. Bukan mewah-mewahan apalagi sok romantis, tapi karena ingin membicarakan strategi 7 bulan ke depan. Tidak mungkin kita ngomongin di rumah aku atau Ganesh. Rumah Ganesh jauuuh, sementara rumahku yang lebih dekat dengan pusat kota, justru selalu penuh dengan orang. Belum lagi Ai’ yang pastiii pacaran di ruang tamu. Bukan hal baru, semua temanku juga tahu. Menggusurnya dari ruang tamu sering mengakibatkan perang satu hari. Minimal dikasih aksi cemberut seharian sama dia. Mana bisa tenang dengan suasana seperti itu?
Jadilah hari ini kami berdua kembali mengapeli foodcourt Plaza Senayan. Orang lain mungkin melihat target 7 bulan masih jauh, dan agak aneh kalau kita berdua sudah sibuk merancang dari sekarang. Tapi menurut Edwina, detik jam terasa bergerak lebih cepat ketika kita sudah dalam time table menuju hari besar. Aku percaya kata-katanya. Edwina yang cekatan begitu saja sempat mengalami masa-masa frustasi waktu menyiapkan nikahannya. Beberapa kali dia menelponku sambil menangis karena merasa tidak berdaya bersaing dengan waktu. Padahal waktu itu dia punya waktu sekitar satu tahunan. Hmmm, mudah-mudahan waktunya cukup buat acaraku.
Ah, semangat! Ayo Pucil, semangat!
Sejak dulu, tidak ingat kapan tepatnya, aku sudah rajin berandai-andai tentang pernikahanku. Lalu teman-temanku satu persatu menikah, termasuk Edwina. Dan waw, betapa indahnya perkawinan mereka. Gemerlap banget, tamunya juga banyak. Tidak akan bisa aku lupa betapa cantiknya Edwina dengan baju adat Padangnya. Sejak saat yang tidak jelas kapan itu, mulai tumbuh keinginanku untuk menciptakan hal yang serupa. Tidak saja indah, tapi juga harus berbeda. Harus! Biarlah semua orang bilang aku sering tampil serabutan, mereka tidak akan ingat itu di hari pernikahan kami nanti.

Makanan sudah di tangan, Ganesh yang dari tadi mengeluh kelaparan, langsung menikam makanannya, dengan pisau-garpu ia menggulung-gulung spaghettinya tanpa ampun.
“Gan, boleh nanya, enggak?”, tanyaku.
“Itu sudah satu pertanyaan.”, katanya sambil nyengir bandel.
“Kamu... hmmm... suka enggak dengan ide kita dipajang di tengah panggung, terus orang-orang ngantri buat salaman?”
“Dipajang?”
“Iyaaah. Itu lho, ditaruh di tengah panggung, kayak kawinan orang-orang gituuu...”
Ganesha tertawa.
“Sebenarnya ide untuk bikin resepsi saja sudah ganggu aku, lho, Cil.”
Giliran aku yang bingung. Yah, jangan-jangan Ganesha malah tidak ingin ada resepsi, nih!
“Gini,...”, Ganesha meletakkan garpu dan pisaunya. “... buatku sebenarnya akad saja cukup. Kalaupun ada resepsinya, enggak usah yang besar-besar lah.”
“Irit?”, candaku. Dia tertawa.
“Ya, iya. Itu alasan lainnya. Alasan utamanya: repot!”
Inilah Ganesha, si manusia yang tidak pernah mau repot tapi kalau kerja bisa sampai lupa waktu. Gemes, deh, aku.
“Iya, berarti kamu memang kurang sreg dengan ide kita dipajang di atas panggung gitu, kan??”, desakku. Ganesha mengangguk sambil mulai lagi menggulung spaghettinya.
“Memang. Tapi orangtua kita pasti maunya begitu, kan? Memangnya kita punya pilihan lain, Cil?”, mata Ganesh tidak lepas dari makanannya. Aku terdiam sambil tersenyum lebar. Ganesha menatapku heran. Haha. Kali ini aku berhasil mencuri perhatiannya.


Ganesha
Perempuan yang ada di depan gua ini memang unik. Dia enggak pernah rewel apalagi manja. Mungkin ini juga yang membuat gua cocok sama dia. Perempuan lain mungkin di titik ini sudah capek mengkritik gua, Pucil malah lebih santai dari gua. Badannya boleh kecil, tapi kemauannya banyak. Dan kalau dia sudah ada mau, enggak ada yang bisa mencegah usahanya. Contohnya sekarang ini. Gua jadi penasaran, apa pula yang ada di pikirannya sekarang? Sesuatu yang beda pastinya!
Sudah berapa banyak gua menghadiri nikahan teman-teman, semuanya selalu berlalu dengan ritme sama: pengantin datang, pengantin duduk, penonton salaman, penonton makan, penonton bubar, pengantin bubar. Lalu kalau beruntung gua akan kena ciprat foto-foto dengan pasangan baru yang berbahagia. Terakhir gua hadir di kawinan Derry seperti itu juga. Gua masih ingat betul sebelum hajatannya dia mengeluh terus tentang susahnya menampik tuntutan orangtua. Ya, berakhirlah perkawinannya dengan ritme yang gua sebut barusan. Padahal gua tahu banget, Derry pasti ingin yang beda. Sebelum bisa mengolkan keinginannya, sudah KO duluan dia di garis depan.
Nah, sepertinya Pucil punya ide lain untuk kawinan kami. Hal yang menarik, sih, mestinya. Tapi permasalahnya: realistis enggak, nih? Karena gua enggak suka melihat perempuan yang satu ini kecewa. Enggak pernah suka.
“Kamu mikir apa, sih?”, gua tersenyum geli. Ekspresi seperti itu membuat gua enggak pernah bosen melihat wajahnya. So excited!
“Pilihan selalu ada Gan. Apalagi aku sebenarnya enggak pernah suka dengan cara resepsi seperti itu.”, jawabnya.
Gua tertawa lagi.
“Gimana? Gimana? Cerita, dong, kamu maunya gimana?”
Saatnya mendengarkan, Ganesh.
“Bayangin pantai, Gan, ter...”
“Pantai?”, kalimatnya langsung gua serobot. Ha! Pantai mana di Jakarta yang bisa jadi spot acara nikahan?? Ancol? Hmh! Jangan harap, deh. Kalau memang itu, terpaksa gua enggak setuju.
“Tunggu dulu! Jangan dipotong dulu!” Weits, dia sewot.
Okey Ganesh, lu diam dan dengar dulu saja. Protes belakangan.
Tapi ternyata, ide Pucil sama sekali enggak perlu diprotes. Gua enggak pernah memikirkan resepsi seperti apa yang gua inginkan. Sama sekali enggak pernah, karena buat gua semuanya sama saja. Yang penting , kan, akadnya. Tapi yang barusan Pucil bilang seru juga sepertinya.
Acaranya outdoor di pantai, matahari tengah turun, nuansa putih biru, banyak bunga-bunga, meja-meja besar untuk semuanya duduk dan bersantap, lalu yang pasti tidak ada ‘panggung’ buat pengantin. Dan itu berarti kami berdua dengan bebas bisa mengobrol dengan para tamu. Hmmm... bebas mengobrol? Gua suka itu! Tapi tetap, masalahnya adalah...
“...pantai mana Cil? Jakarta? Ngarang aja kamu.”, tepis gua blak-blakan. Nah, dia tersenyum lebar lagi.
“Siapa bilang di Jakarta? Indonesia kan luas, pantainya cantik-cantik. Aku kepikiran Anyer, atau malah Bali.”,
Anyer? Hmmm... Bali? Wah, menarik! Ternyata anak kecil satu ini sudah memikirkan skenario besarnya. Bagus, meringankan tugas gua, nih. Hahaha! Pucil masih menatap gua penuh harap. Menunggu jawaban.
“Keren, Cil. Boleh juga idenya.”. Pucil melebarkan kedua matanya, kegirangan.
“Tapiii...”, gua buru-buru menambahkan.
“Tapi?”
“... gimana dengan orangtua? Nggg... orangtuamu, sih, tepatnya.”
Gua langsung menjelaskan maksud kata-kata gua sebelum protesnya meluncur.
“Ayah dan Ibu rasanya, sih, enggak akan keberatan dengan ide kamu itu. Lagi pula mereka jauh, enggak akan bisa apa-apa kalaupun mau protes. Hehehe. Nah, kalau Mama Papamu, hmmm...”, gua berhenti sejenak, mencoba memilih kata-kata yang pas supaya Pucil enggak cemberut.
“ ...Mama Papamu mungkin akan berkata lain.”
“Resepsi di atas panggung?”, tanyanya.
Gua mengangguk.
Yap.
Pasti lah.
Pucil anak perempuan pertama di keluarganya. Dan dari pengalaman gua yang punya kakak perempuan, tuntutannya pasti besar. Kawinan kakak gua juga enggak luput dari request-request yang enggak bisa ditolak. Kawinannya Dion juga masih gitu. Padahal waktu itu Ayah masih dinas dan mereka masih tinggal di Singapura. Sebagai karyawan KBRI yang sudah lama tinggal di luar negeri, ternyata nilai-nilai tradisional Ayah dan Ibu enggak pernah luntur. Pokoknya ada saja syarat yang harus dipenuhi. Sekarang, sih, setelah pensiun dan memutuskan untuk menetap di Amerika, orangtua gua sudah jauh lebih santai. Mungkin juga karena tuntutannya habis di Mbak Amy dan Dion. Jadi gua yakin mereka enggak serewel dulu. Tapi bagaimana dengan orangtua Pucil?
“Kalau begitu, itu tugas kita buat mencari jalan, kan, Gan? Cari cara buat meyakinkan mereka?”, kata Pucil sambil mengedipkan sebelah matanya. Hahaha! Pantang mundur! Kadang gua enggak habis pikir anak ini belajar gigih dari siapa.
“Dan ngomong-ngomong soal tugas, kamu sudah punya tugas pertama yang harus dituntaskan, loh.”
Ha? Kok, jadi gua yang punya tugas pertama?
“Yaitu?”, tanya gua bingung.
“Yaitu bicara ke Mama Papa soal kamu mau nikahi aku.”, dan Pucil tersenyum bandel.
Aduh! Soal itu!
Kenapa tiba-tiba spaghetti di mulut terasa pahit, ya?

Chapter 3



Ganesha
Akhirnya hari ini datang juga. Rasanya lebih berat dari menghadapi ujian skripsi. Weekend kemarin gua masih bisa mengelak dengan pura-pura sibuk. Padahal alasan sesungguhnya adalah gua merasa belum siap kalau harus menghadapi orangtua Pucil. Tapi akhir minggu ini gua enggak bisa berkelit lagi. Aduh, gila, mata sepet banget rasanya, tapi jantung gua enggak bisa tenang. Sudah hampir seminggu, nih, tidur gua enggak nyenyak gara-gara memikirkan kata-kata ampuh yang harus gua pakai hari ini!

Om, tante, saya ingin menikahi Pucil.
Terlalu langsung.

Om, tante, saya dan Pucil memutuskan untuk menikah.
Ah, kok, masih belum pas.

Begini, lho, Om, Tante, saya dan Pucil punya rencana untuk menikah tahun ini..
Aaah, kepanjangan. Keburu tersekat duluan di tembolok.

Izinkan saya untuk menikahi Pucil, Om, Tante.
Halah, dangdut banget.

Ganesha toloool! Otak lo, kok, jadi tumpul begini, sih!! Padahal waktu melamar Pucil semuanya lancar. Enggak pakai acara insomnia segala, semuanya mengalir. Sempat-sempatnya pakai berlutut segala pula, malu gua kalau ingat lagi. Padahal kalau dipikir lagi itu lebih dangdut dari semua kalimat di atas, ya? Uh, kacau! Kacaaau!
Gua jadi kepikiran Derry. Orang itu, kan, pacarannya enggak sampai setahun. Baru juga ketemu babenya Yani beberapa kali. Gua sudah berkali-kali nenamu di rumah Pucil. Saban mengantar pulang, gua selalu masuk ke rumah, pamit pulang. Menurut teori, seharusnya gua lebih mantep, dong! Tapi kenapa gua sekarang enggak berhenti berkeringat, sih? Kenapa leher gua jadi kaku begini pula?
Ayo Ganesh. Berani! Berani! Ini baru permulaan!
Aaah, percuma saja gua mencoba mengobarkan nyali. Begitu sampai di rumah Pucil, jantung ini rasanya menciut. Sungguh hari yang salah untuk melamar cewek gua, karena semuanya hadir di rumah. Bahkan Ai’ yang biasanya kelayapan sama teman-temannya hari ini muncul juga, anteng duduk di depan komputer. Hanya itu, sih, yang berbeda. Sisanya sama, enggak ada sikap yang berlebihan. Mirip kalau gua main ke rumah Pucil seperti biasa. Ah, bagus, agak tenang jantung gua jadinya.
Eh, tapi tunggu dulu, gua barusan ngintip ke arah meja makan. Dan apa yang gua lihat? Lauk pauk lengkap tersusun rapi di tengah meja bundar. Kok, Si Tante masak lengkap banget hari ini? Yak, fakta tadi baru saja menggagalkan teori gua bahwa hari ini enggak istimewa. Setahu gua, Mamanya Pucil jarang banget masak besar begini. Hanya sekali-sekali saja, seperti di bulan puasa. Beliau sering menyiapkan makanan buka bersama untuk mesjid di dekat rumah. Gua enggak bisa lupa karena sekali waktu gua sok ikut membantu, malah jadi petaka besar karena ikan asinnya hangus semua.
“Gan? Yuk, makan dulu, deh!” Ajakan Mamanya Pucil membuyarkan pikiran gua.
Haduh Tante, andai saja Tante tahu apa yang sedang ada di dalam kepala guaaa!

Jadi, duduklah kami semua di meja itu: Mama dan Papanya Pucil, Ai’, Pucil, Reza, dan gua. Bukan pertama kalinya gua makan bersama di meja ini, tapi ini pertama kali gua makan bersama semua keluarga Pucil dengan menu lengkap: sop buntut, sayur labu, dan balado terong. Pakai kerupuk udang pula. Jadi ingat hajatan sunat tetangga minggu kemarin. Halah!
Bagus, bercanda terus lo, Gan, sebelum betulan jadi stupa di depan mereka!
Sepanjang acara makan, gua duduk dengan sangat enggak nyaman. Jantung gua terjengkang-jengkang setiap kali Papanya Pucil menoleh ke arah gua dan mengajak bicara.
“Gan?”
“Ya, Om?”
“Mobilmu sudah di-service? Katanya kemarin olinya sudah harus diganti?”
Atau…
“Oh iya, Gan?”
“I-iya, Om?”
“Kemarin kucing tetangga ada yang kelindes di depan, lho. Jadi nanti hati-hati kalau keluarin mobil, ya?”
Bushet.
Kucing tetangga pula jadi pembicaraan! Ai’ malah dengan cueknya bercerita tentang bazar di kampusnya minggu kemarin. Ah, mungkin gua berlebihan. Mungkin enggak seharusnya gua overdosis panik begini. Hey, mungkin hari ini gua enggak harus mengucapkan kalimat sakti itu ke orangtua Pucil? Hmmm…. Aaah, ngarang aja lo, Gan! Eh, tapi… tunggu dulu, sampai semuanya selesai makan, kok, enggak ada pertanda dimulainya topik ‘itu’, ya? Apa gua yang harus mulai, nih, jangan-jangan?
“Gan, bantuin aku ngambil buah di dapur, yuk. Sekalian ngangkat ini, nih, dari meja.”, kata Pucil sambil menumpuk piring-piring kotor. Gua menyambut ajakan itu dengan sukacita. Ini adalah kesempatan emas buat nanya Pucil skenario apa yang terjadi di sini.
“Cil, aku enggak harus nanya hari ini, kan?” Tanya gua di dapur dengan penuh harap. Kali-kali saja masih tersisa sedikit keajaiban di dunia ini. Eh, Pucil malah tertawa.
“Gini, lho, Gan, nanti…”
“Put, itu melonnya belum Mama potong. Kamu bawa saja dulu mangga dan anggurnya. Sini, itu mama potong dulu.”, tahu-tahu Mamanya Pucil muncul dan menyabotase pembicaraan crutial ini.
Aduuuh, Tanteee!
Pucil akhirnya langsung beranjak ke meja makan dengan sepiring besar buah-buahan di tangannya dan senyum terkulum di bibirnya. Pasrah. Gua pasrah!

Menunggu Mamanya Pucil selesai memotong melon adalah waktu yang paling lama sedunia. Bukan karena Mamanya Pucil enggak becus menggunakan pisau, tapi karena sepanjang Dion bercerita tentang Fear Factor yang ditontonnya kemarin, Pucil terus-terusan tersenyum misterius. Semacam memberikan pertanda ke gua bahwa sesuatu, sesuatu yang besar, akan terjadi sebentar lagi. Benar-benar detik-detik yang paling menyiksa.
Mamanya Pucil kemudian kembali ke meja makan, menyuguhkan melon potong di piring kedua. Semuanya menyerbu kedua piring tersebut. Sedangkan gua, gua yang biasanya tergila-gila dengan mangga, kali ini merasa perut ini terlalu melintir untuk disogok dengan buah itu.
“Nah, Ganesh, Om dengar kamu ada yang ingin disampaikan?”, tanya Papanya Pucil dengan tenang. Semua mata tertuju pada gua.
Yak! Inilah saat yang tepat untuk jadi stupa, Ganesh.
Baru saja gua mau buka mulut untuk menjawab, tiba-tiba,…
“Permisiii…”
Perhatian teralih ke arah pintu depan, dan… oh, tidak! Siapa lagi, tuh?


Pucil
Aduh, melihat Ganesha hari ini rasanya tidak tega sekaligus juga ingin tertawa geli. Susah sekali menahan diri untuk tidak menggodanya! Sejak pertama dia muncul di depan pintu, aku sudah bisa melihat dengan jelas bahwa cowok yang aku kenal cuek seumur hidupnya hari ini terserang grogi kronis. Bahkan Ai’ sempat-sempatnya berbisik padaku dengan geli.
“Tangannya dingin banget, Mbak, waktu tadi salaman!”, adikku itu cekikikan. Yang membuatku tidak bisa menahan senyum adalah melihat betapa keras usaha Ganesha untuk tampil kalem seperti biasa. Hihihi.
Mama hari ini khusus memasak lengkap, Papa juga wanti-wanti ke Ai’ dan Dion untuk tidak keluar rumah. Minimal sampai misi hari ini tuntas. Tumben Ai’ tidak protes. Belakangan dia buat pengakuan kalau ia sangat tertarik untuk melihat ‘pertunjukkan’ hari ini. Sekalian menyontek tips buat dirinya sendiri barangkali.
Satu kesempatan untuk menenangkan Ganesh datang ketika Mama meminta aku untuk mengambil piring buah di dapur. Makanya aku langsung kasih kode ke Ganesh untuk ikutan bantu di dapur. Tapi dasar apes, Mama tiba-tiba masuk ketika aku tengah berbicara dengannya. Ma’af, ya, Gan, hihihi. Terpaksa aku harus kembali ke meja makan.

Memang betul, hari ini bukan hari keberuntungan cowokku yang malang itu. Pas betul ketika Papa mulai bertanya tentang niatan Ganesh, Om Rio dan Tante Tata datang! Tentunya Mama dan Papa langsung menjamu mereka di meja. Dan di tengah-tengah keramaian di meja makan itu, Papa kembali ke pertanyaan yang sebelumnya terpotong. Ganesha yang sudah pucat benar-benar tidak bisa berkutik.
“Jadi gini, Om Rio, Tante Tata, Ganesha ada di sini, selain main juga ingin ada yang diutarakan sepertinya. Iya, kan, Putri?”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Mataku tidak lepas dari Ganesha yang tersenyum kaku.
“Gimana, Gan? Apa yang kamu ingin sampaikan ke Om dan Tante?”, tanya Papa lagi. Wah, bisa-bisaan, nih, Papa. Tenang banget ngomongnya, padahal aku tahu Papa sedang melakonkan pertunjukan juga. Andai saja Ganesha tahu.
Semua mata sekali lagi tertuju pada Ganesh. Sedetik, dua detik Ganesha terdiam, detik berikutnya dia menarik nafas panjang.
“Gini Om, Tante…”
Aku jadi ikutan panas dingin.
“Sudah cukup lama saya pacaran dengan Pucil. Dan selama ini kami merasa cocok satu sama lain.“
Semua terdiam, perhatian penuh masih tertuju ke Ganesh.
“Nah, maksud kedatangan saya di sini adalah untuk meminta izin sama Om dan Tante, untuk menikahi Pucil. Kalau diizinkan, saya pasti akan menjaga anak Om dan Tante dan berjanji membahagiakannya.”
Akhirnya! Keluar juga kalimat itu dari mulut Ganesha. Aku cukup takjub juga dengan ketenangannya. Sejujurnya, aku sudah punya gambaran kata-kata apa yang akan diucapkan oleh Ganesha hari ini. Tapi mendengarnya langsung, membuat aku tergugu juga.
Bagus, Gan, oh I’m so proud of you!


Ganesha
Akhirnya!
Keluar juga kalimat itu!
Detik-detik paling mendebarkan berangsur menghilang. Apalagi Reza langsung memecah suasana dengan tertawa terbahak-bahak. Ngetawain gua!
“Bwahahaha! Lo tegang banget, sih, Gan!”. Gua meringis, diam-diam mengutuk si bocah tengil itu.
Sial! Tunggu sampai giliran lo tiba, man!
Tapi melihat reaksi orangtuanya Pucil, plus Om dan Tantenya, hati gua langsung mak nyosss. Mereka tersenyum! Fiuh! Badai sudah berlalu, Ganesha.
“Enggak usah tegang begitu, dong, ah, Gan!”, kata Mamanya Pucil sambil tertawa. Yang lain ikutan tertawa juga, cuma gua yang salah tingkah. Man, cowok mana pun juga pasti akan grogi menghadapi momen seperti ini. Itu manusiawi, kan? Bagaimana kalau ternyata menurut mereka gua enggak memenuhi standard suami ideal Pucil? Sekali kata ‘tidak’ keluar dari mulut mereka, habis lah gua. Mati dengan tragis sebelum bisa bertempur!
“Om dan Tante senang sekali kalian memutuskan untuk menikah. Tentunya kita percaya kamu bisa memenuhi janji kamu, Gan.”, jawab Papanya Pucil.
Adem, adem! Matahari kembali bersinar cerah.
“Lagipula sejak pacaran sama kamu, Pucil tambah gemuk, nih, kayaknya, ya?”, Om Rio nyeletuk.
“Idih, Om, apa hubungannya?”, Pucil langsung protes sambil tersipu.
“Tandanya lo bahagia, tauk!”, dibalas cepat oleh Ai’.
Hahaha, Pucil langsung mati gaya. Eh, tapi memangnya sejak pacaran sama gua dia tambah gemuk, ya? Hmmm…
“Nah, sekarang langkah selanjutnya apa, nih, Put, Gan? Kalian sudah ada rencana apa?”
Ronde kedua dimulai.
Gua dan Pucil saling melirik, saling menunggu. Okey, sepertinya gua yang juga harus bicara.
“Kita sudah bicarakan berdua Om, paling tidak garis besarnya mau seperti apa. Kita sama-sama ingin diadakannya outdoor, mungkin… di pantai?” Semuanya terlihat terkejut.
Nah, kan. Tepat dugaan gua.
“Waaah, seru banget kawinan di pantai!”, Ai’ kegirangan, si bawel ini jelas setuju. Sayangnya Mamanya Pucil malah mulai menunjukan tanda-tanda khawatir.
“Kenapa harus di pantai, sih, Cil? Di sini kan susah nyarinya. Kenapa enggak di gedung aja kayak biasa?” Sambutan Mamanya Pucil seperti yang sudah gua tebak. Pucil terlihat was-was.
“Iya Tante, enggak mungkin kita mengadakannya di Jakarta. Karenanya kita berpikir untuk mengadakannya di luar kota. Seperti di Bali, barangkali”, jawabku.
“Bali! Wah, asyik banget Gan kalau ngadainnya di Bali!”, Reza kali ini ikutan excited. Dodol! Bukannya bantuin gua!
“Sebenarnya Papa tidak mau melarang kalian, nih, Put. Tapi jelas harus direncanakan baik-baik karena pasti akan dua kali lebih sulit. Belum lagi masalah biaya. Yakin kalian maunya di Bali?”, tanya Papanya Pucil. Pandangannya serius terarah ke cewek gua. Pucil mengangguk.
“Kalau persoalan biaya, saya sudah mempersiapkannya dari jauh hari sebenarnya, Om. Mungkin tidak besar, tapi ada lah.”
Pucil menatap gua, terkejut. Memang selama ini gua enggak pernah cerita kalau diam-diam gua menabung untuk keperluan itu. Malu gua kalau diledek dia. Nanti dituduh sebagai cowok sentimental lagi, kayak begitu saja disiapin.
“Lagipula, Om, Tante, ini buat kepentingan keluarga saya juga. Mbak Amy dan suaminya sudah menetap di Singapura. Sementara Ayah, Ibu, dan Dion sekeluarga ada di San Fransisco. Sebagian kerabat dekat saya tersebar di luar Indonesia, Om. Jadi saya pikir ini bisa jadi momen bagi mereka untuk terbang jauh untuk pernikahan kami sekaligus liburan besar.”, gue menambahkan. Ini kata-kata ampuh yang sudah gua pikirkan untuk menghadapi reaksi orangtua Pucil.
“Kita ingin nikahan nanti berbeda dengan yang lain, Pa. Apa enggak bosen dating ke nikahan di gedung melulu? Dan ide yang seperti Ganesha bilang tadi bukannya enggak mungkin, kan?”, tanya Pucil.
Wah, sepertinya berhasil, nih. Papanya Pucil mengangguk-angguk.
“Om Rio dan Tante Tata, sih, senang-senang saja, Put. Di gedung oke, di pantai juga oke. Tapi kalau kalian maunya di gedung Om bisa bantu dapat diskon. Jadi sebagian duitnya, kan, bisa kalian tabung.”, kata Om Rio sambil terkekeh.
“Susah, nih, anak jaman sekarang, maunya yang aneh-aneh.”, canda Mamanya Pucil.
“Kita enggak melarang, ya, Ma? Tapi ada baiknya kalau kita bicarakan dengan yang lain.”, kata Papanya Pucil.
Hah? Yang lain?
Gua terperajat. Apa enggak cukup banyak ‘yang lain’ sudah hadir hari ini?
“Minggu depan kita coba kumpul keluarga lagi. Undang Tante Rani, Tante Desi, dan Om Agus. Rio dan Tata bisa datang juga, kan, minggu depan?”, tanya Papanya Pucil.
“Oooh, bisa. Gampang, itu!”, jawab Tante Tata, tersenyum.
“Oh, iya, Putri, kamu perlu bicara sama Tante Desi, terutama untuk soal baju dan serah-serahan. Tante Desi pasti bisa bantu. Gimana?”
Gua tahu benar ucapan Papanya Pucil tadi bukan anjuran, tapi ultimatum. Gua melirik Pucil, mencari tahu reaksinya.
“Iya Pa. Sip. Kita tunda saja dulu sampai minggu depan. Tapi kalau memungkinkan, kita boleh ngadainnya di pantai, kan?”, tanya Pucil. Aku menahan nafas. Kalau sampai Papanya Pucil menarik garis tegas, bilang ‘tidak’, Pucil pasti putus asa dan kecewa berat.
“Yah, kita lihat nanti. Papa tidak melarang. Tapi lebih baik kalian mendengar pendapat yang lain, terutama Tante Desi, supaya tahu apa saja yang kalian harus hadapi ke depannya. Ya?”
Yak, dengan begitu sebuah pintu kemungkinan sudah terbuka. Babak satu dan dua terlewati dengan penuh perjuangan. Babak berikutnya pasti lebih berat. Tapi paling enggak akan ada waktu ekstra bagi gua dan Pucil untuk mengatur strategi!
Hmmm… menyongsong badai berikutnya!

Chapter 4



Edwina
Hari ini pileknya Andien tambah parah. Kasihan dia, gara-gara musim hujan, sampai kena flu begini. Dokter bilang, sih, bukan masalah serius, flu ringan saja. Tapi gue enggak tega meninggalkan Andien sendirian sama babysitter-nya. Makanya gue bolos ke kantor buat ngurus anak gue. Daripada gue paksain kerja tapi otak enggak bisa mikir, kan? Sekarang Andien lagi bobok, setelah seharian nangis karena hidungnya meler terus. Jadi sekarang kesempatan buat ibunya untuk istirahat juga. Andai saja bayi 4 bulan sudah bisa bicara, semuanya pasti jadi lebih gampang.
Baru juga gue memejamkan mata selama 15 menit, Pucil telpon. Ini sungguh enggak adil, gue kan juga butuh istirahat! Gue nyaris ngambek, tapi ternyata ceritanya Pucil menarik untuk disimak. Tentang pertemuan hari Minggu kemarin di rumahnya itu, lho. Batal, deh, ngomelnya.
Seperti yang sudah gue tebak, meyakinkan orangtua untuk menyetujui rencana yang begitu besar pasti sulit. Gue jadi teringat waktu menyiapkan nikahan dulu. Gue ingin acaranya sederhana saja, enggak usah pakai undang-undang semua tetangga segala. Bukannya gue sadis, gue ingin kawinan gue didatangi oleh orang-orang yang dekat dengan gue. Itu saja, kok.
Tapi Mamanya Mas Arief enggak setuju. Pesta ideal bagi beliau adalah termasuk mengundang minimal 1000 orang. Akhirnya semuanya berubah. Kalau tamunya segitu, tempatnya pun harus yang besar, makanannya lebih banyak, souvenirnya juga ekstra. Yah, kalau Mama sendiri yang protes, gue mungkin bisa kasih aksi unjuk rasa. Nah, gimana kalau calon ibu mertua yang protes? Serba salah, kan? Bahkan sampai warna baju pengantin, orangtua juga yang menentukan. Merah. Hah! Warna yang paling gue benci. Waktu itu gue benar-benar enggak berdaya. Kalau enggak ada Pucil, gue mungkin sudah break down sebelum mencapai pelaminan.
Untungnya orangtua Ganesha enggak di sini dan gue yakin mereka lebih mudah diajak kompromi. Namun dengan segala rencana bombastis itu, jelas tantangan Pucil lebih besar. Gue harus siap-siap sedia kuping 7 bulan ke depan. Pasti kondisinya memanas, nih.


Bon-bon
Uuuh! Enggak sabar banget aku menanti berita dari Pucil tentang pertemuan Ganesha dengan keluarganya kemarin. Ingin dengar laporannya langsung! Makanya ketika HP bergetar di saat meeting besar, aku buru-buru kabur ke toilet. Puas terpingkal-pingkal di sana mendengar Pucil menceritakan reaksi Ganesha hari itu. Bisa kubayangkan panas-dinginnya dia ketika minta izin ke orangtuanya. Hihihi. Tapi sukses! Salut! Boleh juga, nih, kapan-kapan minta Ganesha untuk kasih tips ke Billy.
Yea, right, Bon. Like you are going to get married tomorrow! Hahaha.
Sayangnya aku enggak bisa lama-lama ngobrol dengan Pucil. Salah-salah nanti malah memicu prasangka yang merusak image kalau terlalu lama di toilet.You know what I mean? Berarti nanti harus aku update lagi cerita detilnya setelah rapat.
Wah, aku senang Pucil akhirnya bisa meng-goal-kan keinginan untuk nikah di pantai ke orangtuanya. Enggak gampang, aku tahu. Hmmm, berarti aku juga harus mulai memikirkan gaun apa yang harus dipakai untuk pernikahan ala pantai, nih. Bali, pula! Cihuuuy!
Billy mau enggak, ya, nemenin aku windowshopping besok?


Ririn
Barusan Bon-bon telpon aku. Bisa-bisanya anak itu ngomong terus selama setengah jam cuma buat cerita kalau kawinannya Pucil bakalan jadi di Bali. Cerita tentang lamaran Ganesha nyempil saja diujung, sebelum dia menutup telpon. Heboh banget anak itu, deh. Perasaan Pucilnya sendiri malah enggak begitu, deh. Dan kayaknya Pucil sempat cerita kalau nikahannya belum tentu jadi di Bali, harus usaha dulu untuk meyakinkan keluarga besarnya. Dasar Bon-bon, sudah buru-buru ingin nyari dress baru saja. Minta temenin, lagi! Hari gini, lagi tanggal-tanggal ubanan pula. Minta dijitak!
Aku jadi penasaran, deh, ingin ngobrol dengan Ganesha. Apa rasanya, ya, duduk semeja dengan keluarga pacar dan ngomong langsung ke orangtua Pucil untuk minta izin menikahi anaknya? Ih, tidak kebayang! Kalau aku jadi Pucil, pasti pusing kepalaku saking khawatirnya. Seperti kalau ada cowok yang mau main ke rumah. Ah, nasibku punya tiga orang kakak laki-laki yang semuanya terlalu sayang sama adik perempuan semata wayangnya ini. Entah sudah berapa banyak cowok yang mundur pelan-pelan setelah diinterogasi mereka. Nasiiib...
Aku sendiri sebenarnya agak khawatir tidak bisa datang kalau Pucil jadi nikah di Bali. Bukannya tidak mau datang, tapi gimana, ya? Pertama harus minta izin orangtua dulu, kedua tiket pesawaaat... haduh, duit lagi! Kalau bisa naik ojek, aku naik ojek, deh. Dan ketiga, yang paling penting, aku malas banget going solo. Memang Pucil sahabatku, tapi Edwina pasti datang sama Mas Arief, Si Gila Bon-bon sudah jelas pergi dengan Billy.
Duh, egois aku, ya? I can’t help it. Weddings always pointed out so clearly how single i am.


Ganesha
Menyusun strategi dari laut!
Sial! Kalau dua minggu kemarin gua enggak bisa tidur gara-gara mikirin sebuah kalimat sederhana, minggu ini gua lagi-lagi kena insomnia karena mencari strategi. Tapi paling enggak seminggu ini ada dua orang yang sama-sama gelisah: gua dan Pucil.
Gua sudah melakukan sedikit ‘penelitian’ kecil tentang Om dan Tantenya Pucil. Om Rio, Tante Tata, dan Tante Desi tidak begitu ngoyo, walaupun pasti ada sebantah dua bantahan nanti. Sementara untuk meyakinkan Tante Rani dan Om Agus akan membutuhkan usaha ekstra. Tante Rani, nih, yang gua khawatirkan sulit sekali di-CS-in. Gua sendiri, sih, baru ketemu sekali dua kali dengan Tante Rani. Memang orangnya agak keras. Pucil juga bilang begitu. Tapi hubungan antara Mamanya Pucil dan Tante Rani sangat dekat, jadi apa yang Tante Rani bilang, pasti akan mempengaruhi keputusan Mamanya Pucil.
Nah, sebentar lagi gua sampai di rumah Pucil. Dari kejauhan gua lihat sudah banyak mobil parkir di depan rumahnya. Sepertinya sudah pada sampai, nih. Parkir di mana, ya?


Pucil
Hari ini Ganesha terlihat jauh lebih santai dari pertemuan minggu kemarin. Justru aku yang sekarang nervous. Para Om dan Tante datang lebih awal, ini justru bagus. Soalnya kita jadi ngobrol tentang hal yang lain dan aku jadi merasa lebih santai karena tidak langsung ditodong dengan pertanyaan-pertanyaan persiapan. Oh iya, tadi malam aku sempat membuat catatan kecil tentang apa saja yang harus dibicarakan.

Catatan Penting!
- Lokasi: Pantai – Bali (kalau memungkinkan) No gedung! No pajang-panjang pengantin! Suasananya semi formal, semua bebas berinteraksi. Sit- down party. Harus sesuai budget kantong Pucil + Ganesha.
- Jumlah tamu: Sekitar 100 -150. Prioritaskan keluarga dekat dan sahabat.
- Pakaian pengantin dan keluarga: Tanya Tante Desi. Blank, nih, mau gayanya gimana. Yang pasti adat Jawa, kombinasi putih-biru. Yes!
- Dekorasi dan makanan: ?
- Souvenir: ?
- Bikin undangan – tanya Edwina (tempat) & Bon-bon (disain).
- Bikin guest list
-
-
Apa lagi, ya?

Dua poin yang paling atas adalah yang paling penting untuk dibicarakan. Kalau itu bisa tembus, sisanya aman.
Setelah Ganesha datang dan kita semua makan siang, akhirnya pembicaraan dimulai. Kalau minggu kemarin Ganesha yang menjelaskan ke Mama Papa, sekarang giliran Mama dan Papa yang menjelaskan ke semuanya.
“Putri dan Ganesha ini punya rencana akan menikah tahun ini. Kita semua senang sekali mendengarnya.Lalu dari pertemuan minggu lalu, sebagian dari kita di sini sudah mendengar kalau mereka punya rencana pernikahan di Bali, katanya ingin pas ulang tahun Pucil tanggal 8 Agustus. “
“Kalau bisa, nih. Kita belum survey juga, ya, Gan?”, aku menambahkan.
“Gaya, euy, di Bali.”, goda Tante Desi sambil tertawa.
“Agustus berarti... wah Cil, sekitar 7-8 bulan dari sekarang, dong. Enggak terlalu mepet, ya?”, tanya Om Agus.
“Iya, belum lagi surveynya. Kapan mau ke sana?”, tambah Tante Rani. Papa dan Mama melihat ke arah aku dan Ganesha bergantian.
“Hehehe, bisa lah Om, Tante. Survey bisa lewat internet, bisa juga tanya ke teman saya. Kebetulan dia kerja sebagai wedding organizer. Kalau sudah dapat alternatifnya, baru kita teliti lagi. Kalau perlu kita sediakan waktu khusus untuk pergi ke sana. Mudah-mudahan kita bisa cari yang pas dan sesuai budget.”, jawab Ganesh dengan tenang.
Ganesha ‘menyisihkan waktu’ dari kerjaannya? Huhuhu, untuung tidak ada yang tahu bagaimana padatnya jadwal kerja Ganesh. Kalau tidak, pasti mentah lagi argumen barusan.
“Mesti buru-buru juga, lho, Gan. Biasanya orang booking tempat kawinan sudah dari jauh hari. Malah ada yang setahun-dua tahun sebelumnya”, Tante Desi mengingatkan.
Oh iya, Tante Desi ini adiknya Mama yang punya usaha membuat dan menyewakan baju-baju tradisional serta pernak-perniknya. Beliau sudah biasa berurusan dengan pernikahan. Aku sangat berharap bisa mendapat banyak masukan dari Tante Desi. Dan aku percaya Tante Desi bisa memberikan banyak gambaran tentang persiapan pernikahan kepada kami berdua.
“Itu masalah pertama. Belum lagi tentang tamu-tamunya. Kalau kita saja mungkin masih bisa datang ke sana, Cil. Minimal diwakilkan, deh, kalau semuanya tidak bisa berangkat. Tapi undangan yang lain, kan, belum tentu. “. Sebenarnya kata-kata Tante Rani ini betul. Pasti tidak semuanya bisa terbang ke Bali. Namun justru itu poinnya! Kita berdua kan memang tidak ingin terlalu banyak tamu yang datang. Cukup orang-orang yang kenal dekat dengan kami saja. Itu bisa jadi alasan untuk tidak mengundang banyak orang.
“Betul, Tante. Namun Ganesh dan Pucil memang enggak ingin pesta yang besar. Jadi cukup orang-orang yang dekat saja.”, kataku.
“Yah, jadi Mama juga harus pintar simpan rahasia, dong, ke orang-orang?”, tanya Mama kelihatannya tidak begitu senang dengan ide itu.
“Sebenarnya enggak perlu simpan rahasia, sih, Ma. Kalau ada yang tanya tentang rencana ini, bisa saja, kok, diberitahu yang sebenarnya. Setelah nikahan, kita bisa bikin tumpeng buat tetangga, dan kerabat yang lain disertai dengan kartu kecil bahwa kita sudah menikah. “
Mama mengangguk-angguk, tapi dari ekspresinya aku tahu masih ada ganjalan di hatinya.
“Memangnya rencananya mau berapa undangan?”, tanya Tante Tata.
“Maksimal 150, lah, Tante. Sesuai juga dengan kondisi venue yang seperti itu. Kita memang belum survey, tapi rasanya enggak mungkin juga kita taruh 1000 orang di pinggir pantai.”, jawab Ganesha, mencoba bercanda. Yang lain tertawa, cuma Mama yang terlihat masih kurang sreg.
“Habisnya Mama enggak enak nanti kalau ditanyain tetangga.” Keluar juga ganjelan itu dari mulut Mama.
“Bilang saja kawinannya di luar kota, Mam. Tapi nanti diadain syukuran kecil di rumah, gitu. Orang-orang sini enggak suka usil, kan?”, Papa membela kami berdua. Wah, kayaknya Papa sudah mulai masuk tim kita, nih! Asyik!
“Kemarin saya dan Pucil juga sudah bikin daftar tamu, untuk gambaran awal saja, nih, Om, Tante. Dari pihak saya mungkin ada 50-an orang yang datang. Terus... hmmm...”, Ganesh melirik aku.
“... dari kita, kalau bisa datang semua mungkin ada 80-90an orang. Dan itu sudah termasuk keluarga dan teman-teman.”, aku menambahkan.
“Jadi pas lah.”, kata Ganesha lagi.
“Sisanya kita bisa edit lagi sambil jalan, Mam. Pasti nanti ada yang enggak bisa datang, atau tambahan nama undangan. Tinggal di atur saja nanti.” Aku melihat ke arah Mama. Sepertinya Mama sudah bisa mulai menerima ide ini. Buat aku, yang penting, kan, kita tidak merahasiakan pernikahan ini.
“Bisa diterima, enggak, kira-kira?” Tanya Papa melihat ke kami semua. Lega sekali aku melihat yang lain mengangguk.


Ganesha
Masalah tamu, sepertinya sudah beres. Semua setuju. Great!
“ Terus apalagi?”, lanjut Papa.
Gua meraih catatan kecil yang dibikin Pucil tadi malam.
“Untuk baju pengantin dan keluarga... hmmm... gimana Cil?”
Sebenarnya bisa saja, sih, gua langsung minta Tante Desi untuk membantu. Tapi, kok, rasanya kurang pas kalau gua yang minta, ya? Bukannya buang badan, nih, tapi enaknya, sih, Pucil yang ngomong.
“Ah, iya. Soal baju. Kita berdua sama-sama enggak ahli di bidang ini, nih. Jadi...”, Pucil melirik ke Tante Desi sambil senyum-senyum.
“Iya iya, pasti Tante bantuin. Tenang saja, Cil. Tapi kalian maunya gimana, nih?”, sambung Tante Desi sambil tertawa.
“Hihi, makasih Tante. Yang kepikiran sekarang, sih adatnya pasti adat Jawa. Kalau nuansanya mungkin hmmm... putih dan biru?” Pucil melihat ke arah orangtuanya, mencoba membaca reaksi mereka. Sepertinya mereka setuju-setuju saja.
“Lha, Ganesha baju pengantinnya biru, dong?”, canda Om Rio sambil tertawa. Gua langsung terperajat.
Wait, itu enggak serius, kan?
“Ya, enggak, dong. Kayaknya lebih baik kalau kebayanya Pucil yang nuansanya biru, ya? Ganesha pakai baju Demang hitam. Supaya nyambung, mungkin ada kain pendek dililit di pinggang yang matching dengan sarung birunya Pucil. Gitu gimana?”
“Kita ikut Tante saja, deh. Pucil sebenarnya kurang tahu baju Demang kayak apa. Bisa diomongin lagi, kan, ya?”, tanya Pucil.
“Iya, kapan-kapan main ke rumah, Cil. Tante banyak buku-buku majalah pengantin yang bisa kamu lihat buat nyari ide.” Semua setuju dan gua terselamatkan oleh ide bagus dari Tante Desi. Fiuuuh!
“Nah, sekarang sisanya, bisa diurus sambil jalan. Katering, dekorasi, undangan, souvenir...”
“Souvenir-nya yang bagus, Cil, dan jangan pajangan. Mama paling sebel kalau dapet pajangan. Malah jadi tempat debu numpuk. “, potong Mamanya Pucil. Gua tertawa mendengarnya. Memang Pucil dulu sempat cerita kalau Mamanya ini alergi debu. Setiap pagi setelah bangun tidur, beliau sering bersin-bersin. Makanya di rumah Pucil juga jarang ada pajangan.
“Oke, itu bisa kita urus belakangan kalau begitu. Sekarang balik ke soal utama lagi: masalah tempat.”, kata Papa.
“Enggak usah di luar kota, lah. Repot, kan, Gan?”, kata Tante Rani sambil tertawa. Pucil melihat ke arah gua dengan khawatir. Gua kemarin memang sempat bilang kalau gua paling ogah repot. Tapi mendingan gua repot sekarang daripada ide itu dibuang setelah kita sudah berjuang setengah jalan.
“Tante Desi takutnya juga kalian enggak akan dapat tempat. Pertama waktunya mepet, kedua hmmm... mahal, Gan. Sayang uangnya mending kalian pakai buat nyicil rumah, misalnya.”
“Atau buat honeymoon?” Om Agus menggoda kamu berdua. Cuma Pucil yang terlihat senyumnya sedikit dipaksa.
“Belum lagi nanti repot ngurusnya, bolak-balik terus.”, tambah Tante Tata.
“Om Rio bisa bantuin kamu booking tempat di hotel bintang lima kalau mau. Atau di tempat mana saja lah, tinggal bilang. Cocokin saja sama budget, dijamin dapat diskon.”, timpal Om Rio. Hmmm… tawaran yang sungguh menggiurkan sebetulnya.
Duh, gawat. Gua bingung harus ngomong apa setelah diserang dari segala arah seperti ini. Pucil juga sudah mulai hilang kata-kata. Lama gua dan Pucil terdiam dan hanya mendengarkan komentar-komentar dari yang lainnya.
“Ya sudah, gini saja. Pada dasarnya kita semua enggak ingin membuat calon pengantin ini enggak bahagia.”, Papanya Pucil akhirnya menengahi. Yang lain tertawa mendengar kata-kata beliau.
“Kita cuma khawatir, kok, Cil, Gan. Takutnya ide kalian ini enggak realistis dan kalian malah kehabisan waktu sementara undangan sudah disebar dan dicetak. Iya, kan?”
Hmmm… masuk akal juga.
“Kita bikin jalan tengahnya saja. Gini, kalau kalian bisa booking tempat di Bali yang sesuai dalam 5 bulan ini, kita ikut rencana kalian. Kalau enggak, mungkin kita bisa ambil tawarannya Om Rio. Gimana, tuh, Yo, bisa enggak kira-kira di-nego buat di booking tanpa DP sampai 5 bulan ke depan?”
Gua kurang tahu apa pekerjaannya Om Rio, yang jelas beliau ini orang penting yang kenal dengan banyak orang penting juga. Enggak heranlah kalau Om Rio kenal baik dengan pengusaha-pengusaha tinggi dan bisa dapat diskon.
“Sepertinya kalau 5 bulan agak kelamaan. Kasihan anak-anak ini, berarti waktunya hanya 2-3 bulan untuk menyiapkan semua kalau ternyata yang di Bali enggak jadi. Kalau Om bilang, sih, lebih baik dibikin tiga bulan saja. Empat bulan maksimal, deh.”, kata Om Rio. Yang lain menyimak tanpa protes, termasuk Pucil yang wajahnya mulai bersemangat kembali.
“Empat bulan? Walah, cepat amat!”, ujar Tante Rani. Yang lain melihat ke arah gua dan Pucil.
“Gimana, nih, calon pengantin? Empat bulan bisa enggak?”, Papanya Pucil melempar tawaran itu kembali ke gua dan Pucil untuk menentukan. Gua rasa Pucil enggak akan mau melepas kesempatan kecil ini untuk mengejar apa keinginannya.
“Oke, 4 bulan, ya, Om?”
“Maksimal.”, tambah Om Rio.
Pucil mengangguk mantap.
Dan begitulah. Rapat resmi ditutup. Meninggalkan PR yang besar buat gua dan Pucil 4 bulan ke depan.
Hmmm... men-survey dan mem-booking venue di Bali dalam 4 bulan? Mungkin enggak, ya?

Chapter 5


: Hei! Gimana persiapan nikahannya?

: Aduuuh, Tos, jangan ditanya, deh...

: Lho? Kok gitu? Bukannya kemarin kata lo keluarga sudah bisa diajak kompromi?

: Iya, itu sudah enggak masalah, sih. Tapi kita masih bingung nyari tempatnya. Plus gue juga harus bagi waktu sama kerjaan. Harus nyocokin waktu luang juga sama Ganesha. Tau sendiri, kan, Ganesh kalau sudah ada proyek sibuknya seperti apa.

: Wah, iya. Harus banyak sabar, lo Cil. Btw, maunya venue yang kayak gimana, sih?

: Masih sama kayak yang gue bilang kemarin. Outdoor, dekat pantai, kalau bisa dipinggir pantai, lah. Suasana semi formal, gitu.

: Lha, tempat-tempat yang kemarin gue bilang, sudah di-cek, Cil? Maunya yang kayak gitu, kan?

: Hmmm... iya.

: Terus?

: Ya, gitu, deh, Tos. Browsing di internet masih kurang sreg. Kayaknya memang harus ke Bali, nih. Pusing gue, kapan dapat waktunya, ya? Mana di kantor juga lagi ribet. Harus nyari sponsor besar buat bazar tahunan. Sabtu-Minggu juga kadang-kadang harus meeting sama calon klien.

: Harus jago bagi waktunya, Cil. Kalau sudah kepepet, minta backing dari teman yang lain aja dulu. Bolos satu meeting aja masa enggak bisa?

: Minta backing? Hehe. Agak susah, tuh, kayaknya Tos. Semuanya lagi pada sibuk sama urusan masing-masing. Begini memang menjelang Bazar tahunan. Kerja kayak kuda. Bisa dimusuhin gue kalau sampai nambah-nambahin kerjaan teman gue. Apalagi terus gue terbang ke Bali. Bisa dipikir liburan kali.

: Bisa laaah! Dan harus cepat, Cil. Setahu gue, sih, biasanya menjelang tengah tahun, tempat-tempat yang bagus buat nikahan cepat banget penuh booking-annya. Biasanya sama turis Jepang sama Australia. Semakin cepat lo bisa nemu dan booking yang cocok, semakin bagus. Paling enggak lo jadi bisa follow-up hal yang lain.

: Iya, nih. Mana si Ganesha juga lagi menghilang melulu. Duh! Eh, kalau kita ke Bali, lo bantuin, ya?
...
...
...
: Tos? Halooo?

: Eh, iya. Sorry, tadi ada yang bayar. Bantuin elo berdua? Ya kalau bisa, ya, Cil.

: Yah? Kok kalau bisa?

: Maksud gue, kalau guenya juga lagi di Bali.

: Lho, emang ada rencana mau pergi-pergi?

: Enggak, sih. Tapi daripada gue janji duluan terus malah enggak bisa bantuin? Nanti lo marah lagi sama gue.

: Enggak bakal marah, kok. Asal kawinan gue lo dateng! Hehehe.

: Amin. Semoga bisa. Eh, gue tinggal dulu, ya. Ada yang minta tolong, nih.

: Kayak Superman aja, lo, ah! Hihihi. Ya sudah. Selamat nolongin oraaang!


Ririn
Toska itu siapa, sih?
Penasaran banget aku sama cewek itu. Kalau dari cerita Pucil, kayaknya anak itu perkasa banget. Sering jaga warnet kakaknya sendirian sampai tengah malam. Bisa betulin komputer korslet pula! Lumayan juga, tuh, kalau dia datang ke Jakarta bisa diminta bersihin komputer aku yang virusnya ampun-ampunan.
Pucil bilang dia kenal Toska dari Friendster. Waktu iseng aku lihat Friendsternya, eeeh... tidak ada fotonya. Malah foto pemandangan dipajang-pajang. Curiga, tidak, siiih? Pucil, kok, bisa-bisanya akrab sama teman online yang wajahnya saja tidak jelas bentuknya, ya? Kalau aku, sudah malas duluan kali. Siapa tahu dia ternyata psycho yang punya niat jelek. Untungnya si Toska-Toska itu tinggal di Bali dan bisa ngasih Pucil referensi tempat buat nikahannya.
Pucil tadi curhat waktu kita semua ngumpul di Senayan City. Katanya dia sudah survey tempat di Bali lewat internet. Sebenarnya banyak yang bagus, tapi sayang harganya juga ‘bagus’. Yah, Pucil aneh-aneh saja, masa mau nyari tempat nikahan di Bali dengan harga diskonan? Memangnya nyari barang di pasar uler? Di Jakarta saja nyewa gedung harganya gila-gilaan. Kalau aku jadi Pucil, sudah aku terima tawaran Omnya, deh. Kan lumayan dapat diskon, uangnya bisa dialokasikan buat kepentingan yang lain. Tempatnya dijamin bagus, lagi! Kalau aku bilang, Pucil memang benar-benar harus pergi ke Bali, tanya langsung sama orang Balinya buat referensi tempat. Kalau perlu, tarik si Toska-Toska itu buat keliling Bali. Saatnya mendayagunakan teman, dong.
Selain itu kita juga sharing tentang hal yang lain. Edwina memberi beberapa nama tempat dan nomor telpon untuk bikin kartu undangan. Bon-bon berbagi nama desainer buat baju pengantin. Sementara aku cuma bisa mendengarkan. Siapa tahu suatu hari kelak bisa berguna.
Sekarang aku sudah bisa bilang begitu. Setahun yang lalu mungkin reaksiku akan berbeda karena waktu itu aku nyaris bertekad tidak mau nikah seumur hidup. Kalau saja Edwina, yang waktu itu baru hamil, tidak bercerita tentang sesuatu…

Setahun yang Lalu…
Aku tengah menemani Edwina makan siang untuk kedua kalinya. Maklum, ibu-ibu ngidam, hasrat makannya nyaris sebesar tukang becak habis narik.
“Win, nikah itu enak enggak, sih?”, tanyaku iseng.
“Ya enak.”, jawab Edwina asal sambil sibuk memotong daging ayam tepung di depannya.
“Enggak nyesel nikah, Win?”
“Nyesel gimana?”
Aku terdiam.
“Yaaa… nyesel kalau kehidupan enggak nikah ternyata lebih baik. Kan kamu enggak bisa undo dan balik lagi ke kehidupan sebelumnya”, Edwina tertawa.
“Mungkin iya, mungkin enggak.”, jawab Edwina tanpa mengalihkan perhatian dari makanan di depannya.
“Gimana maksudnya?”
“Duh, bawel banget, sih, lo! Gini, deh, Rin. Makanan apa yang paling enak yang pernah lo coba?” Aku melongo.
“Memangnya apa hubungannya makanan sama kawinan?”, tanyaku balik.
“Jawab aja dulu, enggak usah pakai tanya-tanya.”, tukas Edwina galak.
“Hmmm… apa, ya? Mungkin steak yang waktu itu kita makan rame-rame di Park Lane.
“Hahaha, iya, itu emang enak banget. Nah, sekarang bayangin, deh, apa rasanya waktu lo gigit steak itu pertama kali dan lidah lo ngerasain sensasinya.”
Aku menatap Edwina dengan heran. Anak satu ini bisa ekspresif kadang-kadang, tapi dengan cara yang aneh. Namun diam-diam aku membayangkan juga dalam pikiran. Hmmm… gurih, empuk, nikmat banget memang, walaupun harganya mahal!
“Udah? Lantas sekarang bayangin kalau elo enggak pernah nyobain steak itu dalam hidup lo. Elo enggak akan mati gara-gara enggak nyobain, kan Rin? Tapi elo juga enggak akan bisa merasakan pengalaman yang enggak ada duanya ketika elo makan steak itu pertama kali. Nah, bagi gue, pernikahan juga seperti itu, Rin. Tanpa menikah, gue yakin kita bisa survive, tapi kita akan kehilangan masa-masa paling indah yang mungkin akan hinggap dalam hidup. Kalau saat dan orangnya tepat, kenapa enggak? Gue yakin elo enggak akan pernah berpikir menyesali pernikahan kalau begitu banyak hal menyenangkan yang bisa lo serap dari situ.”, kata Edwina tanpa sekalipun berhenti melahap makanannya. Tinggal aku sendiri yang tercenung.
Momen itu benar-benar mengubah pandanganku dalam hidup. Edwina mungkin tidak pernah menyadarinya, bahkan mungkin dia sudah lupa pernah berkata-kata seperti itu kalau aku tanyakan lagi. Tapi aku tiak akan pernah lupa, sampai sekarang.
Hmmm…
Eh, ngomong-ngomong, Pucil marah enggak, ya, kalau aku tidak bisa datang Agustus nanti?


Edwina
Sore ini kita bertiga ngumpul lagi, kali ini di Recipe, Senayan City. Cuma Bon-bon yang terlambat datang gara-gara terjebak macet di Cilandak. Untung Andien sudah sembuh flunya jadi bisa gue tinggal sebentar dan Mas Arief hari ini pulang cepat.
Tadi gue memberikan Pucil nomor telpon tempat-tempat untuk bikin kartu undangan, sekalian ngasih dia range harga dan variasi style-nya. Paling enggak Pucil jadi bisa gerak cepat bikin undangan. Walau sebenarnya... hmmm... tanpa kejelasan venue, undangan enggak akan bisa dicetak, sih. Kalau soal tempat, Pucil bilang dia mendapat banyak referensi dari Toska, teman onlinenya itu, tapi sayangnya belum ada harga yang cocok. I wish i can help more, tapi gue sendiri kurang tahu menahu tentang venue di Bali.
Oh iya, ngomong-ngomong tentang Toska, gue heran kenapa si Ririn curiga banget sama cewek itu. Memangnya ada yang aneh dengan berteman online sekarang, ya? Gue memang paling males kalau diajak kenalan sama cowok lewat internet. Tapi kalau kenalan sama cewek dan akhirnya jadi berteman, kan enggak apa-apa. Lagian dari cerita Pucil, Toska sudah banyak bantu soal referensi tempat. Si Ririn kebanyakan nonton TV, sih, jadi bayangannya yang enggak-enggak saja. Hihihi.
Wah, kalau benar Pucil nikah di Bali, gue harus berusaha lebih giat menghasut Mas Arief untuk datang ke kawinannya Pucil, nih. Kemarin gue coba tanya lagi ke suami gue sambil lalu, Mas Arief lagi-lagi terlihat ogah-ogahan. ‘Lihat nanti’, katanya seperti biasa. Hmmm... masih ada beberapa bulan waktu gue. Tapi, yaaa... ini juga kalau Pucil berhasil mendapat venue. Coba lihat hasilnya nanti.


Bon-bon
I just hate Jakarta’s traffic! Perasaan macetnya makin lama makin jadi, deh. Masa dari Cilandak ke Senayan City memakan waktu sampai dua jam lebih?! Edan! Bisa tua di jalan kalau kayak gini terus caranya. Akhirnya aku ketinggalan obrolan seru, deh. Edwina juga harus pulang enggak lama setelah aku datang. Sebel. Tapi aku maklum juga, sih, dia kan sudah ada keluarga yang menunggu di rumah. Hmmm… I wonder if I’m going to be like that with Billy someday…
Pembicaraan sore tadi juga masih seputar kawinan Pucil. Ternyata anak itu masih belum menemukan venue di Bali juga. Ouch, kirain semuanya sudah lancar. Si Ririn sepertinya malah ingin Pucil nikah di Jakarta. Kenapa, ya? Padahal lebih seru di Bali, kan! Walaupun akan lebih ribet, sih. Tapi bisa laaah! Everything can be done. Lagipula bukan Pucil namanya kalau begitu saja langsung melempem. Pokoknya aku mendukung Pucil 100%, sudah kebayang dress seperti apa yang ingin aku pakai nanti. Cihuy!
Aku malah khawatir sama Ririn, nih. Belakangan ini dia kelihatan jadi pendiam banget. Padahal biasanya selalu saingan level suaranya dengan si Madam Medusa kalau sudah ledek-ledekan. Hmmm… ini bukan pertama kalinya Ririn seperti ini. Waktu Edwina nikah dulu, dia juga sempat punya masa-masa menciut seperti ini. Aku pikir itu cuma gara-gara dia lagi BT saja, tapi kayaknya enggak, deh. Kapan-kapan aku ingin ngobrol berdua aja sama dia. I bet there is something going on behind all these behaviours!


Pucil
Ketemuan dengan anak-anak hari ini berjalan seperti biasa. Ririn selalu tepat waktu. Edwina selalu terlalu cepat datang. Bon-bon selalu datang terakhir dan seperti biasa selalu dibarengi dengan omelan betapa sumpek jalanan di Jakarta. Hehehe.
Sudah dua minggu berlalu sejak perjanjian dengan Om Rio, berarti sudah dua minggu juga aku intens browsing internet, tapi tempat yang pas masih belum juga dapat. Tempat yang bagus, sih, banyak banget. Dari yang pas di pinggir pantai, di halaman hotel yang menghadap langsung ke pantai, sampai di tebing tinggi dengan view laut. Semuanya pasti cantik banget untuk resepsi waktu sunset. Sesuai dengan apa yang aku dan Ganesha inginkan. Sayangnya karena persoalan harga, kita belum berjodoh dengan tempat-tempat itu. Aduh, tarik nafas panjang-panjang, deh.
Kalau kata Toska, sih, kadang harga yang tercantum di internet adalah harga ‘expatriat’. Jadi bisa jadi lebih murah kalau untuk aku dan Ganesh. Selain itu tergantung peak season juga. Bulan Agustus itu termasuk peak season tidak, ya? Aku cuma khawatir ketika kita sudah menemukan tempat, semua tanggal weekend sudah penuh ter-booking. Tidak mungkin kita ngadainnya di tengah minggu. Bisa-bisa tidak ada yang datang, nanti. Termasuk pengantinnya!
Tadi Edwina memberi aku beberapa nama tempat bikin kartu undangan. Bon-bon juga berusaha bantu dengan ngasih aku nama-nama disainer. Gaya banget, ya, dia? Padahal aku sudah bilang, baju aku dan Ganesh nanti yang bikin Tante Desi. Tidak kalah hasilnya dengan buatan para disainer itu. Dasar Bon-bon, semuanya harus serba glamour. Untung isi dompetnya bisa menyokong gaya hidup gila-gilaan dia! Aku rasa dia kalau dia yang punya rencana nikah di Bali, tidak akan sesulit ini. Dan Ririn, wah, Ririn adalah pendengar yang terbaik di antara semuanya. Sementara Edwina terkesan terburu-buru dalam menanggapi suatu hal, Bon-bon terkesan menyepelekan keadaan, Ririn selalu melihat sesuatu dengan penuh pertimbangan. Aku paling suka mendengar masukan dari Ririn. Hanya saja aku merasa Ririn tidak menyadari kelebihannya ini walau sudah berkali-kali kita bilang.
Ngomong-ngomong, Ganesha sudah dapat info dari temannya yang kerja di wedding organizer belum, ya? Dia sering lupa kalau tidak diingatkan. Aku telpon dulu, deh.

Chapter 6




Pucil
Okey! Ini adalah pembagian tugas untuk aku dan Ganesh:
----------------------------------------------
PUCIL’s
Kartu undangan
Souvenir
Baju pengantin
Foto (wedding and prewedding)  cetak dan frame. Kalau jadi di Bali, mending sekalian saja foto di sana.

GANESHA’s
Band – menyusul, tunggu konfirmasi tempat.
Guest List
Seserahan ^_^

VENUE – tugas berdua, URGENT!!!
----------------------------------------------
Nah, coba, deh, dilihat dengan seksama. Betapa mudahnya tugas Ganesha dibanding tugas Pucil. Oke lah, soal baju pengantin aku memang harus yang pegang karena berhubungan dengan Tante Desi. Tapi yang lain?
Awalnya pembagiannya seperti ini:
----------------------------------------------
PUCIL’s
Kartu undangan
Guest list
Baju pengantin

GANESHA’s
Band – menyusul
Seserahan
Souvenir

VENUE – tugas berdua, URGENT!!!
----------------------------------------------
Memang sekilas terlihat tidak berubah banyak kalau hanya guest list dan souvenir yang ditukar. Tapi itu sudah merupakan perubahan besar. Membuat guest list hanya pekerjaan semalam-dua malam. Duduk di depan komputer sambil berpikir, dan akhirnya keluarkan saja nama-nama yang muncul di otak kita, bukan? Bandingkan itu dengan mencari souvenir. Aku harus tanya sana sini, telpon sana sini, mampir sana sini, lihat lagi produknya apa, memilih, bikin jadwal ketemuan, bla bla bla, bli bli bli. Jelas bukan tugas yang habis dikerjakan satu-dua malam.
Tapi Ganesha bilang biasanya souvenir dibuat juga oleh orang yang bikin kartu undangan, jadi bisa satu paket dengan pekerjaan membuat kartu undangan. Akhirnya ditukarlah tugas souvenir dengan guest list. Sebenarnya aku gatal ingin menyerahkan tugas kartu undangan dan souvenir ke Ganesha namun aku ragu. Ganesha belakangan ini sibuk sekali sama kerjaannya. Bukannya aku lowong juga, lho, tapi merelakan tugas ini dikerjakan Ganesh sama saja dengan menyuruh Ai’ untuk membatasi gosipannya di telpon selama 5 menit saja. Pekerjaan sia-sia.
Si Ganesh susah banget dimintain tolong maupun pendapat belakangan ini. Padahal yang nikah, kan, bukan aku saja. Uh! Terakhir aku minta dia nanya soal referensi venue di Bali sama temannya yang kerja di wedding organizer, eeeh, itu saja kelupaan melulu. Padahal apa susahnya, sih, tinggal angkat telpon? Minimal SMS lah, tidak sulit kan? Sementara aku sudah beberapa kali telat datang ke kantor gara-gara sebelumnya harus mampir dulu ke tempat buat kartu undangan.
Itu satu.
Belum lagi kalau ngomongin soal ngukur baju. Sulitnya minta ampun minta dia nyisihkan waktu buat singgah ke tempat Tante Desi. Bon-bon sampai nakut-nakutin aku, jangan-jangan Ganesha nanti nikahannya pakai kemeja dan jeans seperti seragamnya sehari-hari. Semua tertawa, kecuali aku. Karena bagi aku hal itu bukannya tidak mungkin dilakukan oleh Ganesh. Mengingat cowok itu selalu punya jawaban untuk mengundur hal yang satu ini.
“Aduh, urusan baju nanti, deh, Ciiil!”
…atau,
“Yah, Cil, aku belum bisa ke tempat Tante Desi. Harus nyiapin presentasi buat besok.”
…dan yang paling parah,
“Apa enggak bisa kamu bilang saja ke Tante Desi ukuranku? Kamu tahu ukuran celana dan kemejaku, kan?”
Ngarang banget! Dia pikir ngukur baju sama seperti minta tolong beli kemeja di mall, kali, ya? Bisa titip-titip, gitu. Ih, gemeees!
Belum lagi kalau aku ajak dia ngomong soal undangan. Biar bagaimana pernikahan itu melibatkan dua orang, dua pikiran, dua selera, bukan? Dan di atas semua itu, semua perlu didiskusikan karena satu kepala saja tidak akan sanggup menanggung beban semua perintilan persiapan pernikahan. Tapi Ganesh selalu ogah-ogahan menanggapinya. Aku sampai hafal jawaban dia, seperti diskusi dua minggu yang lalu:
“Gan, bagusnya undangan kita berwarna aja, kali, ya?”
“Iya.”
“Warnanya apa? Biru putih aja, gitu?”
“Iya.”
“Aku rasa pakai pita bagus, deh.”
“He-eh”
...atau,
“Gan, mau hard cover atau soft cover?”
“Terserah kamu, deh.”
...dan ini,
“Gan, mendingan foto kita enggak usah ikut dicetak di undangan kali, ya? Aku enggak rela ngebayangin setelah nikahan, undangan-undangan yang ada fotonya kita itu berakhir di tempat sampah. Apalagi sampai diinjak-injak orang.”
“Hmmm... oke.”
...juga ini,
“Menurut kamu bagusan undangan buatan Domini atau Antiquez, Gan?”
“Terserah kamu lah Cil. Aku ngikut aja.”
Get what i mean???
Tidak pernah menyumbangkan ide, semuanya terserah aku. Kalaupun di-iya-kan, kayak robot saja, terkesan tidak dipikir dulu jawabannya otomatis keluar. Ah! Gimana, sih! Kalau ada yang tidak beres dengan undangannya, aku juga, dong, yang disalahin?
Kemarin aku menghabiskan bermenit-menit untuk curhat dengan Edwina. Si Madam Medusa itu cuma tertawa geli, karena dulu ternyata dia mengalami hal yang sama. Katanya,
“Begitulah cowok, Cil. Mereka berubah menjadi manusia ‘up-to-you’ begitu ditanya pendapatnya soal pernak-pernik persiapan.” Aku jadi berpikir, jangan-jangan jawaban model begitu sudah terprogram sempurna di dalam gen setiap cowok dan hanya keluar menjelang hari pernikahan mereka, ya?
Sekarang aku baru mengerti mengapa Edwina sensitif banget menjelang nikahannya. Ketowel sedikit, marahnya tiga hari. Becanda sedikit, mukanya dilipat-lipat sampai lecek. Belum lagi masa-masanya dia menangis karena urusan yang terlihat sepele banget. Ternyata memang semua ini sungguh bikin frustasi.
“Tunggu bulan-bulan ke depan Cil. Lo harus kuat, ya. Cause i think it will get more and more complicated.”, begitu kata Edwina sebelum kita dadah-dadahan. Idih, nakutin aja, deh, itu anak. Kalau Ririn ikut mendengar pembicaraan kami, aku yakin sudah habis Edwina disayat-sayat tatapan tajam Ririn. Kalau Edwina ngomong begitu dua bulan lalu, aku mungkin menganggapnya sambil lalu, tapi sekarang aku tidak bisa membendung kekhawatiran itu. Edwina rese!
Dan, ya, seperti dugaanku, akhirnya urusan mencari venue pun jadi aku yang bertanggung jawab. Aku yang mencari lewat internet, aku yang menelpon ke Bali untuk cari informasi, aku yang tanya-tanya ke orang-orang, aku yang repot. Sementara aku cuma satu orang yang juga punya pekerjaan sehari-hari. Sekarang sudah satu bulan lebih sejak perjanjian dengan Om Rio. Dan aku belum berhasil mendapat tempat.
Ya, aku belum mendapatkan tempat yang pas!


Ganesha
Pusing gua. Belakangan Pucil kayak kena sindrom PMS setiap hari, maunya marah-marah terus. Kenapa, sih? Padahal gua kan juga ikut repot mengurusi nikahan. Ini tugas gua:

GANESHA’s
Band – menyusul, nunggu keputusan venue dulu.
Guest List
Seserahan

Coba lihat. Gua harus mencari band. Memang Pucil bilang gua harus menunggu kepastian venue dulu, baru follow-up band-nya. Tapi bukan berarti gue enggak tanya-tanya ke orang-orang, kan? Kebetulan gua lagi megang acara launching minuman di Hard Rock Cafe, gua akhirnya jadi sering ngobrol sama panitianya soal ini. Pulang juga jadi lebih malam dari anak-anak yang lain. Sampai rumah, masih ditanyain lagi sama Pucil.
Terus gua harus bikin guest list. Memang kayaknya mudah, tapi guest list di sini berarti orang-orang yang pasti bisa datang, berhubung tamu-tamu nanti makannya sambil duduk. Setiap tempat duduk pasti sudah ada nama tamunya, dong? Sementara keluarga gua kebanyakan ada di luar negeri. Ada time different, biaya telpon mahal, SMS juga kadang entah nyasar kemana walau di-report-nya dinyatakan delivered. Belum lagi menunggu jawabannya. Mereka, kan, enggak bisa seenaknya langsung lompat ke pesawat dan terbang ke Bali. Harus ngatur waktu, ngatur biaya, aaah, repot lah. Gua cuma bisa nunggu, kalau gua tanyain terus bisa disangka calon pengantin rese, lagi. Bisa miskin mendadak juga di akhir bulan karena tagihan telpon grafiknya menjulang.
Yang ketiga, soal seserahan. Sebelumnya gua ingin nanya ke kalian, seserahan itu gunanya apaan, sih? Sama saja kayak belanja biasa, kan? Gua tanya Pucil maunya apaan, Pucil malah melotot dan nyuruh gua kreatif. Lha! Kreatif gimana? Kalau datang ke kawinan teman kan gua enggak pernah usil melirik ke barang-barang seserahannya orang lain. Bingung banget gua jadinya. Kalau salah beli nanti kena pelototan lagi, deh.
Akhirnya kemarin gua tanya sama Derry. Dia bilang seserahan itu bentuknya bisa macam-macam, sesuka kita saja. Tapi umumnya berupa perlengkapan mandi, baju, sepatu, sampai perkakas perempuan seperti baju dalam. Hah! Beli’in Pucil baju sendirian saja gua malas. Lebih baik dianya ikutan juga, nyari yang paling dia suka. Ini beli BH pula! Aduh, gua paling malas nemenin Pucil belanja ke area BH dan celana dalam. Biasanya gue kabur ke tempat lain sementara dia mencari yang dia mau. Gua suka heran sama cowok-cowok yang mau saja ikut pacarnya belanja baju dalam, pakai ikutan milih lagi! Kayak sapi dicocok hidungnya. Untungnya Pucil enggak pernah marah kalau gua menolak untuk ikutan dia belanja baju dalam. Tapi sekarang gua jadi enggak tahu ukuran dia. Si Derry malah ketawa keras-keras waktu gua cerita soal ini, dibilangnya gua terlalu naif. Sial. Ukuran macam apa itu, enggak suka belanja BH sama dengan naif!
Satu lagi, seharusnya orang-orang harus mulai memikirkan cara praktis mengundang orang lain untuk datang ke kawinan. Misalnya dengan SMS. Praktis, hemat waktu, hemat biaya. Gua benar-benar bingung kalau disuruh milih undangannya kayak apa. Eh, ini lagi harus mikirin tempatnya harus gimana, makanannya apaan saja, segala macam urusan model begitu. Bagi gua semuanya sama saja, lah, enggak terlalu penting detil-detil seperti itu. Makanya gua ngikut aja sama apa yang Pucil bilang. Toh dia sudah punya gambaran di kepala tentang semuanya. Derry ternyata juga punya masalah yang sama. Istrinya dulu sempat ngambek, dikira Derry enggak pedulian. Padahal kalau diteliti lagi, sepertinya cewek lebih tahu apa yang mereka mau dalam menyiapkan semuanya. Jadi, kenapa harus tanya ke kita, sih? Toh kita juga bakal setuju-setuju saja.
Eh, Pucil telpon, nih. Aduh, bakal marah lagi, deh, dia, gua kelupaan nanyain Irene soal venue di Bali. Gawaaat!

Chapter 7



: Tos, are you there?

: Yupe! Kenapa, Cil?

: Idih, kemana saja, sih, lo? Belakangan ini jarang banget online, deh! Bisa banget, ya, lo milih waktu yang pas buat menghilang!

: Wah, maaaf! Sumpah, deh, bukan maksud gue untuk menghilangkan diri, cuma lagi jarang bisa jaga warnet kakak gue aja, kok, Cil.

: Hihihi, iya iya, gue tahu, kok. Just teasing you. Eh, gue lagi browsing di internet. Banyak banget tempat yang bagus di Bali, gue jadi bingung.

: Hahaha. Ya iya lah. Bali gitu, loh. Semuanya komersil, semua disulap jadi sempurna demi turis. Termasuk industri pernikahannya. Sudah dapat yang cocok belum?

: Masih lihat-lihat, sih.

: Eh? Sudah hampir dua bulan, lho, Cil. Kok, masih browsing aja? Gue pikir lo udah booking tempat.

: Beluuum! Tapi gue juga lagi ngurus yang lain, sih. Undangan sama souvenir. Hmmm... sama baju pengantin juga.

: Lho, gimana mau buat undangan kalau tempatnya saja belum tahu?

: Yang penting disain dan warna dulu, deh, Tos. Karena ternyata menyamakan warna undangan di layar komputer dan di cetakan itu enggak gampang. Harus di-print berkali-kali sampai dapat yang pas atau paling enggak mendekati, deh. Penting, tuh, lo jadi tahu nanti kalau nikahan. Cowok suka malas mikir perintilan begitu.

: Hehehe, masa, sih? Memangnya Ganesha kenapa? Curhat curian, nih, kayaknya.

: Ah, sudah lah enggak usah diterusin lagi. Hari ini gue lagi mau santai di rumah sambil cek list persiapan gue. Jadi lebih baik jangan merusak mood.

: Iya iya, ampun, Cil. Tapi gue yakin Ganesha sama ribetnya kayak elo. Cuma dia lebih jago nyimpennya.

: Idih, sok tahu. Tungguin giliran lo nanti, Tos!

: Amieeen! Enggak sabar!

: Hahaha! Eh, sudah jam segini, nih. Gue off dulu, ya, sebelum jalanan macet parah.

: Okey. Sabar, ya, Cil. Take care.


Ririn
Kemarin aku ngobrol dengan Mama, cerita tentang rencana kawinannya Pucil di Bali. Di luar dugaan, Mama malah antusias banget mendengarnya. Pakai bertanya aku akan datang atau tidak, pula. Aku melihat mama dengan heran. Sumpah, deh, biasanya untuk keluar kota saja Mama pasti akan ngasih seberendeng pertanyaan dahulu sebelum izinnya keluar. Itu juga kalau izinnya berhasil keluar. Kebanyakan, sih, tidak. Sulitnya jadi anak bontot. Perempuan satu-satunya pula. Hmmm, pasti ada apa-apanya, nih, sampai Mama bisa gampang kasih izin begini.
Benar juga, ternyata Mama mendapat ‘pencerahan’ setelah bicara sama Papa. Papa bilang, Mama dan kakak-kakakku terlalu ‘galak’ sama teman-teman cowokku. Kata Papa, sih, awalnya Mama protes habis-habisan. Menurut Mama, itu cuma cara untuk menyeleksi cowok mana yang serius sama aku. Iiih, aneh-aneh saja memang si Mama, Papa juga tertawa-tawa waktu cerita ke aku. Tapi setelah Papa bilang kalau Mama begini terus aku sulit dapat jodoh, Mama langsung mengendur. Mungkin Mama pikir dengan datang ke nikahannya Pucil aku bisa nyangkut dengan cowok. Hah. Mama tidak tahu saja kalau di acara nikahan biasanya eligible bachelor-nya langka. Boro-boro yang pakai gelar eligible, yang hanya bachelor saja sulit ditemui. Nikahan itu kan ajang pamer gandengan. Semua juga tahu itu.
Oh well, satu masalah sudah diatasi. Sebenarnya tinggal berangkat saja ke Bali kalau mau. Iya, kalau mau. Tapi pertanyaannya adalah, apakah aku mau berada di sana, di tengah para pasangan yang berbahagia itu?
Hfff... i really dunno!

“One...
One...
One is the loneliest number that you ever know
Two could be as bad as one as the loneliest number since the number one”
Tao Of Groove – One (Is the Loneliest Number)


Edwina
Gue mengintip Mas Arief dari balik pintu kamar. Suami gue itu lagi tertawa-tawa menonton Ace Ventura yang diputar ulang di TV. Hmmm... mungkin pas waktunya kalau gue tanya lagi sekarang, mumpung mood-nya lagi enak, mumpung Andien masih tidur juga. Gue mendekati Mas Arief pelan-pelan.
“Nonton apaan, sih, Mas?”
“Ini, nih, film bego banget.”, katanya, mata enggak lepas dari TV.
“Pucil nanyain lagi, tuh, Mas, kita bisa datang atau enggak ke Bali. Dia lagi bikin guest list.”, kata gue sambil pura-pura sibuk membereskan majalah dan kertas yang berserakan di atas meja. Iya, gue berbohong memang, Pucil enggak pernah bertanya soal itu. Tapi kalau enggak begini, sulit nyari pembuka pembicaraannya.
“Kok, tanya-tanya terus? Memangnya enggak bisa kita mutusinnya nanti-nanti aja?”
“Soalnya yang ini beda, Mas. Tamu-tamu makannya sambil duduk, jadi harus tahu pasti berapa orang yang bisa datang buat seating-nya. Kita bisa datang, enggak ya, kira-kira?”. Duh, gue deg-degan juga, nih, apalagi Mas Arief lantas melihat ke arah gue dengan serius.
“Aku bukannya enggak mau pergi, Win. Tapi kalau kita enggak punya dana buat pergi ke sana, mau bilang apa?”, jawab Mas Arief dengan lembut. Hati gue langsung mencelos. Nah, kalau sudah begini, bisa apa? Gue paksain buat tersenyum.
“Iya, enggak apa-apa. Aku cuma nanya saja, kok, Mas. Habisnya kasihan Pucil nagih terus. Nanti aku bilang sama dia kita enggak bisa datang.”
Mas Arief menatap gue lama.
“Kamu enggak apa-apa, kan, kalau enggak datang?”
Gue menggeleng sambil tertawa.
“Ya, enggak, lah Mas. Kan habis kawinan kita masih bisa kasih selamat ke pengantin barunya.”, kata gue sambil berjalan ke dapur. Iya memang, itu alternatif terakhir. Tapi bohong namanya kalau gue enggak sedih. Di balik dinding dapur, gue berhenti dan menarik nafas panjang.
Ah.
Mungkin...
Mungkin sebenarnya masih ada jalan, tapi Mas Arief enggak melihatnya. Mungkin Mas Arief enggak mengerti betapa gue ingin pergi karena undangan nikahan kali ini berbeda dengan yang lainnya. Di antara sekian banyak teman-teman gue, Pucil adalah salah satu yang istimewa.
Gue kenal dia sudah lama, entah berapa tahun yang lalu. Gue dan dia masih sama-sama mahasiswa baru waktu itu. Ingat banget gue, saat itu hari Jum’at, hari terakhir ospek yang berarti hari terberat penyiksaan lahir batin. Waktu itu kita semua dipecut olahraga pagi keliling kampus. Baru lari beberapa keliling, perut gue berulah. Melilit dan sakitnya minta ampun, gue sampai keringat dingin. Bahkan sampai enggak kuat untuk berdiri. Pucil adalah satu-satunya yang berhenti untuk membantu gue berdiri. Karena gue tetap enggak kuat, dia lalu ikut menemani gue duduk di jalan sampai tim sweeping senior menemukan kita teronggok di tengah jalan. Waktu gue tanya apa dia enggak takut kena damprat senior gara-gara tindak sok heroiknya, dia malah tertawa. Katanya dia mendingan kena damprat daripada harus meninggalkan gue sendirian. ‘Lagipula aku bisa pura-pura sakit juga.’, tambahnya.
Pada saat itu juga, gue sudah bisa melihat bahwa Pucil berbeda dengan orang lain. Sebelum ada Bon-bon dan Ririn, hanya Pucil yang bisa begitu ke gue. Hanya Pucil yang bisa membalas sarkastik tingkat tinggi seorang Edwina dengan cengiran bego yang malah bikin orang lain tertawa.
Jadi, jelas gue kecewa sekarang. Kecewa sekali, bisa dibilang. Dan, enggak... gue enggak akan menyalahkan siapapun kalau saat ini gue mentok enggak akan bisa berangkat. Kalaupun ada yang bisa disalahkan itu adalah diri gue sendiri. Terlalu boros, enggak pernah bisa menabung. Sekarang giliran punya kebutuhan seperti ini, gue cuma bisa gigit jari.
Oke. That’s it.
Akhirnya gue dapat jawaban dari Mas Arief. Sekarang setengah diri gue jadi berharap Pucil kalah ‘taruhan’ dengan omnya sehingga harus mengadakan resepsi di Jakarta. Sementara setengah diri gue yang tadinya berharap Pucil jadi nikah di Bali, merasa sedih luar biasa. Karena tahu gue tidak akan bisa ikut di sana. Seandainya saja gue masih single...
Ah, enggak ada gunanya mikir begini. Lebih baik memikirikan cara yang paling enak untuk mengatakan kabar buruk ini ke Pucil.


Bon-bon
Yuhuuu, the sale season is already on! SMS ke anak-anak, ah. Kalau mereka mau mencari baju buat kondangan di Bali, ini saat yang tepat! Tapi pada kemana, sih, dua manusia itu? Dua-duanya telponnya enggak dijawab. Harusnya mereka sudah mulai menyiapkan liburan ramai-ramai ini dari sekarang. Payah, nih! Semangatnya kurang!


Pucil
Pekerjaan aku tidak ada habisnya, tidak di kantor, tidak di rumah. Ternyata mengurusi pernikahan itu bisa mengambil alih kerja pikiran 24 jam dalam sehari. A full –time job! Bahkan dalam tidur pun aku sering bermimpi browsing di internet atau belanja kain di Kebayoran. Gila, enggak, sih?
Satu jam yang lalu aku sampai di rumah lalu mandi, dan makan. Mama dan Papa lagi-lagi bertanya tentang progress persiapan. Uh, seandainya mereka tahu. Ya, jelas aku tidak cerita tentang kesulitan mencari venue. Aku tidak mau mereka jadi punya harapan berlebih untuk bikin nikahannya di Jakarta. Jadi aku berpura-pura semuanya sudah dalam genggaman.
Setelah makan, aku kembali ke kamar dan me-review semua yang sudah dan akan dilakukan.

--------------------------------------------------------------------------------------

Wedding ‘Stuff’:
1.Undangan
(√) Cari disain  Berwarna nuansa putih-biru, simple, tanpa foto. Kertas broken white, hard cover. Gambar depan: Lilin-lilin biru, grafis hitam dipinggirnya (graphic design by Bon-bon), warna huruf: variasi biru + hitam. Satu kertas tambahan buat peta lokasi. Tanpa amplop, pakai pita (biru), wadah plastik. Tempat: menyusul.
(√) Cari tempat  Cek: Domini, Antiquez, NabClazz, Bornio. Cek disain, harga, dll. Pilih tempat: Antiquez.
(√) Meeting 1: Bikin jadwal (berapa lama buat atur design dan nyetak, cari warna yang pas, dll)
(√) Meeting 2: Cek disain, cari warna yang cocok. Cari pita yang cocok ukuran dan warnanya.
(√) Meeting 3: Warna belum cocok juga! Aargh! Rabu depan harus datang lagi, deh. 
(√) Meeting 4: Masih belum pas juga warnanya . Ternyata warna di layar komputer orang di Antiquez yang harus di-adjust lagi supaya mendekati setting-an warna print-an. Harus ketemuan lagi minggu depan. Berarti harus telat masuk kantor lagi. Aduuuh!
(…) Cari pita biru di Pasar Tanah Abang.
(...) Meeting 5: Cek warna print-an untuk yang kesekian ribu kalinya. Bawa pita hasil hunting dari Pasar Tanah Abang.

2. Souvenir
Beberapa pilihan yang menarik: gantungan kunci, kipas, tempat lilin, wadah handphone, sumpit, apa lagi? (Pesan kira-kira 150-200-an, buat jaga-jaga)
Cek: - Harga-harus sesuai budget
- Kualitas
- Berat (Ingat, Cil, harus dibawa ke Bali, jadi jangan terlalu berat.)
- Waktu untuk membuatnya, jangan terlalu lama karena waktunya tidak ada.

3. Baju pengantin
Tips: Jaga berat badan supaya nanti tidak kelabakan bajunya kesempitan!
(√) Cari model potongan baju  Ganesha: baju Demang, hitam dengan kain batik nuansa biru melintang sepaha atas, Pucil: Kebaya kerah Sabrina putih dengan kain batik nuansa biru. Baju untuk keluarga juga – nuansa putih-biru.
(√) Measuring time!  Baru minggu ke-empat berhasil ngajak Ganesha ke tempat Tante Desi. 
(...) Ingatkan Ganesha lagi buat nanyain ukuran baju keluarganya supaya Tante Desi bisa cepat ngasih kainnya ke penjahit.
(...) Belanja kain di Kebayoran sama Tante Desi. Ingat, Cil, tawar! Tawar! Tawar!

4. Guest List
- Ingatkan Ganesha lagi dan lagi untuk membuat guest list dari keluarga dan teman-temannya. Paling lambat sebulan sebelum hari H.
- Cari alamat buat para guest list yang undangannya harus dikirim via post. Kalau ada yang harus lewat e-mail, cari alamat e-mail-nya.

5. Foto
(√) Minta referensi dari Bon-bon dan Edwina tentang fotografer untuk weeding dan prewedding.
(√) Bandingin harga dan style foto, cari yang cocok. Kalau bisa cari yang sudah kenal karena repot juga harus di’angkut’ ke Bali, neh!

6. Venue - Bali
(√) Minta referensi dari semua orang. (PENTING: Ingatkan Ganesha untuk tanya lagi sama temannya yang kerja di wedding organizer).
(...) Browsing internet. Cek: kualitas tempat, harga, availability, dan daya tampungnya.
(...) Kalau sudah dapat beberapa alternatif, survey langsung ke Bali buat cek ulang sekalian ngobrol dengan PR-nya untuk booking dan down payment.

--------------------------------------------------------------------------------------

Memang rencananya hari ini aku ingin santai di rumah. Tapi rencana itu selalu buyar setiap kali aku berhadapan dengan secarik notes ini. Karena setelah itu aku pasti selalu terserang panik kronis. Waktu tinggal dua bulan lagiii! Sebulan lagi, lebih tepatnya, karena butuh waktu kira-kira 3-4 minggu untuk mencetak undangan dan souvenir, yang berarti akhir bulan depan aku sudah harus mendapat nama tempat untuk dicantumkan di dalam undangan. Hah! Sementara Ganesha masih belum selesai dengan PR membuat guest list-nya.
Sungguh, deh, aku tidak mau jadi monster bridezilla yang kerjanya main suruh dan marah-marah ke orang lain. Namun kalau sudah begini, apa ada pilihan lain? Semua orang punya kadar prioritas yang berbeda dalam menanggapi sebuah hal. Dan seringkali untuk menyamakan visi prioritas tersebut butuh penegasan yang sering disalahartikan sebagai penjajahan salah satu pihak.
Kemarin aku berinisiatif untuk booking dua tiket pesawat ke Bali untuk dua minggu dari sekarang. Tiketnya sendiri masih belum aku issued, sih, jadi masih bisa dibatalkan atau diubah tanggalnya. Untung aku sudah kenal dengan Mbak Chris, pegawai ticketing dari travel agent yang sering aku pakai. Jadi tidak terlalu sulit minta di re-book kalau time limit untuk issuing tiketnya expired. Yang jelas, tiket itu harus digunakan dalam beberapa minggu ke depan karena kita berdua benar-benar membutuhkan survey langsung ke Bali.
Nah, masalahnya, sekarang saja aku masih belum berhasil mendapat kandidat venue yang cocok. Dari browsing internet, sih, sudah ada beberapa pilihan, tapi... aduh... kenapa mahal banget, ya? Aku ragu sendiri apa tepat memasukan nama-nama tersebut sebagai pilihan. Kebanyakan rate-nya pakai dollar pula. Kasihan betul rupiah kita, di tanahnya sendiri tidak diakui kedudukannya.
Benar kata Om Rio, uang segitu banyak memang lebih baik digunakan untuk hal yang lain. Tapi aku masih ingin berjuang buat mencari tempat di Bali. Senewen tingkat tinggi! Sepertinya weekend ini aku harus ‘charge baterai’, ketemu lagi sama anak-anak. Bisa stress kalau semuanya disimpan sendiri. Mudah-mudahan mereka tidak bosen mendengar keluh kesahku.

.,.,.,.,.

Loading...